Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Kiss
Suara mesin mobil terdengar stabil di tengah lalu lintas sore Manhattan. Lampu-lampu kota mulai menyala, menerangi jalan yang padat.
Sara akhirnya bisa sedikit lega.
Setelah perdebatan singkat tadi, Nicko kini sibuk dengan ponselnya. Ia berbicara dalam bahasa Prancis, nada suaranya tetap rendah dan tenang, tanpa sedikit pun diarahkan kepadanya.
Untuk pertama kalinya hari itu, perhatian Nicko tidak tertuju padanya.
Itu cukup membuat Sara bisa bernapas lebih normal. Ketegangan di bahunya perlahan berkurang, setidaknya untuk saat ini.
Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan kepalanya bersandar pada kaca jendela yang dingin. Tubuhnya perlahan mengendur.
Ia lelah.
Terlalu banyak wajah, terlalu banyak suara, dan tekanan yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Dan kini hening.
Gelap.
Kesadarannya melayang di batas tipis antara terjaga dan tidur. Deru mesin, hembusan pendingin udara, dan suara Nicko yang makin menjauh seperti gema.
Hingga tiba-tiba...
ia merasakannya.
Sesuatu yang sangat dekat.
Napas hangat. Menyentuh ujung bibirnya, lembut seperti disengaja.
Kening Sara berkerut dalam kantuknya. Bibirnya bergerak kecil. Tubuhnya bergeser namun tak sadar, seperti menghindar dari sesuatu yang tak kasat mata.
Tapi bukan mimpi.
Karena saat bibir itu menyentuhnya......ia sadar.
Ciuman.
Lembut. Kenyal. Tak terburu-buru. Tapi jelas terasa.
Bibir Nicko.
Matanya terbuka perlahan. Pandangannya buram oleh sisa kantuk dan yang pertama ia lihat bukan atap mobil, bukan jendela, tapi sepasang mata...
Nicko.
Begitu dekat.
Bibir mereka masih bersentuhan.
Dan lelaki itu menatap lurus ke dalam matanya, tanpa malu.
Ini bukan kebetulan.
Ini bukan ciuman yang salah atau terseret emosi sesaat.
Refleks, Sara mendorong dada pria itu. Tapi tubuh Nicko hanya bergeser sedikit ke samping, satu tangannya menumpu ke kursi, tubuhnya setengah menunduk, menyandarkan separuh berat badannya ke sisi Sara yang kini terperangkap di kursi belakang mobil yang luas tapi terasa sempit.
"Nick " desisnya pelan, hampir tak terdengar.
Namun pria itu hanya menyeringai tipis di sela ciumannya, lalu...
Mendorong bibirnya kembali.
Lebih dalam, dan menuntut.
Lidah Nicko menembus celah bibir Sara, bergerak dengan penuh hasrat, mengikatnya dalam pusaran gairah yang tak terduga dan tak mampu ia bendung.
Tangannya menangkap pergelangan Sara, menahannya di sisi tubuh.
Posisi Sara kini setengah tergelincir di kursi, bahunya menempel ke jok mobil, napasnya terjebak di tenggorokan.
Ia menolak. Tapi tubuhnya tak cukup kuat.
Ciuman itu menguras semua tenaga mengikatnya dari luar dan dalam.
Nicko mencium dengan mata terbuka, seolah mengamati, lalu menikmati setiap detik ketidakberdayaan itu.
Dan tangannya...
Naik ke bahu Sara. Menyusuri garis lehernya.
Di bahunya, jemarinya berhenti. Lalu bergerak ke leher. Scarf itu masih terikat longgar di sana.
Masih ada jejak samar merah, jejak lama yang belum sepenuhnya hilang.
Kini bibir Nicko kembali ke sana.
Mengecupnya.
Melumatnya pelan.
Lalu menambah warna baru di atas luka lama.
Sara menggigit bibir bawahnya.
Tidak ada air mata yang jatuh. Ia hanya diam, tubuhnya kaku, tidak tahu harus melawan atau membiarkan.
Karena ini bukan pertama kalinya. Sentuhan itu sudah terlalu sering terjadi. Dan tubuhnya, entah kenapa, selalu bereaksi dengan cara yang membuatnya bingung.
Ia benci merasakannya. Ia tidak ingin menyukainya. Tapi jantungnya berdebar terlalu kencang untuk bisa ia abaikan.
Itu menyakitkan, karena ia tahu tubuhnya sedang menghianatinya ,bergetar bukan karena cinta, melainkan karena takut.
Sara mendongak, rahangnya menegang. Tangannya terangkat, mendorong dada Nicko lalu naik ke lehernya, menahan jarak sekuat tenaga. "Cukup... hentikan!" suaranya pecah, nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk didengar.
Namun Nicko mendengarnya.
Ia mengecup lembut sisi leher yang kini memerah, lalu menarik diri pelan, masih setengah berlutut di kursi belakang. Tatapannya jatuh pada Sara yang tampak menggigil, tubuhnya kaku, tak mampu bergerak.
Ia menang, dan ia tahu itu.
Tangannya mengangkat dagu Sara. Ibu jarinya menyentuh bibir yang merah dan basah, penuh jejaknya.
"Kau selalu membuatku menginginkanmu lebih," ucapnya yang terdengar seperti bisikan.
Tatapan Nicko mengunci wajah Sara, lalu perlahan turun ke bibirnya. Senyum tipis muncul sebelum akhirnya ia mencondongkan diri dan mencium bibir itu sekali lagi.
Sara meremas tangan Nicko dengan lembut, lalu menyingkirkannya dari bibirnya.
Ia memalingkan wajah, menatap ke luar jendela dan mematung dalam diam.
Kedua tangannya mengepal di pangkuan, rahangnya mengeras menahan gejolak yang tak sempat ia sembunyikan.
Sara bersuara pelan, hampir tak terdengar, matanya tak beranjak dari jendela yang gelap.
"Kau tahu kan? Aku semakin membencimu setiap kali kau menyentuhku."
Nicko terkekeh.
Seolah kata-kata itu malah membakar sesuatu dalam dirinya.
"Dan aku selalu menyukaimu saat kau seperti ini, Sara. Marah. Penuh benci. Tapi tetap menggigil karena sentuhanku."
Ia mendekatkan wajahnya, menempel di sisi telinga Sara.
"Bilang kau benci aku sebanyak yang kau mau..." suaranya rendah, seperti bisikan.
Nicko menarik sedikit jarak, matanya turun menatap wajah Sara yang tegang sebelum berhenti di bibirnya.
"Tapi tubuhmu selalu lebih jujur daripada mulutmu."
Setelah itu ia bersandar kembali ke kursinya, merapikan jasnya dengan tenang. Tangannya kembali masuk ke saku.
Sepanjang sisa perjalanan, tak ada satu kata pun lagi yang keluar dari keduanya. Hanya keheningan, tapi tegang, udara di dalam mobil serasa lebih berat dari sebelumnya.
...----------------...
Sara sudah tak bersemangat lagi untuk makan.
Tapi Nicko, seperti biasa, tak memberinya pilihan untuk menolak.
Dengan satu gerakan, Nicko menarik tangannya, menuntunnya turun dari mobil dan masuk ke restoran tanpa banyak kata.
Restoran itu berada tepat di tepi East River, dengan teras yang menghadap ke gemerlap lampu Manhattan dan siluet Jembatan Brooklyn. Angin malam membawa aroma segar bunga yang ditanam di sekitar, bercampur dengan suara air sungai yang tenang.
Mereka duduk berhadapan, dengan latar belakang lampu-lampu kota yang berkilauan di seberang sungai. Nicko menatapnya tanpa berkata-kata, hanya memandangi gelas anggurnya yang belum disentuh.
Sara, di sisi lain, lebih memilih mengalihkan pandangannya ke pemandangan luar, membiarkan matanya terpaku pada kerlap-kerlip cahaya di kejauhan, mencoba melupakan tatapan yang seakan bisa menembusnya.
Tangan Sara bergerak tanpa tujuan, ujung jarinya mengikuti garis gelas air di depannya.
"Aku tahu kau suka tempat seperti ini," ujar Nicko akhirnya, suaranya datar namun mengandung sesuatu yang tak sepenuhnya ia sembunyikan.
"Dekat air. Jauh dari keramaian. Tempat yang memberi ilusi kebebasan."
Sara tetap tak menjawab. Matanya tertuju pada Manhattan yang berkilau di seberang sungai terasa jauh, lebih aman daripada berada di sini, di bawah tatapan pria di hadapannya.
Nicko menghela napas panjang, menyalakan sebatang rokok, lalu mengisapnya perlahan. Asapnya terlepas ke udara malam, menyatu dengan aroma asin sungai.
Sara mengenali aroma itu. Tidak pernah terlalu kuat, tapi selalu cukup untuk mengingatkan bahwa pria ini ada, mengisi setiap celah tanpa harus bicara banyak.
Mereka diam lama, sampai denting sendok dari meja lain terdengar jelas.
"Makanlah," kata Nicko akhirnya, nada suaranya lembut tapi mengandung perintah. Bibirnya melengkung tipis. "Kau butuh tenaga... untuk menghadapiku."
Sara hanya melirik sekilas sebelum kembali menatap piringnya. Potongan salmon tetap utuh, dan anggur di gelasnya hanya ia minum untuk menghapus rasa kering di mulut.
Nicko berdiri dan berjalan ke tepi pagar restoran, membelakangi Sara. Rokok di tangannya berpendar di kegelapan. Ia mengisapnya sekali lagi sebelum menghembuskan asap, seolah mencoba mengatur pikirannya.
Sara menutup mata sejenak, membiarkan angin menyentuh pipinya. Tapi yang membuat dadanya sesak bukanlah angin, melainkan kehadiran Nicko yang menekan tanpa pernah meninggikan suara.
"...Tiga hari lagi aku akan ke Milan," ucap Sara pelan.
Nicko menoleh perlahan. Tatapan yang sulit dibaca. Ia kembali duduk, meletakkan rokok di asbak, lalu meraih gelas anggur.
"Rafael akan menemanimu," katanya datar. Tangannya memutar gelas perlahan, seolah membicarakan sesuatu yang sudah diputuskan jauh sebelum malam ini.
Sara menunduk. Ia sudah tahu Nicko tak akan pernah membiarkannya pergi tanpa pengawasan.
"Harus selalu seperti ini? Segalanya terasa... terbelenggu." Suaranya rendah, tapi cukup jelas untuk menembus suara riak sungai.
Nicko tersenyum tipis, matanya tetap menatapnya. "Aku hanya ingin memastikan kau aman."
Sara menatapnya sekilas. "Aman... atau terkendali?"
Nicko tidak menjawab langsung. Ia hanya mengamati wajahnya, seolah mencari celah. "Aku tahu dunia bisa kejam, Sara. Karena itu aku selalu ada di sekitarmu"
"Aku tidak selalu membutuhkanmu di sekitarku," balas Sara singkat.
Nicko menyandarkan tubuhnya, lalu condong sedikit ke depan.
"Kau bilang begitu sekarang. Tapi cepat atau lambat, kau akan mengerti, rasanya punya seseorang yang tidak pernah pergi."
Sara menggeleng pelan lalu menarik napas, menahan rasa frustrasi. " Lebih tepatnya tidak pernah merasa bebas."
Senyum Nicko melebar tipis, tapi matanya tetap dingin.
"Bebas itu relatif. Yang penting kau tidak sendirian."
Sara meraih gelas anggurnya, jemarinya sedikit bergetar. Ia meneguknya tanpa menatap Nicko, membiarkan rasa pahitnya menutup mulutnya.
Nicko memperhatikannya, tenang tapi tak berkedip, seperti seseorang yang tidak pernah ragu menunggu sampai orang lain menyerah.
Nicko memutar gelas anggur di tangannya, suaranya terdengar ringan, nyaris santai.
"Besok malam aku pergi untuk urusan bisnis. Setelah itu... aku akan menyusulmu ke Milan."
Sara mengangkat wajahnya, tatapannya dingin. "Itu tidak perlu, Nicko. Kau sudah cukup merampas banyak hal dariku. Tak semua harus kau sentuh."
"Aku hanya ingin menemanimu." Nicko menyandarkan siku di meja, condong ke arahnya. "Apa itu salah?"
Sara menahan napas sejenak sebelum menjawab, "Aku bisa sendiri."
Sudut bibir Nicko terangkat tipis. "Atau... kau mau aku jadi bayanganmu di belakang, tanpa kau sadari?"
"Apa bedanya?" suara Sara mulai meninggi, tapi tetap terkendali. "Kau sudah menempatkan orang-orangmu di sekelilingku. Setidaknya, biarkan aku merasa bebas."
Wajah Nicko menegang. Namun senyumnya kembali muncul, tipis dan menggoda.
"Kebebasanmu sudah lama berakhir."
Sara menggenggam gelas anggurnya lebih erat, jemarinya sedikit bergetar. Nicko melihatnya, menikmati setiap detik ketegangan itu.
"Di sini kendali ada padaku, Sara," bisiknya.
"Jika kelembutan tak bisa membuatmu menyerah... maka aku akan menggunakan kuasa dan obsesiku. Entah kau terima atau tidak, kau tetap milikku."
Sara tidak menjawab.
Tatapannya tetap tertuju ke arah sungai, menolak memberinya reaksi, menolak memberinya kemenangan.
Dengan gerakan tenang, ia meraih gelas anggur yang tersisa di depannya, lalu menghabiskannya hingga tetes terakhir tanpa rasa ragu. Pahit dan manisnya melebur bersama kekesalan yang menyesaki dada.
Nicko memperhatikannya, tapi Sara tidak peduli.
Ia tidak akan menangis lagi. Tidak akan berteriak. Tidak akan menatap mata pria itu hanya untuk kembali patah hati.
Yang ia inginkan hanyalah hilang sejenak dalam sisa alkohol, dalam ketenangan yang rapuh, dalam diam yang tak bisa dijangkau siapa pun.
Ia telah sampai di titik di mana rasa letihnya menelan segalanya.
pelan" akan terobati...
kasihan Nick selalu bermain solo
karena ingin menyembuhkan Sara...
lanjut thor ceritanya
Sara bisa tenang
berada di sisi Nick
bisa jadi obat untuk trauma nya
yg menyakiti akan menyembuhkan
lanjut thor ceritanya
tetapi masih mengikuti keegoisannya...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya lagi