Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Siap Kehilangan Cinta
Lampu di langit-langit memancarkan cahaya kekuningan yang hangat, namun suasana hati Anita tetap membeku. Sesekali ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, berharap melihat siluet Arsen atau mertuanya berjalan dari kejauhan. Namun harapan itu terus menguap bersama waktu yang terasa berjalan sangat lambat.
Perawat yang duduk di sudut ruangan tetap setia menemani Anita, meski pembicaraan di antara mereka hampir tidak ada. Perawat muda itu sesekali memeriksa selang infus dan mencatat sesuatu di clipboard kecilnya, tetapi selebihnya hanya menatap diam pasiennya yang tampak terus-menerus gelisah.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan. Seorang pria bertubuh tegap dalam balutan jas dokter memasuki ruangan. Wajahnya kelelahan namun masih menyisakan keteduhan dalam sorot matanya.
“Permisi,” ucap Baim sambil melangkah masuk. Tatapannya langsung tertuju pada Anita yang masih terbaring lemah di ranjang. “Anita…”
Anita menoleh, dan ekspresi wajahnya sedikit melunak saat mengenali siapa yang datang.
“Baim…?”
“Ya,” jawab Baim sambil tersenyum kecil. “Aku baru saja selesai menangani pasien terakhirku, sebelum pulang aku sempatkan mampir ke sini.”
Perawat yang masih berada di ruangan berdiri dari kursinya, memberi ruang bagi Baim yang kini mendekat ke sisi ranjang. Baim menoleh padanya dan berkata dengan nada tenang, “Terima kasih sudah menemani. Tidak apa-apa, biar saya yang menemani sekarang.”
Perawat itu mengangguk sopan. “Baik, Dok. Kalau begitu saya pamit dulu. Nanti saya kembali untuk pengecekan berikutnya.”
Setelah perawat keluar dan menutup pintu dengan hati-hati, Baim menarik kursi dan duduk di dekat tempat tidur Anita. Suasana hening sejenak, hanya terdengar bunyi lembut dari mesin pemantau detak jantung dan infus yang menetes perlahan.
“Mana Arsen? Dan ibu mertuamu?” tanya Baim, menatap Anita dengan sorot bertanya.
Anita menghela napas pelan, matanya menerawang sejenak sebelum menjawab. “Mereka keluar. Mama tadi mencarinya karena sudah lama tidak kembali sejak pergi ke ruang dokter Andra.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Sudah lebih dari satu jam… dan aku mulai khawatir.”
Baim mengangguk pelan. Ia memahami kekhawatiran itu. “Aku sempat bertemu dokter Andra tadi. Kami bicara sebentar di lorong.”
Anita mengernyit heran. “Oh ya?”
“Ya…” Baim menggantungkan kalimatnya. Ia menatap Anita sejenak, lalu berkata dengan nada lembut, “Aku turut prihatin, ya. Aku tahu ini pasti bukan hal yang mudah…”
Anita langsung mengernyit, pandangannya menajam penuh kebingungan. “Maksudmu… prihatin untuk apa?”
Baim tampak ragu sejenak. Ia berpikir Anita sudah mengetahui semuanya. Namun dari nada suara dan ekspresi wajahnya, jelas Anita tidak tahu apa yang terjadi. Tatapan heran itu terlalu murni untuk dibuat-buat.
“Oh ya, kau pasti belum mendengarnya” gumam Baim lupa.
Anita menggeleng. “Apa yang dokter Andra katakan?”
“Kau akan tau ketika suamimu kembali”
“Suamiku bahkan tidak tahu sedang di mana sekarang, aku mohon…. Katakan sejujurnya padaku, Baim!” Pinta Anita memelas.
Baim terdiam sejenak, merasa tidak nyaman karena harus menjadi orang yang menyampaikan kabar yang mestinya datang dari suaminya sendiri. Namun ia juga merasa tidak bisa terus membiarkan Anita terombang-ambing dalam ketidaktahuan.
“Dokter Andra sudah memberitahukan hasil pemeriksaan terakhirmu tadi siang…” Baim berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara perlahan, “Anita, kamu tidak sedang hamil…”
Anita membeku. Dadanya terasa tertusuk sesuatu yang tak terlihat, seperti hawa dingin yang tiba-tiba membekukan darahnya. “Apa… maksudnya?”
Baim menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Yang berkembang di rahimmu bukan janin. Tapi jaringan tidak normal… itu disebut hamil anggur. Sebuah kondisi kehamilan palsu, di mana bukannya janin yang tumbuh, tetapi jaringan abnormal akibat kegagalan proses pembuahan.”
Mata Anita membelalak, tubuhnya terguncang. Napasnya tercekat, dan suara berikutnya yang keluar dari mulutnya nyaris tak terdengar. “Hamil… anggur…?”
Baim mengangguk pelan. “Dokter Andra menjelaskan bahwa ini termasuk kasus kehamilan molar. Kondisi ini tidak hanya menyakitkan secara emosional, tetapi juga bisa membahayakan secara medis jika tidak segera ditangani.”
Anita menutup mulutnya dengan tangan. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia belum sempat menangis. Ia terlalu terkejut untuk bisa merespons dengan perasaan utuh.
“Tidak… tidak mungkin… selama ini aku merasa semuanya baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda… tidak ada rasa sakit yang berbeda… aku bahkan merasakan seperti ibu hamil biasanya…” suaranya gemetar, antara bingung dan tidak percaya.
Baim menunduk, merasa bersalah telah menjadi pembawa kabar duka yang semestinya disampaikan dengan lebih lembut oleh orang terdekat Anita. “Aku… aku tidak bermaksud memberitahumu seperti ini, Anita. Maaf…”
Anita menunduk, tubuhnya mulai gemetar. Tangisnya pun pecah perlahan, seperti bendungan yang jebol karena tak mampu lagi menahan derasnya air.
“Jadi… itu sebabnya Suamiku belum kembali? Karena… karena dia sudah tahu?” gumam Anita di antara isak tangisnya.
Baim tidak menjawab. Tapi diamnya sudah cukup menjelaskan segalanya.
“Dia… dia pasti kecewa” lanjut Anita lirih, kini suaranya dipenuhi luka dan kehancuran. “Dia memilih pergi… daripada harus mengatakan kenyataan ini padaku…”
Baim menggeleng pelan. “Tidak, Anita. Aku yakin Arsen tidak pergi untuk lari. Ia hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan ini sendiri. Aku bisa mengerti… ini bukan hanya berat bagimu, tapi juga bagi dia…”
Anita memalingkan wajahnya ke sisi lain, menatap kosong ke arah jendela. Air matanya masih mengalir. Ia mengusap pipinya dengan lemah, namun luka dalam hatinya jauh lebih besar daripada sekadar yang bisa dilap oleh jemarinya.
“Selama ini… kami begitu bahagia. Kami bahkan sudah menyiapkan nama dari dulu. Kami ingin tahu jenis kelaminnya di usia besar kehamilanku nanti” suara Anita pecah. “Hiksss… Kenapa ini bisa terjadi??”
Baim menggenggam tangan Anita dengan lembut. “Kau tidak sendiri, Anita. Kami semua peduli. Aku tahu ini terasa seperti mimpi buruk, tapi kau masih punya banyak orang yang menyayangimu. Arsen mencintaimu. Dia hanya sedang berjuang… sama seperti kau sekarang.”
Anita menoleh, wajahnya basah oleh air mata. “Aku tidak tahu harus bagaimana… bagaimana aku bisa menjalani hari-hari selanjutnya dengan luka seperti ini? Apa aku… masih bisa hamil lagi?”
Baim menatapnya penuh empati. “Kemungkinan itu masih ada. Tapi untuk sekarang, yang terpenting adalah fokus pada pemulihan. Prosedur kuretase harus dilakukan sesegera mungkin untuk mengangkat jaringan tersebut. Setelah itu, kau harus menjalani pemantauan ketat. Kadang, hamil anggur bisa kembali, tapi tidak selalu. Banyak pasien yang sembuh total dan bisa hamil normal lagi di masa depan.”
Anita merasa hatinya masih terasa hancur berkeping-keping.
“Ya Tuhan….. cobaan apalagi ini?? Kenapa aku selalu gagal memiliki keturunan…. Hiksss…. Wanita macam apa aku ini?!” Tangis Anita kian menjadi, dia saja kecewa dengan dirinya sendiri apalagi Arsen, bagaimana jika suaminya itu menjauhinya lagi?? Bagaimana jika Arsen kembali bersikap dingin lagi?? Anita tidak siap, dia belum siap kehilangan cinta dari suaminya.
“Papih…. Tolong kemarilah”
apakah akan terus memaklumi sikap suaminya yg semau dia sendiri!! 🤨
dia hanya bisa sakitin Anita dan bakal respek ke Anita kalo bisa kasih keturunan.
padahal Anita wanita yang baik, meski berkarir pun ga pernah tuhhh lupa dengan kewajiban sebagai istri.
percayalah Arsen, belum tentu ada istri yang se Ter baik kayak Anita di luaran sana.
apalagi di bandingan Natasya dan adek loee, jauhhhh bangettt donk sen... tetep anitalah yg Ter Ter baik ...
kena mental gak yah sama ucapan baim "jangan tinggalkan anita lagi"...
biar terseret arus aja kau sekalian! 😤
biar Anita nanti dengan laki2 yg benar2 bisa mencintainya dan membahagiakan dia dengan sempurna dan tulus ikhlas...
gak Mudi an kaya kamu!! 🤨
Mudah tergoda juga!!
dan intinya kau Egois !!!!
Hanya memikirkan diri mu saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan pasangan mu!! 🤨😡
Biar Tau rasa kalau kau Jadi sama cewek manja macam itu!!! 😡🤨
atau.. skalian matre!!! biar habis harta mu yg kau kerja capek-capek!!!
dan yg paling penting, Cewek macam itu Gak akan bisa di andalkan!!! hanya bagus di Awal nya aja!!! karena itu cuma sekedar Pancingan aja bagi laki2 Plin plan kaya kamu 😝😏😏
dan di jebak pun pas banget lelaki pecundang. selamat kalian pasangan serasi, tapi ingatlah karma itu nyata.
Anita berhak bahagia tanpa di sisi Arsen.