Warning!
Bagi yang berjantung lemah, tidak disarankan membaca buku penuh aksi laga dan baku tembak ini.
Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yg pernah ditakuti di dunia terang & gelap. Lelaki yg menghilang membawa rahasia besar—formula dan bukti kejahatan yg diinginkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yg bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yg ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu kelam mulai menyeret mereka ke dlm lintasan berbahaya yg sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yg diuji.
Bersiaplah menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta & bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Fanatisme
“Dan pria itu..." Wanita bertopi rajut menghela napas dalam, suaranya berat dengan beban yang tak terucapkan. "...adalah kakekmu, Aylin.”
Keheningan menyelimuti ruangan, seolah waktu terhenti. Hanya detak jam dinding tua yang terdengar, menandai setiap detik yang berlalu dengan berat.
Aylin terpaku, wajahnya seolah kehilangan semua warna.
Kazehaya menutup matanya sejenak, seolah menanggung beban lama yang akhirnya harus diungkapkan.
Aylin berdiri mematung, pandangannya kabur. Bukan karena kabut atau asap, tetapi karena air mata yang menggenang, siap tumpah.
"Ini... tidak mungkin," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kakekku... bukan orang seperti itu."
Wanita bertopi rajut—Emeli—tak segera menjawab. Ia menatap Aylin dengan mata yang penuh pemahaman dan luka yang dalam, seolah merasakan setiap kepedihan yang dirasakan gadis itu.
Kazehaya menunduk, memberi ruang bagi Aylin untuk menelan kenyataan pahit ini perlahan, seolah berharap waktu bisa mundur dan menghapus semua yang telah terungkap.
Akay dan Kanzaki diam seribu bahasa, ekspresi mereka sulit ditebak. Keduanya merasakan beratnya pengakuan itu, terjebak dalam perasaan campur aduk antara simpati dan ketidakpercayaan.
"Dia mempercayai ajaran Semar," Aylin menggeleng, berusaha menolak kenyataan yang menyeruak. "Ia selalu bilang, kebenaran harus dibela tanpa kekerasan. Ia membencinya... kebohongan, kekuasaan, darah."
Kazehaya melangkah pelan mendekat. Suaranya tenang, tapi mengandung luka yang dalam.
"Dan justru karena itulah, dia melakukan ini. Bukan karena dia berhenti percaya pada kebaikan... tapi karena dunia yang ia lihat telah berhenti mendengarkan kebaikan itu."
Aylin menatapnya dengan mata merah. "Apa maksud, sensei?"
"Dia melihat hukum dijadikan tameng oleh orang-orang jahat," ujar Kazehaya pelan. "Melihat pembunuh dilepaskan karena uang. Korporasi memperdagangkan nyawa atas nama riset. Bahkan mereka yang duduk di kursi hukum... menjadi pelindung para penjahat."
Kazehaya mengatupkan rahangnya, sejenak memalingkan wajah. Suaranya nyaris berbisik saat kembali berbicara, lebih berat, lebih pribadi.
"Dan yang paling menyakitkan... bahkan anak didiknya sendiri, CEO muda yang dulu ia bimbing dan percaya, ikut menodai cita-cita itu."
Ia menarik napas dalam, seperti mencoba membuang rasa kecewa yang sudah lama menetap.
"Kakekmu sebenarnya tahu banyak. Ia bahkan sempat menyetujui kerja sama terbatas dengan perusahaan si CEO muda—karena saat itu, ia masih percaya. Masih berharap. Tapi begitu menyadari arah mereka telah menyimpang jauh... ia memilih pergi. Menghilang. Dan menyegel formula itu, seolah menyegel keyakinannya sendiri."
Kazehaya menunduk sedikit, suaranya semakin lirih.
"Ia hanya memberikan sebagian data, dengan tujuan memperingatkan pihak yang ia kira bisa diandalkan—si CEO muda. Tapi ternyata, pemuda itu memelintir data itu jadi alat penghancur."
Diam sesaat.
"Ia tahu waktu hidupnya tak lama, dunia bergerak makin cepat ke arah kehancuran. Maka ia memutuskan menyerahkan warisan itu kepada generasi berikutnya, dengan pesan: gunakan ini dengan nuranimu, atau kau jadi bagian dari mereka yang harus ditumbangkan."
Kazehaya menatap Aylin lurus-lurus, seolah ingin menyampaikan beban yang tak bisa diwariskan lewat kata-kata saja.
“Semar tak pernah tinggal diam saat rakyat menderita,” katanya suatu kali. “Tapi apa yang harus kulakukan saat penderitaan itu dilestarikan oleh sistem? Apakah Semar akan tetap tertawa? Atau akan turun tangan, diam-diam, dan menumbangkan dalang lakon yang sesat?”
Hening sejenak menyelimuti ruangan.
Lalu Emeli berbicara, suaranya serak, seperti menggaruk luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh.
"Sebelum menghilang... dia mencoba melawan dari dalam. Melapor. Mengirim bukti. Menyerahkan segalanya pada hukum."
Perlahan, tangannya yang renta merogoh tas kain yang sejak tadi digenggamnya. Dari dalamnya, ia mengeluarkan setumpuk map lusuh, ujung-ujungnya sudah sobek dan warnanya memudar seperti harapan yang terlambat.
Ia meletakkannya di atas meja. Gemetar. Diam sesaat, sebelum akhirnya berkata,
"Ini..." katanya lirih, "laporan yang dia buat. Data. Bukti. Kesaksian. Semuanya nyata. Tapi tidak ada satu pun yang diproses. Tidak ada satu pun yang menggubris."
Aylin menatap berkas-berkas itu sejenak—mata merahnya terpaku pada tulisan tangan kakeknya di pojok halaman. Tiba-tiba semua terasa lebih nyata. Bukan sekadar cerita. Ini adalah luka yang punya arsip.
Akay berdiri di dekat pintu, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik. Sekilas, matanya memandangi satu halaman berkas itu, lalu kembali pada Aylin—seolah ingin menyerap seluruh rasa sakit itu dari istrinya.
Ia tak berkata apa-apa, hanya melangkah perlahan dan merengkuh bahu Aylin dari belakang. Diam-diam, ia mencium rambut istrinya—bukan untuk menenangkan, tapi untuk memastikan bahwa ia masih bisa menyentuh sesuatu yang nyata.
Aylin menahan napas. Matanya berkaca-kaca, bukan karena kelemahan, tapi karena akhirnya ia mengerti: kakeknya tidak menyerah. Dunia yang menyerah padanya.
Kanzaki—yang sejak tadi berdiri bersandar di dinding, lengan bersilang—menghela napas keras. Matanya sempat menatap Kazehaya, seperti menyimpan ribuan pertanyaan yang tak pernah sempat ditanyakan.
Ia menunduk sejenak, seperti mencerna semuanya, lalu berbicara lirih, "Jadi... semua ini bermula dari keyakinan yang salah arah."
Ia mendongak perlahan, sorot matanya sendu. "Fanatisme bukan cuma milik mereka yang ingin menghancurkan dunia... tapi juga mereka yang terlalu ingin menyelamatkannya."
Keheningan menyelimuti bunker. Hanya suara kertas yang bergeser pelan saat Emeli menutup map, seolah memberi waktu semua orang untuk mengendapkan kenyataan baru itu.
Aylin menunduk. Setitik air mata jatuh, membasahi sudut kertas tua itu. Di antara tulisan tangan kakeknya yang mulai pudar, ia menangkap satu kalimat kecil di pinggir halaman—seperti bisikan terakhir sebelum sang penulis kehilangan harapan:
"Jika tak bisa menanam benih di tanah yang subur, maka aku akan membakar ladang busuk ini... agar generasi selanjutnya bisa menanam ulang."
Tangan Aylin bergetar. Ia memejamkan mata, menggenggam kertas itu erat-erat. Ia ingin marah. Ingin membenci. Tapi di balik segala luka dan amarah itu, ia tahu—ini adalah pengorbanan dari seseorang yang pernah mencoba menyelamatkan dunia dengan cara yang benar... sebelum dunia memaksanya memilih cara yang salah.
Langkah Kazehaya nyaris tak terdengar saat ia mendekat. Suaranya pelan, namun mengandung kekuatan yang lembut.
“Aylin, ingatlah… tak ada manusia yang sepenuhnya putih atau hitam. Kita semua bayangan abu-abu dari pilihan dan luka. Kakekmu memilih jalannya bukan karena kebencian, tapi karena cinta... dan keputusasaan.”
Emeli menatap Aylin dengan mata penuh pengertian.
“Dia mungkin membuat keputusan yang sulit, tapi hati dan niatnya tetap untuk melindungi. Kadang, orang yang paling kita cintai harus melakukan hal-hal yang tidak bisa kita mengerti sekarang.”
Aylin mengedip pelan, seolah mencoba membendung air mata yang berjatuhan.
Akay memeluk Aylin dari belakang, suaranya rendah tapi tulus.
“Aku di sini untukmu, dan kau tidak harus menanggung semua ini sendirian. Kakekmu adalah bagian dari sejarahmu, tapi kau punya kekuatan untuk menentukan jalanmu sendiri.”
Kanzaki mengangguk pelan, menambahkan dengan suara tenang.
“Kita tidak bisa memilih siapa yang kita warisi, tapi kita bisa memilih apa yang akan kita lakukan dengannya. Ingat itu, Aylin.”
Hening sesaat mengalir di antara mereka, seolah seluruh ruang ikut menahan napas.
Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Kazehaya menutup dengan sebuah harapan.
“Dia adalah pengorbanan, bukan kutukan. Dan kau adalah harapan yang dia tinggalkan untuk dunia yang lebih baik.”
Aylin akhirnya mengetahui bahwa kakeknya, Wardhana, pernah terlibat dalam proyek rahasia yang mengembangkan senjata biologis dari tanaman langka. Meskipun niat kakeknya mulanya mulia, ia akhirnya mengambil keputusan ekstrem demi menyelamatkan dunia dengan caranya sendiri.
Kini, Aylin menyadari bahwa dirinya adalah kunci terakhir untuk mengakses rahasia tersebut, dan teman-temannya bertekad melindunginya dari mereka yang ingin menyalahgunakannya.
Aylin menunduk menatap liontin peninggalan kakeknya, seolah baru kali ini ia benar-benar melihatnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena ancaman—tapi karena kenyataan yang mulai membentuk makna baru.
“Kenapa... aku?” bisiknya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
kalian pejuang sesungguhnya...
berjuang untuk hidup dan berjuang untuk menciptakan kehidupan yang baru...
Love sekebon untuk pasangan satu ini
🎉🎉🎉🎉🎉🎉🎉🎉🎉🎉
yang di nantikan ,Aylin....
kegigihan mu membuahkan hasil 🎉🎉🎉🎉🎉
dan akhirnya AA couple punya keturunan
sebagi catatan utk para ilmuan yg hebat jika menemukan formula,ramuan, obat atau apalah itu jika ketemu dengan Hati yg tulus dan baik serta amanah Akan Aman utk dunia,tapi jika Salah di tangan orang Akan berakir COVID-19 banyàk Korban dgn alasan pembersihan,padahal ilmuan bukan tuhan tapi sok mengatur kehidupan
best buat kak nana 👍😁
Terima kasih Author karyamu sungguh bagus - terima kasih tetap semangat dalam berkarya untuk menyelesaikan cerita ini walaupun di separo cerita ini cuma dapat bayaran capai dan mata panda. Semoga banyak rejeki dari yang lainnya, GBU.