NovelToon NovelToon
Paman, Aku Mencintaimu

Paman, Aku Mencintaimu

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Enemy to Lovers / Tamat
Popularitas:8.9k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.

Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 - Rumah

Bandung menyambut Tari dengan kehangatan yang tak pernah berubah.

Udara di Jalan Buah Batu masih terasa sejuk, dengan aroma tanah basah yang sesekali terbawa angin.

Deretan pohon tua di pinggir jalan bergoyang pelan, seolah ikut mengangguk menyambut kepulangannya.

Mobil kecil yang mengantarnya dari stasiun berhenti tepat di depan gerbang besi tua yang catnya mulai terkelupas.

Tari turun perlahan, menyeret koper kecilnya melewati jalan setapak yang dipenuhi daun-daun kering.

Ia berdiri di depan rumah tuanya.

Cat dindingnya sudah mulai pudar. Beberapa bagian pagar kayu tampak miring.

Rumput liar merambat di sudut-sudut pekarangan kecilnya. Retakan kecil di lantai teras makin jelas, mengingatkan akan usia rumah ini.

Namun bagi Tari, rumah ini lebih indah dari istana mana pun di Jakarta. Rumah ini punya denyut. Punya kenangan. Punya jiwa.

Ia menarik napas panjang. Menghirup udara Bandung yang segar, yang penuh cerita masa kecil.

"Akhirnya pulang juga," gumamnya dengan suara yang hampir serak.

Tangannya menyentuh gagang pintu kayu itu—kasar, dingin, tapi familiar. Seolah pintu ini sudah menunggunya kembali.

Beberapa hari pertama, Tari sibuk membersihkan rumah.

Dengan bantuan Rayhan—sahabat lamanya yang baru kembali dari Medan—mereka mengecat ulang pagar, memperbaiki atap yang bocor, dan mengganti beberapa jendela yang retak.

Rayhan tetap seperti dulu. Tenang. Hangat. Selalu ada saat Tari butuh, tanpa pernah memaksa lebih.

Kadang-kadang, saat matahari mulai condong ke barat, mereka duduk berdua di teras depan, menikmati teh manis sambil menatap jalanan.

"Aku senang kamu balik, Tar," kata Rayhan suatu sore, menyeruput tehnya yang sudah mulai dingin.

Tari tersenyum kecil, memandang gelas tehnya yang mengepulkan uap tipis.

"Aku juga, Yan. Aku butuh pulang. Aku butuh menemukan diriku lagi."

Obrolan mereka mengalir ringan, kadang diwarnai tawa kecil, kadang hanya diam nyaman yang menggantung.

Mereka tidak banyak bicara tentang masa lalu. Tidak juga tentang luka yang masih menganga di hati Tari.

Mereka cukup hadir. Dan kadang, kehadiran tanpa banyak kata lebih menyembuhkan daripada seribu kalimat.

Kadang Rayhan membawa kue-kue kecil dari toko dekat rumah. Kadang Tari memasak mie instan dan mereka makan sambil duduk di lantai ruang tamu kosong.

Mereka tertawa karena hal-hal kecil. Karena kenangan-kenangan masa remaja yang lucu.

Dan dalam keheningan malam, Tari tahu—ia perlahan membangun hidupnya kembali, batu demi batu.

Toko Bunga Dara juga perlahan hidup kembali. Dengan adanya Tari.

Awalnya, hanya satu dua pelanggan lama yang datang.

Mereka kaget, lalu tersenyum lebar saat melihat Tari di balik meja kasir.

"Eh, ini beneran Neng Tari?" seru Bu Sari, pelanggan setia yang suka beli mawar setiap minggu.

Tari tertawa kecil. "Bener, Bu. Saya balik lagi."

Dari mulut ke mulut, kabar tentang kembalinya Tari menyebar.

Pelanggan-pelanggan lama berdatangan. Beberapa membawa anak-anak mereka, memperkenalkan Tari dengan bangga.

Bunga segar kembali menghiasi etalase kecil di depan paviliun.

Warna-warni mawar, lili, aster, dan anggrek membuat toko itu terasa hidup—seperti Tari yang perlahan menemukan dirinya kembali.

Ia mulai mendesain ulang toko kecil itu. Menambahkan rak kayu sederhana buatan Rayhan. Menggantungkan papan-papan kecil bertuliskan kutipan tentang cinta dan kehidupan.

Dan setiap kali pintu toko berbunyi—tanda ada pelanggan baru—hati Tari bergetar sedikit, penuh rasa syukur.

Harri, pria muda yang pernah beberapa kali menghubunginya dari Jakarta, sesekali mengirim pesan.

Hanya sekadar menanyakan kabar. Menyemangati.

Tidak ada tekanan. Tidak ada harapan yang dipaksakan.

Dan Tari menghargai itu.

Di dunia yang kadang penuh ekspektasi dan tuntutan, perhatian kecil tanpa pamrih seperti itu terasa begitu melegakan.

Tapi hatinya masih belum siap.

Masih ada nama yang berbisik di sudut hatinya setiap malam.

Nama yang tidak akan pernah hilang begitu saja.

Gilang.

Saat malam turun dan Bandung diselimuti kabut dingin, Tari sering termenung di jendela kamarnya.

Memandang lampu jalanan yang temaram, memeluk dirinya sendiri dalam keheningan.

Ada rindu. Ada sesal. Ada cinta yang belum selesai.

Tapi ada juga kekuatan baru yang tumbuh perlahan.

Malam-malam di rumah itu terasa damai.

Tari sering duduk di ruang tamu yang sudah diperbaiki, memandangi buku-buku lama peninggalan ayahnya.

Kadang ia tertidur di sofa, dengan aroma teh melati memenuhi udara.

Kadang ia menulis rencana-rencana kecil untuk memperluas Toko Bunga Dara—mungkin suatu hari akan membuka kelas merangkai bunga kecil-kecilan untuk anak-anak sekolah sekitar.

Pelan-pelan, hidupnya membentuk pola baru.

Pola yang sederhana.

Tapi penuh kehangatan.

Ia belajar menikmati suara jangkrik di malam hari.

Belajar menyalakan lampu taman kecil di pekarangan depan.

Belajar mengapresiasi setiap detik kesendirian yang tidak lagi terasa kosong.

Suatu sore, saat Tari sedang menyiram bunga di pekarangan kecilnya, Rayhan datang membawa beberapa pot tanaman hidroponik.

"Buat nambah koleksi," katanya sambil nyengir, matanya berkilat geli.

Tari tertawa, menerima pot itu dengan hati yang entah kenapa terasa ringan.

"Makasih, Yan. Kamu selalu tahu caranya bikin aku tersenyum."

Rayhan hanya mengangkat bahu.

"Aku cuma mau lihat kamu bahagia, Tar."

Tari menunduk, menahan sesuatu yang hangat di dadanya.

Mungkin suatu hari, luka di hatinya akan sembuh sepenuhnya.

Mungkin suatu hari, ia akan belajar mencintai lagi.

Tapi hari itu, yang ia butuhkan hanyalah ini:

Rumah tua.

Teman lama.

Bunga-bunga kecil yang mekar di bawah matahari Bandung.

Dan dirinya sendiri, yang akhirnya belajar bahwa pulang bukan berarti kembali ke masa lalu.

Tapi menemukan tempat di mana hatinya bisa bernafas lagi.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Tari merasa... hidup.

1
Rendi Best
lanjutkan thor🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!