Amrita Blanco merupakan gadis bangsawan dari tanah perkebunan Lunah milik keluarganya yang sedang bermasalah sebab ayahnya Blanco Frederick akan menjualnya kepada orang lain.
Blanco berniat menjual aset perkebunan Lunah kepada seorang pengusaha estate karena dia sedang mengalami masalah ekonomi yang sulit sehingga dia akan menjual tanah perkebunannya.
Hanya saja pengusaha itu lebih tertarik pada Amrita Blanco dan menginginkan adanya pernikahan dengan syarat dia akan membantu tanah perkebunan Lunah dan membelinya jika pernikahannya berjalan tiga bulan dengan Amrita Blanco.
Blanco terpaksa menyetujuinya dan memenuhi permintaan sang pengusaha kaya raya itu dengan menikahkan Amrita Blanco dan pengusaha itu.
Namun pengusaha estate itu terkenal dingin dan berhati kejam bahkan dia sangat misterius. Mampukah Amrita Blanco menjalani pernikahan paksa ini dengan pengusaha itu dan menyelamatkan tanah perkebunannya dari kebangkrutan.
Mari simak kisah ceritanya di setiap babnya, ya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Mobil Pengangkut Buah
Mobil pengangkut buah berguncang-guncang tak menentu, naik-turun bergoyang keras ketika melintasi jalanan panjang di area tanah perkebunan Luhan.
Membuat perjalanan menuju bungalow semakin tidak terasa nyaman.
Poppy Baldwin berpegangan kuat-kuat pada pegangan diatas pintu mobil sedangkan dia terlihat cemas lantaran mobil bergerak semakin kacau.
"Kenapa saat kau yang menyetir mobil ini, jalannya semakin tak menentu arah bahkan tidak nyaman, kurasa ada yang salah dari cara menyetirmu, Axel", kata Poppy tampak takut.
"Sudah kubilang kalau aku tidak tahu menahu mobil sejenis ini !" ucap Axel.
"Setidaknya kau tahu menyetir dengan benar dan melajukan mobil dengan layak seperti mandor Tobin", kata Poppy.
"Dia terbiasa disini dan dia tahu seluk beluk perkebunan Luhan daripada aku", ucap Axel yang berusaha melajukan kendaraan sejenis gerobak buah kepada jalan yang layak.
"Tapi dia membawa mobil pengangkut buah ini dengan benar", kata Poppy.
"Mandor Tobin adalah pekerja perkebunan Luhan jadi sepatutnya dia mampu menguasai medan disini daripada aku Baron Axel", sahut Axel datar.
"Oh, iya ?!" sahut Poppy.
"Diamlah, Baldwin ! Duduklah dengan benar di mobil selama aku mengemudikannya, jangan pikirkan lagi tentang cara menyetirku yang tidak memuaskanmu !" kata Axel.
"Kuharap aku bisa diam sedari tadi, tapi kenyataannya aku terus merasa cemas karena badanku berguncang keras, naik-turun seperti ini", sahut Poppy sembari berpegangan erat-erat.
"Sedangkan aku berharap terus, semoga setir kemudi mobil ini tidak lepas dari pegangan tanganku", kata Axel.
"Kalau begitu teruslah menyetir, Axel !" ucap Poppy seraya menoleh ke arah saudara kembar laki-lakinya.
"Itu yang aku harapkan darimu", kata Baron Axel.
Mobil terus melaju kencang ke arah jalan menuju bungalow yang jauh diluar area lahan buah.
Area menuju bungalow berupa hamparan tanah luas dengan rerumputan hijau disekelilingnya dan jalan ke arah tempat menginap milik keluarga Blanco terletak ditengah-tengah.
Mobil pengangkut buah bergerak naik ke arah jalan bungalow.
Sejak tadi tidak terdengar suara dari Denzzel Lambert di belakang mobil, sejenak beralih pada sang pengusaha misterius.
Rupanya Denzzel terlelap pulas sembari duduk bersandar dengan kedua tangan terlipat didepan dan dipangkuannya tampak Amrita Blanco berbaring diam.
Sinar matahari menyorot tajam ke arah wajah Amrita, suhu panas menjalar luas pada kedua pipinya sehingga dia merasakan terik panas yang menyengat kuat di cuaca siang hari ini.
Perlahan-lahan Amrita membuka kedua matanya lantaran keringat terus mengucur deras pada wajah cantiknya yang bersemu merah.
Amrita menggeliat pelan seraya menoleh ke arah Denzzel Lambert yang sedang bersandar diam, melihat suaminya, Amrita segera terbangun dan duduk.
"Denzzel...", panggilnya lembut sembari menengok ke arah Denzzel yang tertunduk diam.
Gludak... Gludak... Gludak...
Mobil pengangkut buah berguncang keras sehingga menyentakkan Amrita Blanco yang baru siuman dari pingsannya.
Amrita segera menoleh ke arah belakang mobil yang sedang berjalan itu.
Sebuah jalan panjang terlihat dari arah belakang mobil saat melaju kencang sedangkan jalan mobil terasa kacau tak menentu.
Naik-turun serta berguncang keras, membuat perut terasa mual serta kepala menjadi pening karena gerakan mobil pengangkut buah ini yang bergerak asal-asalan.
Amrita menoleh kembali ke arah depan namun dia tidak melihat jelas siapa yang duduk di depan sana.
"Siapa yang sedang menyetir mobil ?" tanyanya sendirian.
Amrita mengedarkan pandangannya ke arah sekitar belakang mobil, dia tidak melihat siapa-siapa disini, hanya ada dia dan Denzzel, suaminya.
"Kemana Axel dan Poppy ?" tanyanya bingung.
"Mereka di depan", sahut suara didekat Amrita.
Amrita mengalihkan pandangannya ke arah Denzzel Lambert yang telah terbangun dari tidurnya.
"Kau sudah bangun, Lambert ?" sapa Amrita.
"Ya, aku baru tertidur beberapa menit, dan terbangun ketika merasakan sesuatu dipangkuanku menjadi ringan", sahut Denzzel.
"Maaf, telah merepotkanmu dan membuatmu harus menungguiku seperti ini", kata Amrita.
"Bukan masalah buatku", sahut Denzzel.
"Kita kembali ke bungalow, dimana dua sepupuku, aku tidak melihatnya sedari tadi", kata Amrita.
"Mereka ada dikursi depan, Baron Axel sedang menyetir mobil dan satunya lagi sedang mengomel", sahut Denzzel sembari menunjuk ke arah depan dengan jari jempolnya.
"Oh ?!" kata Amrita tertegun diam.
"Sebentar lagi kita akan sampai dibungalow, dan kuharap padamu agar tidak meminta hal yang merepotkan sampai kakimu sembuh", lanjut Denzzel.
"Apa yang telah aku lakukan ?" tanya Amrita.
"Meminta menggendongmu ke perkebunan seperti tadi, kuharap kamu tidak memintanya lagi dariku", sahut Denzzel seraya menatap tegas.
"Apa aku sangat mengganggumu ?" pancing Amrita.
"Bukan demikian, hanya saja aku kerepotan membawamu lantaran tidak ada yang bisa mengendarai mobil dengan baik", kata Denzzel.
"Aku mengerti...", sahut Amrita dengan pandangan tertunduk muram.
"Jangan memasang wajah muram karena hal itu tidak pernah membantumu, masalah ditanah perkebunan Luhan serahkan saja padaku karena aku adalah suamimu sekarang ini", ucap Denzzel.
"Aku tahu itu...", kata Amrita lalu tersenyum manis kepada Denzzel.
"Kau baik-baik saja...", ucap Denzzel.
"Tentu saja, aku baik-baik saja", sahut Amrita sembari tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu...", kata Denzzel dengan anggukkan kepala ringan.
"Tapi aku kesulitan naik ke bungalow jika tanpa bantuanmu lalu aku harus bagaimana ?" sahut Amrita.
"Aku akan menggendongmu tapi hanya untuk ke bungalow dan keperluanmu saja selain itu tidak ada sampai keadaan kakimu benar-benar pulih", kata Denzzel.
"Ya, baiklah, aku mengerti", sahut Amrita seraya mengangguk patuh.
"Sebentar lagi kita tiba di bungalow, dan kuharap padamu, kita akan menikmati waktu bersama kita disana sampai panen buah selesai", kata Denzzel.
"Ya, aku paham, Lambert", ucap Amrita.
"Baiklah, jika kau mengerti dengan ucapanku ini dan aku berharap kalau kau tidak lagi membantahku", sahut Denzzel.
"Jika menurutku baik maka aku akan setuju padamu dan mematuhi setiap kalimat yang kau ucapkan", kata Amrita. "Tapi jika tidak baik menurut caraku berpikir maka aku akan membantahmu", sambungnya.
"Bisa dimengerti...", kata Denzzel.
"Sepakat !" sahut Amrita seraya mengulurkan tangannya ke arah Denzzel.
"Deal !" jawab Denzzel lalu membalas uluran tangan Amrita dan menjabatnya erat-erat.
"Deal juga !" sahut Amrita.
Sudut mata Denzzel agak naik, menandakan dia sedang tersenyum namun tak seorangpun mengetahuinya.
Amrita membalas senyuman Denzzel dengan senyuman terbaiknya.
GLUDAK... !!!
Mobil pengangkut buah berhenti cepat seperti sedang menabrak sesuatu di bagian depan.
Amrita tersentak kaget seraya menengok ke arah luar dari bak belakang mobil.
"Apa yang terjadi, Axel ?" tanyanya.
Baron Axel melongok keluar dari jendela mobil pengangkut buah yang terhenti tepat dibawah bungalow.
"Sepertinya aku sengaja menabrak batu pondasi bungalow, Amrita", sahutnya.
"Kau sengaja melakukannya, Axel ?" kata Amrita dari bak belakang mobil pengangkut buah.
"Ya, karena aku tidak mahir mengendarai mobil ini dan sengaja menabrak batu di depan sana supaya mobil pengangkut buah ini berhenti berjalan", sahut Axel.
"Tidakkah kau tahu rem mobil, Axel", kata Amrita.
Brak... !
Baron Axel turun dari mobil lalu membanting pintu mobil dengan kerasnya.
"Aku baru saja mematahkan tuas rem mobil tanpa sengaja lantas bagaimana aku bisa menghentikan laju mobil jika tidak dengan menabrakkannya", sahut Axel seraya menunjukkan tuas rem mobil yang patah kepada Amrita.
"Wow ?!" pekik Amrita diiringi derai tawanya yang renyah ketika Baron Axel memperlihatkan patahan dari tuas rem mobil pengangkut buah kepada dirinya.
Baron Axel hanya tersenyum simpul sembari menggaruk-garuk bagian atas kepalanya lalu dia ikut tertawa.