Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 – Antara Pilihan dan Keharusan
Bab 34 – Antara Pilihan dan Keharusan
Suasana ruang kerja itu begitu sunyi, hanya terdengar denting jam dinding dan deru napas berat yang menyesakkan dada. Randy berdiri di hadapan sang ayah, menundukkan kepalanya dalam. Tangannya mengepal erat di sisi tubuh, mencoba meredam emosi yang sudah menggelegak sejak tadi.
“Kenapa kamu begitu keras menolak perjodohan ini?” suara ayahnya tiba-tiba memecah keheningan. Tajam. Menghujam.
Randy masih diam, menatap lantai seolah jawaban ada di sana.
“Aku tanya, Randy!” suara itu meninggi, membuat Randy akhirnya mendongak.
“Aku punya pilihan sendiri, Pa,” jawabnya pelan namun tegas.
Ayahnya menyipitkan mata. “Pilihan? Siapa?”
Diam. Randy tak langsung menjawab.
“Jangan bilang perempuan itu cuma sekadar pelarian!” desak sang ayah lagi. “Kalau kamu memang serius, bawa dia ke rumah ini! Perkenalkan dia pada kami. Biar kami tahu seperti apa perempuan yang membuatmu menolak rencana besar keluarga ini!”
Randy mengatupkan rahangnya. Ia tahu, sejak awal, menolak perjodohan dengan Alya akan memicu badai. Tapi tidak pernah ia bayangkan bahwa badai itu akan sebesar ini. Kini ia terdesak, dan nama Nadine seolah menjadi satu-satunya jawaban… padahal, hatinya sendiri belum benar-benar yakin.
Nadine memang berbeda. Sederhana, tenang, dan selalu punya cara membuatnya merasa damai. Tapi apakah itu cinta? Atau hanya karena dia ingin menjauh dari semua tekanan yang mengikat hidupnya?
"Aku…" Randy menelan ludah. "Aku belum siap membawa dia ke sini."
"Apa?!" Ayahnya berdiri dari kursi, wajahnya memerah. "Jadi kamu hanya main-main?! Kamu menolak perjodohan ini tanpa dasar yang jelas, hanya karena perasaan sesaat? Randy, kamu tidak hanya menghancurkan kepercayaan kami, tapi juga masa depan perusahaan ini!”
“Tidak, Pa. Aku nggak main-main,” Randy membalas, kali ini dengan nada sedikit meninggi. “Aku hanya ingin menjalani hidupku tanpa terus dikendalikan oleh kepentingan bisnis keluarga!”
“Kamu pikir hidup bisa semudah itu?! Segala yang kamu miliki sekarang, semua kemudahan, kenyamanan, bahkan posisi kamu sekarang—itu hasil dari perjuangan keluarga ini. Dan kamu mau hancurkan semuanya hanya karena ego?”
Randy menggertakkan giginya. Dadanya sesak. Kata-kata sang ayah seperti belati yang menancap satu per satu. Tapi ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia tak bisa memaksakan hati Alya untuk sesuatu yang tidak pernah ia inginkan.
“Alya tidak mencintaiku, Pa…” ucap Randy akhirnya, suaranya melemah.
Ayahnya menatapnya tajam. “Tapi dia keluarga dari mitra terbesar kita. Kamu pikir mereka akan terima jika kita membatalkan perjodohan begitu saja?”
Randy menggeleng. “Alya punya hak untuk memilih hidupnya sendiri. Aku juga.”
“Kamu pikir aku tidak tahu siapa perempuan itu?”
Randy terkejut. “Apa maksud Papa?”
Ayahnya menyeringai tipis. “Seorang cleaning service, kan? Nadine, kalau tidak salah namanya.”
Jantung Randy berdegup lebih cepat. “Papa tahu dari mana?”
Sang ayah melangkah pelan, tangannya disilangkan di dada. “Kamu terlalu sering memperhatikannya. Staf kantor banyak yang mulai berbisik-bisik. Kamu pikir aku tidak punya mata dan telinga di perusahaan kita sendiri?”
Randy mengepal tangannya, merasa campur aduk antara terkejut dan marah. Ia tidak menyangka bahwa sang ayah sudah tahu sedalam itu. Bahkan namanya pun… sudah diketahui.
“Dia bukan seperti yang Papa pikirkan,” tegas Randy.
“Justru karena itu aku menyuruhmu membawa dia ke rumah. Aku ingin melihat langsung seperti apa perempuan yang membuat pewaris keluargaku rela menolak perjodohan dengan anak dari keluarga mitra utama kita,” ujar ayahnya, nadanya dingin tapi tegas.
“Papa ingin melihat atau ingin menjatuhkan harga dirinya?” Randy membalas tajam.
Ayahnya hanya menatap balik tanpa ekspresi. “Aku hanya ingin memastikan kamu tidak menghancurkan masa depanmu hanya karena perasaan sesaat.”
“Dan aku ingin memastikan aku tidak menghancurkan hidup perempuan yang tidak salah apa-apa hanya karena gengsi keluarga ini,” balas Randy lebih keras dari sebelumnya.
Ayahnya memicingkan mata. “Kalau begitu, buktikan. Kalau kamu benar-benar yakin pada perempuan itu… bawa dia ke sini. Tapi ingat, Randy—jika aku menilai dia tidak pantas, maka jangan salahkan aku bila aku campur tangan lebih jauh.”
Randy terdiam. Ada kemarahan yang tak bisa ia keluarkan, tapi juga ketakutan yang perlahan merayap—bukan karena dirinya, tapi karena Nadine.
Perempuan itu tak pernah meminta apa-apa. Tak pernah menuntut. Tapi kini… dia yang harus menanggung risiko atas apa yang dipilih hatinya.
“Dia bukan ‘hanya’ seorang cleaning service!” Randy akhirnya meledak. “Dia perempuan yang punya harga diri, yang hidupnya tidak semudah kita, tapi tetap berdiri dengan kepala tegak. Dia perempuan yang tidak pernah menuntut apa-apa dariku!”
Ayahnya terdiam sesaat. Tapi kemudian berkata dingin, “Kalau kamu memang yakin, buktikan. Bawa dia ke sini. Tunjukkan bahwa dia layak masuk ke keluarga ini. Atau kamu tutup mulut, dan lanjutkan perjodohan dengan Alya.”
Ultimatum itu mengunci Randy dalam pilihan yang tak mudah.
Setelah keluar dari ruangan itu, Randy berjalan ke balkon, membiarkan udara malam menusuk kulitnya. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia bertanya: apakah ia sudah terlalu jauh melangkah?
Wajah Nadine melintas di benaknya. Senyum lembutnya, tatapan matanya yang sering sembunyi dalam diam. Dia memang tidak pernah mengungkapkan perasaan, tapi Randy tahu… ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang pelan-pelan tumbuh tanpa dipaksa.
Tapi apakah itu cukup untuk dibawa ke hadapan keluarganya yang penuh standar dan ekspektasi?
**
Sementara itu, di sudut kota lain, Nadine masih duduk termenung di kamar kecilnya. Ia memandangi bayangan di cermin, mengingat setiap kata yang pernah diucapkan Calvin tempo hari—tentang bagaimana keluarganya menolak untuk menerima kenyataan, tentang masa lalu yang masih membelenggu.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Randy.
Apakah kamu bisa menemuiku besok? Aku perlu bicara.
Nadine menatap layar lama sekali, sebelum akhirnya membalas pelan.
Baik. Jam berapa?
**
Malam itu, Randy belum bisa tidur. Ia memandang langit-langit kamarnya, bertanya pada dirinya sendiri: apa yang akan ia lakukan jika Nadine menolak untuk datang ke rumah? Atau… apa yang akan ia lakukan jika justru Nadine menerima, tapi dunia menolaknya?
Alya pun hadir dalam benaknya. Gadis yang telah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil. Tapi kini, mereka seperti dua orang yang dipaksa menyatu dalam ikatan yang tidak mereka inginkan.
Alya berhak bahagia, begitu juga dirinya. Tapi menggapai kebahagiaan bukan tanpa luka. Dan kini, luka itu mulai terasa perih, menyebar ke seluruh arah hidupnya.
Randy mengepalkan tangannya, menguatkan hati. Jika ini memang jalan yang harus ia tempuh, maka ia akan menanggung risikonya. Bahkan jika harus berhadapan dengan ayahnya sendiri. Bahkan jika Nadine belum siap. Bahkan jika semuanya menjadi semakin rumit.
Tapi satu yang ia tahu pasti…
Ia tidak ingin menyerah hanya karena takut.