Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 34
Ruangan kecil itu dipenuhi dengan hawa tegang. Dinding beton yang kusam dan bau lembap seakan menekan Amina dan Theodore dari segala arah. Hanya ada satu lampu redup yang menggantung di tengah ruangan, menciptakan bayangan panjang di wajah Theodore yang serius.
Amina menarik napas, mencoba menenangkan debar jantungnya. Matanya terpaku pada dokumen-dokumen yang baru saja disodorkan Theodore, lembaran-lembaran yang sudah menguning dengan coretan-coretan tangan yang rapi namun terburu-buru.
"Aku sudah lama menyelidiki ini," ujar Theodore dengan suara rendah, hampir berbisik.
Amina mengerutkan kening. "Menyelidiki apa?"
Theodore mengetukkan jarinya ke salah satu nama dalam daftar itu. "Orang-orang ini. Mereka tidak sekadar menghilang, Amina. Mereka dihabisi."
Jantung Amina mencelos. Nama-nama itu—sebagian besar adalah orang-orang yang pernah berhubungan dengan kelompok Alexander, baik sebagai sekutu maupun musuh. Namun, yang paling mencurigakan adalah pola kematian mereka. Semuanya terjadi dalam keadaan yang tidak wajar, seolah-olah seseorang ingin menghapus jejak mereka.
"Apa Alexander tahu soal ini?" tanya Amina, matanya menyipit curiga.
Theodore menghela napas. "Aku ragu. Kalau dia tahu, dia pasti sudah melakukan sesuatu."
Amina menatap Theodore dalam-dalam. Laki-laki itu biasanya lebih banyak beroperasi di belakang layar, selalu tenang dan dingin. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya—ketakutan yang jarang terlihat.
Sebelum Amina bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar di luar. Theodore buru-buru menyembunyikan dokumen-dokumen itu ke dalam saku jasnya. Amina meraih pistol kecil dari balik mantelnya dan bersiap.
Pintu terbuka dengan keras.
Michael berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dan ekspresinya tajam. Matanya berpindah dari Amina ke Theodore, lalu kembali ke Amina.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" suaranya datar, tetapi ada nada curiga yang jelas.
Amina menelan ludah. "Menganalisis situasi," jawabnya santai, meski ia tahu Michael tidak akan mudah percaya.
Michael menatapnya beberapa detik lebih lama dari yang nyaman, lalu tanpa berkata apa-apa, dia berbalik dan pergi.
Namun, Amina melihatnya. Bahunya menegang sesaat sebelum melangkah keluar. Dia tahu sesuatu.
Beberapa jam kemudian, markas semakin kacau. Suasana tegang terasa di setiap sudut ruangan. Lorenzo dan Felix sibuk mengatur pertahanan, sementara Dante dan Michael justru terlibat dalam pertengkaran sengit di tengah ruangan utama.
"Aku bilang, ada pengkhianat di antara kita!" suara Michael menggelegar.
Dante mendengus, ekspresinya penuh ejekan. "Dan kau menuduhku? Gila kau, Michael! Aku sudah berada di sisi Alexander lebih lama dari siapa pun di sini!"
"Tapi kau juga yang paling punya koneksi di luar!" Michael membalas, matanya menyala penuh amarah.
Amina mengamati mereka dari sudut ruangan. Ini bukan pertengkaran biasa. Ada sesuatu dalam cara mereka berbicara, dalam sorot mata mereka, yang membuatnya curiga. Apakah salah satu dari mereka tahu lebih banyak daripada yang mereka akui?
"Kalau memang ada pengkhianat, kenapa kau tidak cari bukti sebelum menuduh?" Dante menyilangkan tangan di dadanya.
"Jangan pura-pura bodoh, Dante," Michael menyeringai dingin. "Aku tahu kau menyimpan sesuatu. Kau bahkan tidak terlihat terkejut dengan serangan tadi."
Dante terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Kau benar-benar berpikir aku bekerja sama dengan orang-orang yang ingin membunuh kita? Kau lebih bodoh dari yang kuduga."
Amina melirik Theodore yang berdiri di sebelahnya. Laki-laki itu tetap diam, tetapi tatapannya tajam, seolah sedang menilai kedua pria yang bertengkar.
"Lihat mereka," Theodore berbisik. "Salah satu dari mereka berbohong."
Amina hanya mengangguk. Dia sudah menyadarinya sejak tadi.
Saat pertengkaran masih berlangsung, Theodore menyelipkan sebuah catatan kecil ke tangan Amina.
"Datangi tempat ini," bisiknya cepat.
Amina menunduk, membaca tulisan tangan yang tercoret di kertas lusuh itu.
Sebuah alamat di pinggiran kota Paris.
"Kenapa?" Amina bertanya, suara rendah.
Theodore menatapnya dalam-dalam. "Jika kau ingin tahu siapa dalang di balik semua ini, jawabannya ada di sana."
Amina menggigit bibir, pikirannya berpacu. Pergi ke tempat itu berarti meninggalkan markas di saat yang genting, tetapi instingnya mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menemukan kebenaran.
Dia meremas kertas itu dalam genggaman, lalu berbisik, "Aku pergi sekarang."
Theodore mengangguk. "Berhati-hatilah. Jangan sampai mereka tahu kau pergi ke sana."
Amina menatap sekeliling. Markas masih dalam kekacauan. Ini mungkin satu-satunya waktu baginya untuk pergi tanpa menarik perhatian.
Dengan langkah cepat, dia menyelinap keluar dari ruangan, menghilang ke dalam bayang-bayang malam.
Jawaban yang dia cari sudah menunggu di Paris.
Amina menatap ke ujung pistol yang dingin, jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mulai merembes di tengkuknya, tapi wajahnya tetap tenang.
"Aku tidak menyangka kau secepat ini bergerak," kata sosok itu dengan suara rendah, nyaris berbisik.
Amina menyipitkan mata. "Lucu. Aku juga berpikir begitu tentangmu."
Sosok itu seseorang yang selama ini terlihat sebagai sekutu menatapnya dengan ekspresi rumit. Di bawah cahaya redup, wajahnya terlihat lebih keras, lebih penuh pertimbangan.
"Letakkan dokumen itu," perintahnya.
Amina tertawa kecil. "Dan kau pikir aku akan menurut begitu saja?" Dia mengangkat satu alis, mencoba mengulur waktu.
Di luar gedung, angin malam Paris berdesir, menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di jalan. Bangunan ini sunyi, terisolasi. Tidak ada yang akan mendengar suara tembakan jika dia gagal keluar dari situasi ini.
Dia mencuri pandang ke sekitar, mencari sesuatu apapun yang bisa membantunya melarikan diri. Matanya tertuju pada rak besi di belakangnya yang dipenuhi dengan barang-barang berdebu.
"Aku tidak ingin menyakitimu," suara itu kembali terdengar, kali ini dengan nada lebih lembut. "Jangan buat ini lebih sulit."
Amina menarik napas dalam. "Oke. Saatnya bertindak."
Dengan cepat, dia menjatuhkan tubuh ke samping, menghempaskan rak besi dengan kakinya. Rak itu berguncang keras, buku-buku dan barang-barang tua berhamburan, menciptakan suara berisik yang menggema di dalam ruangan.
"Brengsek!" sosok itu berseru, refleks mundur selangkah.
Itulah celah yang dibutuhkan Amina. Dengan gesit, dia merunduk dan melompat ke balik meja tua, meraih pistolnya yang terselip di balik mantel.
"Jadi, mau terus mengarahkan senjata ke kepalaku, atau kita bicara baik-baik?" suaranya tetap tenang, meski detak jantungnya berpacu.
Sosok itu tidak langsung menjawab. Ada jeda, seolah mempertimbangkan sesuatu. Lalu, dengan gerakan perlahan, pistol itu diturunkan.
"Baiklah," katanya. "Kau ingin bicara? Ayo bicara."
Amina tidak menurunkan kewaspadaannya. "Siapa yang mengirimmu?"
"Tidak ada yang mengirimku."
"Bohong."
Sosok itu menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah jendela yang menghadap ke jalanan sepi. "Dengar, Amina… Aku hanya mencoba melindungimu."
Amina mencibir. "Dengan menodongkan pistol ke kepalaku? Cara yang sangat… unik untuk menunjukkan kepedulian."
Dia menatapnya, ekspresi wajahnya kini lebih terbuka, lebih… jujur. "Kau tidak tahu betapa berbahayanya semua ini. Jika kau terus menggali, mereka tidak akan hanya mengincarmu. Mereka akan menghabisimu."
Amina mendengus. "Kau pikir aku tidak tahu itu?"
Dia melangkah mendekat, masih menjaga jarak aman. "Siapa 'mereka' yang kau bicarakan?"
Sosok itu terdiam.
"Ayo, jangan membuatku menyesal tidak menembakmu barusan," ancamnya, meski dalam hati dia bertanya-tanya, apakah orang ini benar-benar musuh?
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.