Airin - Selalu Kamu Bayang Rinduku

Malam ini, aku bermimpi.

Tidur menggunakan bantal berupa pangkuan dari sosok pria yang tidak aku ingat bentuknya, hanya saja di dalam mimpi aku percaya bahwa dia adalah kekasihku. Aku bersenandung merdu menikmati daun-daun yang jatuh perlahan melintasi semua musim, Sedangkan dia sibuk membelai rambutku dengan lembut sambil tersenyum. Malu aku melirik wajahnya, takut-takut kalau nanti aku terperangkap dalam senyuman itu.

Di teras, pada bangku bambu beraroma khas dari politur vernish (cat khusus untuk mengkilapkan kayu), aku merasa nyaman merebah dalam pangkuannya. Dia mencubit pipiku, membuatku langsung terpejam seakan tidak suka di perlakukan seperti anak kecil, walaupun di dalam hati aku sangat bahagia.

Burung mungil terbang berpasang-pasangan, menyanyi merdu mengiringi senandungku yang terasa semakin seru meskipun aku tidak tahu lagu apa yang aku bawakan.

"Sayang, (aku memanggilnya tersipu malu) Kalau nanti suaraku nggak merdu lagi, kamu masih cinta nggak?" Begitu malu aku berkata demikian, sehingga aku langsung menyembunyikan wajahku ke bawah dan bergeser masuk ke paha nya, setengah telungkup.

Dia tersenyum dan mengangguk menjawab pertanyaan dariku, "Kalau itu Airin, semua lagu pasti lebih indah." Kuping ku bergerak, terkejut dengan jawabannya yang terdengar memuaskan hatiku. Dengan wajah yang masih bersembunyi di kakinya, aku menggigit pahanya gemas mendengar jawaban yang dia berikan kepadaku.

Aku tidak bisa bilang bahwa itu Arta atau Sandi karena memang aku tidak mengingat wajahnya, yang pasti adalah mimpi itu membuatku nyaman sehingga aku berharap tidak usah bangun lagi dari kisah cinta yang tidak pernah aku dapatkan itu.

°°°°°

Bangun di hari yang cerah namun mengecewakan, aku menuju kedai dengan satu niatan yang sempat tersirat, yaitu bertemu Ruel untuk membicarakan Kedai lebih lanjut. Beberapa waktu kebelakang, aku hanya bisa mendengar dan mengkhawatirkan Oishika yang di ambil Alih oleh Bunda (ibu Ruel), kini aku harus memastikan sendiri mengenai apa yang akan kami lakukan seterusnya.

Sampai di kedai, rupanya Sandi aku lihat tengah duduk satu meja bersama Bunda, dia terlihat gelisah menunggu sesuatu.

Di sebelahnya Bunda langsung mengangkat alis tatkala melihatku. "Nah! Sini Neng kita ngobrol dulu." Bunda menepuk kursi kosong, memintaku segera duduk bersama.

"A-ada apa ini Bun?" Gelisah aku menaruh tas di lantai demi menjaga etika.

"Gimana San? (Bunda melirik Sandi) saya yang sampaikan atau kamu aja? (Sandi dengan tangannya mempersilahkan Bunda agar berbicara) hmm. . Okey, jadi gini neng."

Jemariku tidak dapat aku kendalikan, saling mengelus satu sama lain. Sandi aku lirik hanya menunduk tidak memberikan sinyal apapun yang sekiranya bisa memberi sedikit clue yang dapat menenangkan situasi.

Bunda melanjutkan, "Seperti yang kita semua tahu, penjualan di kedai kalian ini sangat rendah. Dan seperti yang kita semua tahu juga, kelemahan dari setiap FNB adalah kurangnya daya tarik bagi pelanggan baru. Saya sangat mengerti bahwa bukan tugas kalian untuk memasarkan segala produk yang ada di sini, dan overall kinerja kalian dibidang kalian masing-masing sudah cukup bagi saya. Kecuali satu hal." Jantungku berhenti berdetak ketika kata kecuali, keluar dari mulut bunda.

Bunda menatap ke arahku, dengan mata yang sipit sinis dia kembali melanjutkan. "Ada hal apa ramai-ramai kemarin Neng? Saya lihat kalau kamu sedikit ofensif kepada salah satu costumer.

Aku menggigit gigi, memutar otak kepada pita-pita ingatan yang sedikit kusut di tarik khawatir. "Maaf Bun, ofensif yang bagaimana bun?"

Bunda tanpa basa-basi menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan salah satu screenshot dari kamera CCTV beberapa hari kebelakang. Di foto, terpampang jelas adegan saat Arta datang ke Kedai, dengan aku yang tengah menahan tangis, sedangkan Sandi melerai kami.

"Anu! Itu Bun. ." Sandi segera bangkit mendekati bunda sebelum aku selesai menjawab.

"Biar saya lihat sebentar Bunda." jelas Sandi melindungi ku.