"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Mulai sekarang kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha mengatur napas. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu benaran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue mengangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bekas Luka
Begitu kita sampai kamarnya, dia menutup pintu, langsung angkat gue, dan bahkan sebelum kaki gue benar-benar menapak, dia udah menghimpit gue ke pintu, nyium gue dengan rakus. Gue ngerasa meleleh di tempat.
Gue balas ciumannya tanpa ragu, karena sumpah, gue juga mengidamkannya. Bibir kita bergerak seirama, basah dan panas. Gue tarik dasinya, memiringkan kepala buat memperdalam ciuman ini. Antari taruh kedua tangannya di samping wajah gue, berusaha nahan diri.
Bodo amat sama self-control.
Ciumannya makin buas, makin rakus, seolah dia pengen membuat gue gila.
Suara napas kita bercampur dengan bunyi ciuman yang menggema di kamar. Panasnya sentuhan dia membakar gue, dan pas gue ngerasa dia mengepalkan tangan di pintu, gue sedikit menjauh, kasih dia napas.
"Nggak usah ditahan," bisik gue, sambil gigit pelan bibirnya.
Suaranya serak, dalam, dan penuh nafsu.
"Gue cuma berusaha lembut."
"Persetan sama kelembutan." Gue hisap bibir bawahnya dengan penuh semangat. "Hilangin kendali lo, Antari. Gue mau lo hajar gue kayak yang lo pengenin selama ini."
Gue bisa lihat Antari benar-benar menginginkan keliaran. Tangannya langsung nemuin dada gue, memijitnya dengan tekanan pas, bikin gue ngeluarin desahan kecil, tanpa sadar.
"Gue bakal hajar lo seperti yang gue mau," dia geram di bibir gue.
Ciumannya makin liar, makin rakus, sementara tangannya menarik turun tali dress gue sampai bahu gue terbuka. Kulit gue panas, jantung gue berdetak kencang. Bibirnya turun ke leher gue, tangan cekatannya membuka bra gue dari belakang. Begitu bibirnya nyentuh kulit telanjang gue, gue hampir roboh.
Nggak sabar, gue nyari wajahnya, tarik dia buat nyium lagi. Ciuman kita buas. Gue buru-buru melepas dasinya, buka kancing kemejanya dengan gerakan cepat, melepas jaketnya, dan akhirnya tangan gue mengelus dadanya yang keras. Jari gue turun, menyusuri tiap garis ototnya sampai dia menangkep tangan gue dan tarik ke bawah.
"Rasain sendiri."
Gue nurut, menyentuhnya di atas celana.
Dan ya, dia keras banget.
Gue mulai memijit pelan, bikin dia ngeluarin napas berat. Tapi sebelum gue bisa lanjut, dia tiba-tiba menyelipkan tangannya ke dalam dress gue dan,
...Breetttt...
Dia merobek pakaian dalam gue tanpa aba-aba.
"Eh, anjir?!"
Dia cuma menyengir miring.
"Gue bilang, gue bakal ngelakuin ini seperti yang gue mau."
Sebelum gue sempet protes, jari-jarinya sudah menemukan titik paling sensitif gue. Nafasnya makin berat, pundaknya naik turun.
Gue udah nggak tahan lagi.
Gue buru-buru buka resleting celananya, melepas semuanya. Begitu dia berdiri di depan gue, sepenuhnya terbuka, gue cuma bisa gigit bibir.
Gue mau dia.
Sekarang juga.
Antari berdiri di depan gue, tubuhnya benar-benar gila, setiap garis ototnya tajam banget, dari bahu, dada, sampai perutnya.
Dan ya...
Itunya pun juga.
Dress gue jatuh ke lantai, dan gue sekarang sepenuhnya telanjang. Gue tarik dia lagi, nyium bibirnya sambil nempelin tubuh gue ke badannya, kulit ke kulit, panasnya bikin gue nyaris nggak bisa berpikir. Nafas gue berat, dan gue sadar... gue nggak bisa nunggu lebih lama lagi.
Gue memuter badan, membelakangi dia, tangan gue bertumpu di pintu, siap. Tapi sebelum gue bisa berbuat apa-apa, Antari menangkep tangan gue dan,
...Breng!...
Gue ditarik dan dilempar ke kasur.
Gue mendarat telentang, napas gue masih tersengal. Sebelum gue bisa gerak, dia udah tarik pergelangan kaki gue, menyeret gue ke tepi tempat tidur, wajahnya nggak sabaran.
"Gue mau lo lihat mata gue, sampai acara ini selesai!"
Dingin.
Dominan.
Gue suka itu.
Dia merangkak naik ke atas gue, nyium lagi, panas dan liar. Gue bisa ngerasain tiap senti tubuhnya nempel di gue, dan itu bikin gue nggak tahan.
Dia berhenti sebentar, matanya mengunci ke gue, dan akhirnya, dia merespon kebutuhan gue dengan gerakan yang bikin gue kehilangan semua kendali.
Gue lengkungkan punggung, mulut gue ngeluarin suara yang nggak bisa gue tahan. Antari nggak ngasih gue waktu buat mikir, ritmenya cepat, dalam, dan tepat. Matanya tetep terkunci ke gue, wajahnya penuh gairah.
Gue melilitkan kaki di pinggangnya, tarik dia lebih dekat.
"Ah... sial..."
Gue nyakar punggungnya, kehilangan kendali sepenuhnya. Dia benar-benar ngelakuin ini seperti yang dia mau. Setiap suara, setiap gerakan, panas tubuhnya, gila, ini terlalu enak.
Dia nunduk ke kuping gue, napasnya berat dan dalam. "Lo ngerasa? Panas, basah, sempurna. Gue nggak bakal bisa berhenti sekarang."
Dan jujur?
Gue pun nggak mau dia berhenti.
Dia menyandar ke belakang, terus tarik gue sedikit dari pinggang biar sejajar sama dia. Napas gue udah nggak karuan pas dia mulai gerakin badannya lebih dalam. Dada gue naik-turun tiap dia dorong masuk, dan gue nggak bisa lepasin pandangan dari dia, dari otot perutnya yang kencang tiap kali dia gerak, dari lengannya yang tegang menahan beban.
“Antari…” Gue mendesah, hampir nyerah sama gelombang yang udah di ujung banget.
“Gitu, sayang, sebut nama gue,” bisiknya di kuping gue, suaranya serak.
Jari-jarinya nyentuh gue di tempat yang bikin kepala gue muter, bikin mata gue terbalik, bikin semuanya meledak sekaligus. “Ayo, cantik, lepaskan. Bareng sama gue.”
Gue nggak bisa nahan lagi. Jemari gue meremas sprei di samping, tubuh gue melengkung pas sensasi itu menyapu tiap saraf gue, menjalar sampai ke ujung jari. Gue mengeluh, nyebut namanya di antara kata-kata yang nggak jelas.
Tapi dia belum berhenti. Gerakannya makin cepat, makin dalam, sementara tangan gue mencengkeram lengan dia.
“Gue boleh…?” suaranya berat, tertahan.
Pikiran gue ngeblur, gue ngebayangin dia menitipkan benih cinta kita berdua sepenuhnya di dalam gue, itu rasanya gila banget.
Gue angguk, suara gue hampir hilang. “Iya.”
Satu tarikan napas, satu dorongan terakhir, terus dia jatuh di atas gue, napasnya berat.
Gue senyum, ada rasa hangat di dalam, dan itunya yang semula keras kini terasa lembut di dalam, memberikan getaran kejut terakhir yang bikin badan gue lemes banget.
Dia geser ke samping, tiduran di sebelah gue, masih ngos-ngosan.
“Gila…” suaranya parau, matanya geser ke gue dengan tatapan puas.
Gue nyengir, ngeledek. “Not Bad! Es Batu. Lo lumayan.”
Dia ketawa kecil, ada kilatan usil di matanya. “Sama-sama, Kompor.”
Gue mengernyit. “Kompor?”
Dia mengulurkan tangan, jemarinya jalan pelan dari leher gue, turun ke tengah dada. “Karena lo panas banget,” dia jeda sebentar, matanya nyari mata gue, "tapi buat lo, kebakar pun rasanya nggak masalah."
Sentuhannya turun ke perut gue, bikin napas gue ketahan. Jemarinya meluncur ke samping, mengikutin garis-garis samar di kulit gue, karena dulunya gue cukup gemuk sebelum gue rajin diet. Cara dia melakukannya dengan pelan, lembut, seperti memperlakukan sesuatu yang berharga. Gue senyum. Gue nggak pernah malu sama tubuh gue.
Kenapa harus malu?
Tiap tanda di badan gue itu bagian dari cerita yang gue bawa, perjalanan yang udah gue lewati. Yang penting gue sehat.
Tangannya turun lagi ke paha luar gue, melewati bekas luka lama di sana.
Dia bergumam pelan. "Kelas empat… Lo jatuh dari sepeda. Gila, darahnya banyak banget, tapi lo nggak nangis sama sekali."
Gue ketawa.
Gokil, dia masih ingat itu.
"Malah lo yang pucat kayak mayat. Serius, gue kira lo bakal pingsan di tempat, Antari."
"Iya. Tapi kalau lo cerita ke orang lain, gue bakal bantah mentah-mentah."
Dia duduk, jarinya nyentuh bekas luka lain di lutut gue. "Tahun pertama di SMA… waktu lo nekat main skateboard di turunan curam. Udah gue bilang jangan."
Gue nyengir. "Halah. Kayak gue pernah nurut aja sama lo."
Dia geser badannya, tiduran miring di samping gue, nyender di satu tangan biar bisa tetep natap gue. Tangannya naik ke perut bawah gue, ke bekas luka yang hampir nggak kelihatan di sana. "Apendiks. Itu pertama kalinya gue lihat lo nangis. Dan jujur, itu nyakitin banget buat gue."
Gue ulurkan tangan, jari gue nyentuh rahangnya, ngerasain tekstur janggut tipisnya di telapak gue. "Lo itu manis banget, Antari."
Dia angkat alis, ekspresinya setengah geli, setengah protes. "Manis? Enggak, gue bukan makanan. Coba yang lain, seksi atau… ganteng, kek, yang lebih manusiawi."
Gue ketawa kecil, ngelirik dia sambil pura-pura mikir. "Iya, lo emang ganteng. Tapi bukan itu yang bikin gue…"
Gue berhenti. Kalimat itu menggantung di udara, tapi dia masih nungguin. Mata dia menahan sesuatu.
Dan akhirnya, gue lanjutin, "Mau ngelakuin ini sama orang bego kayak lo."
Dia nyengir dikit. “Maksudnya lo mau ngelakuin kayak gini gara-gara gue baik?”
Gue angguk. “Iya.”
Dia ketawa kecil, nggak percaya. “Lo sadar nggak, semua orang bilang gue dingin? Kayak nggak punya perasaan, kayak ada hawa es di sekitar gue?”
Gue angkat bahu. “Gue, kan, bukan mereka.”
Matanya berubah sedikit, dengan menaruh mukanya ke telapak tangan gue, kayak nyari kehangatan.
“Mau jadi dunia gue?” gumamnya, setengah main-main, setengah serius.
Gue ketawa, geleng-geleng. “Lo masih kebawa nafsu yang tadi, kayaknya.”
Dia jatuhkan badannya ke kasur lagi, terus noleh ke gue sambil nepuk dadanya pelan, kode buat suruh gue bersandar. Gue nurut, taruh kepala gue di sana, tangan gue melingkar di perutnya.
Dia nyium kening gue.
“Menurut lo, seberapa besar kemungkinan kita bisa—”
“Kita nggak bakal ngelakuin lagi.”
Dia mendesah. “Gue harus coba, kan.”
Hening sebentar.
Lama.
Sampai akhirnya gue naik ke atas dia, duduk di pangkuannya, terus nyium dia, gue udah lepas kendali. Pas gue mundur, dia memperhatikan gue sambil nahan ketawa.
“Katanya nggak mau?”
Gue nyengir. “Gue bohong.”
Dan gue nyium dia lagi.
Semua perasaan yang gue tahan selama bertahun-tahun meluncur begitu saja, kayak bendungan jebol.
Gila, gue benci ngerasain ini. Benci seberapa dalamnya rindu ini. Karena buat gue, seks nggak pernah berarti apa-apa.
Sampai sekarang.
Sampai dia kembali.
Sampai satu-satunya orang yang dari dulu selalu gue simpan di hati, tanpa gue sadari.
My dear Es batu, Antari Batari.
kesayangan keluarga batari🥰🥰
lah thor,udah selesay aja kisah ini. happy dan semangat trus yaaa 🥰🥰
btw, kalian gak mau nikah yaa,kisah ini bukan berlatar belakang luar negeri kan thoorr
ella emang paling cocok dampingi antari,antari butuh ella
gak pakai pengaman ya antari,siap hamil dong ai ella