NovelToon NovelToon
Dear, Anak Majikan

Dear, Anak Majikan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Harem / Pembantu / Office Romance / Chicklit
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"

Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"

"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"

Gue ngangguk pelan.

"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cinta Itu?

...Antari...

...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...

"Kakek udah nunggu di ruang kerjanya."

Gue dan bokap saling lirik pas dengar kata-kata Ellaine, yang memperhatikan gue dengan tatapan dingin sebelum pergi. Kita baru aja pulang dari kantor.

Bokap langsung melepaskan dasinya. "Kamu tahu ini soal apa?"

"Enggak."

Begitu kita masuk ke ruang kerja, mata gue langsung menangkap Anan yang lagi duduk di sofa seberang kakek.

Saat itu juga, gue mulai menebak ini semua tentang apa. Anan dulu pernah minta bantuan bokap buat kuliah kedokteran, tapi bokap nolak. Terus dia coba ke kakek, tapi kakek juga bilang enggak. Jadi gue benaran gak tahu maksud dari pertemuan kali ini.

"Ada apa, Pak? Kita lagi sibuk. Sepuluh menit lagi kita ada video call penting," jelas bokap.

"Batalin," kata kakek santai, sambil senyum.

Bokap langsung protes. "Pak, ini penting, kita lagi…"

"Batalin aja!c suara kakek tiba-tiba naik, bikin kita kaget.

Gue dan bokap saling lirik lagi, dan akhirnya bokap mengangguk. Gue pun langsung nelpon buat batalin meeting itu, terus kita duduk.

Bokap ngeluarin napas panjang. " Apa lagi sekarang?"

Kakek ambil napas dalam, berusaha balikin ketenangannya. "Kalian tahu kenapa Anan ada di sini?"

Bokap langsung memperhatikan Anan dengan tatapan dingin. "Biar Papa tebak, dia mau minta bantuan Kakek lagi."

Kakek ngangguk. "Benar."

Gue coba nebak arah pembicaraan ini, jadi gue buka suara. "Lo pasti nyesel udah nolak sebelumnya."

Anan langsung berdiri. "Udah lah, Kek, gak usah kayak gini. Anan udah ngerti kok."

"Duduk."

Anan menurut dan duduk lagi.

Kakek sedikit menyerong ke arah gue dan bokap.

"Obrolan ini jauh lebih penting daripada bisnis bodoh yang lagi kalian urusin. Keluarga lebih penting dari bisnis, tapi kayaknya kalian berdua lupa soal itu."

Gak ada yang ngomong.

Kakek lanjut.

"Tapi nggak usah khawatir, Kakek di sini buat ngingatin. Anan selalu punya segalanya, dia nggak harus berjuang buat dapatin apa pun seumur hidupnya. Tapi....dia datang ke Kakek minta bantuan, dan Kakek nolak, pengen lihat apa dia bakal nyerah di ujian pertama. Tapi ternyata dia jauh melebihi ekspektasi Kakek. Anak ini udah kerja siang malam, ngajuin beasiswa ke mana-mana selama berbulan-bulan, berjuang buat apa yang dia mau."

Gue kaget.

Anan kerja?

Dia gak nyerah?

Kakek lanjut ngomong.

"Anan bukan cuma udah dapetin dukungan dari Kakek, dia juga dapetin respek Kakek." Kakek melihat Anan dengan bangga. "Kakek bangga sama kamu, Anan. Kakek bangga kamu bawa nama keluarga ini, bawa darah kakek."

Gue diam.

Kakek gak pernah memperhatikan gue kayak gitu. Gak pernah ngomong hal kayak gitu ke gue. Tapi senyum kakek langsung ilang pas dia melihat bokap.

Kakek mengelus janggutnya, tatapannya tajam ke bokap.

"Tapi Bapak amat kecewa sama kamu, Batari. Warisan? Biarin aja bapakmu ini mati, kalian semua bakal dapat semua harta ini... Bukan ini yang mau Bapak wariskan kepadamu! Warisan keluarga itu loyalitas, dukungan, kasih sayang. Nilai-nilai itu harus diturunin ke generasi berikutnya. Warisan keluarga itu bukan perusahaan berengsek ini, bukan rumah, tanah atau property baj1ngan itu!"

Suasana langsung mencekam, tapi kakek tetap lanjut ngomong.

"Kamu kerja mati-matian cuma buat kabur dari masalah rumah tanggamu, nggak berarti kamu punya hak buat bikin anak-anakmu sama sepertimu, bahagia yang mana? Kamu bahagia, Batari? Jelas aja, kamu nggak bahagia!"

Bokap menggenggam tangannya erat. "Pak…"

Kakek geleng-geleng kepala. "Malu Bapak sama kamu, Batari. Anakmu udah mohon-mohon minta restu, dukungan, bantuan, dan kamu tetap nolak dia mentah-mentah. Bapak nggak pernah kebayang bakal sekecewa ini sama kamu."

Tatapan kakek beralih ke gue. "Kamu juga, Antari. Papamu maksa kamu belajar sesuatu yang kamu benci, paksa kamu biar jadi kayak dia. Dan sekarang, lihat dirimu, Nak. kamu bahagia?"

Gue buka mulut mau protes, tapi kakek langsung angkat tangan. "Diam! Kamu memang produk dari pola asuh Papamu yang payah, tapi Kakek juga kecewa sama kamu. Kamu ninggalin adikmu, nggak dukung dia sama sekali. Kakek kasihan sama kalian berdua."

Gue gak bisa angkat kepala, jadi gue tertunduk, malu.

"Kakek harap kalian bisa belajar sesuatu dari ini... dan jadi orang yang lebih baik. Kakek percaya sama kalian."

Terus, kakek balik fokus ke Anan.

"Kakek udah urus pendaftaranmu buat masuk ke kedokteran di universitas yang kamu ceritain ke Asta."

Kakek kasih Anan amplop putih. "Ini rekening bank atas namamu, isinya cukup buat bayar kuliah, biaya hidup, semuanya. Dan di dalamnya ada kunci apartemen yang Kakek beli di dekat kampus buat kamu. Kamu punya restu penuh dari Kakek, dan Kakek minta maaf karena kamu harus ngalamin gimana rasanya dibuang sama Bapakmu sendiri. Tapi ada hal baik dari semua ini, Anan. Kamu bisa ngerasain gimana rasanya nggak punya segalanya, dan kamu udah berjuang buat apa yang kamu mau. Kamu bakal jadi dokter yang hebat, Nak!"

Kakek buang napas, terus pelan-pelan bangkit dari duduknya.

"Ya udah, segitu aja. Kakek mau istirahat."

Bokap jalan keluar dengan kepala menunduk, mengikuti kakek dari belakang. Sekarang cuma gue sama Anan di ruangan ini. Gue bisa lihat dia masih mencerna semua yang baru aja terjadi.

Kata-kata kakek tadi emang nyakitin, tapi itu jujur. Dan gue tahu, ninggalin Anan sendirian di situasi kayak gini bakal jadi sesuatu yang bakal terus membebani gue.

Gue sendiri gak yakin kenapa gue ngelakuin itu, mungkin karena gak mau membantah bokap, atau bisa aja karena gue iri. Iri karena dia bisa ngejar apa pun yang dia mau, sementara gue gak pernah punya pilihan.

Tapi apapun alasannya, itu gak bisa jadi pembenaran. Gue udah jadi kakak yang buruk.

Gue berdiri. "Maaf."

Gue usap wajah gue, berusaha nenangin diri. "Gue benaran minta maaf. Tapi setidaknya, gue senang lo bisa dapetin apa yang lo mau."

Gue paksain senyum. "Lo pantes dapet ini, Anan. Lo punya keberanian yang gue gak punya waktu gue dipaksa buat ngejalanin sesuatu yang bukan pilihan gue. Kakek benar, dan gue juga bangga sama lo."

Gue pengen berharap ada sedikit rasa puas di wajah Anan, setelah gue sama bokap habis dihajar sama kata-kata kakek. Tapi gak ada. Dia nerima permintaan maaf gue. Dia mengerti alasan gue. Dan itu ngebuktiin kalau dia orang yang lebih baik daripada gue.

"Gak ada kata terlambat buat ubah hidup lo, Antari."

Gue geleng-geleng kepala, ketawa. "Buat gue udah telat. Semoga beruntung, bro."

Gue jalan keluar, ketemu Ellaine di lorong.

Kita jalan berpapasan tanpa bilang apa-apa, sama-sama nunduk.

Gue naik ke lantai atas, ke arah teras rumah. Dari sini gue bisa lihat halaman depan, taman, air mancur, sama mobil-mobil yang diparkir rapi. Gue duduk di salah satu kursi besi, menyenderkan badan, terus nutup mata.

Jari-jari gue memijat pelipis, sementara kata-kata kakek terus muter di kepala gue. Pas gue buka mata lagi, gue lihat bokap berdiri di ujung teras, punggungnya menghadap gue. Tangan dia mencengkeram pagar, matanya memandangi langit.

Bokap ngelirik gue dari atas bahunya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, wajahnya gak datar kayak biasanya. Dia kelihatan… sedih.

"Kenapa?"

Gue mengerutkan alis. "Kenapa apa?"

"Kenapa kamu putusin tunanganmu, Maurice beberapa bulan lalu?"

Gue langsung keingat obrolan kita waktu dia pertama kali tahu gue mutusin Maurice. Senyum sinis muncul di bibir gue. "Papa bahkan gak pernah nanya alasannya."

Bokap mengernyit. "Maksud mu?"

"Papa gak pernah nanya kenapa Antari berubah pikiran. Itu gak penting buat Papa, kan?"

Suaranya dingin banget, kayak es. "Itu emang gak penting. Yang penting perusahaan. Apa ini cara kamu bantah perintah Papa?

Gue narik napas dalam. "Karena Antari suka sama orang lain."

Bokap gak ngomong apa-apa untuk waktu yang lumayan lama.

Gue juga diam.

Akhirnya, setelah buang napas panjang, dia buka suara lagi. "Besok pagi Papa bakal resmiin pembatalan pertunangan itu. Kamu gak usah mikirin lagi."

Gue langsung berhenti napas.

Hah?

Gue benaran gak tahu harus ngomong apa.

Bokap mencengkram pagar makin kuat, bahunya tegang. Dia masih gak melihat gue, tapi gue tahu mukanya pasti lagi penuh emosi sekarang.

"Papa gak percaya sama kata maaf, Antari. Yang Papa percaya itu tindakan buat menebus kesalahanmu."

"Pa…"

"Papa gak tahu sejak kapan Papa jadi orang tua yang buruk. Mungkin luka-luka lama udah bikin hati Papa jadi keras. Dan Papa juga gak bisa janji bakal berubah dalam semalam. Tapi Papa bisa mulai lakuin sesuatu dengan cara yang beda. Jadi, kasih Papa waktu."

Dada gue sesek, karena orang yang berdiri di depan gue sekarang bukan lagi sosok dingin yang selama ini ada di samping gue.

Ini… bokap gue.

Bukan orang yang berubah sejak apa yang terjadi sama nyokap dulu.

Ini bokap yang dulu gue sayang banget waktu kecil. Yang dulu main pistol air bareng gue, balapan sepeda, yang bawa gue ke bioskop atau beliin bola pertama gue, padahal dia sendiri gak ngerti cara mainnya. Yang dulu pajang gambar Pokemon buatan gue di kantornya, gak peduli klien atau koleganya melihat.

Bokap gue.

Dia akhirnya berbalik buat masuk ke rumah, tapi pas dia jalan ngelewatin gue, dia tiba-tiba berhenti dan naruh tangannya di bahu gue. "Terlepas dari semua yang udah Papa lakuin ke kamu, kamu gak pernah ninggalin Papa. Kamu pegang janji yang sebenarnya gak seharusnya kamu tanggung sendirian selama ini. Tapi sekarang udah cukup, Nak. Kamu udah lakuin yang terbaik."

Dia masuk ke dalam rumah, ninggalin kata-katanya menggantung di udara, membuat dada gue makin sesek. Rasanya kayak ada beban berat yang akhirnya diangkat dari pundak gue, dan gue bisa napas lagi setelah sekian lama.

Gue bebas.

Dan hal pertama yang ada di kepala gue?

Ellaine.

Gue langsung ambil HP dan nelpon Maurice. Dia pasti udah balik dari perjalanannya sekarang. Pas dia angkat, suaranya masih ngantuk.

...📞...

"Antari? Kalau lo ngajak gue ke ranjang sekarang.…"

^^^"Santai. Bokap gue bakal ngomong sama bokap lo besok. Gue cuma mau bilang… Pertunangan kita udah selesai."^^^

"Tunggu. Apa?"

Gue bisa dengar nada suaranya naik. Kayaknya gue bukan satu-satunya yang sengsara dalam perjodohan ini.

^^^"Kita bebas, Maurice."^^^

Dia langsung hembuskan napas panjang, lega banget.

"Serius? Astaga, lo gak tahu betapa senangnya gue dengar ini. Tanpa maksud nyinggung, ya."

^^^"Gak masalah."^^^

"Tapi kita masih temenan, kan?"

^^^"Tentu aja. Semoga sukses, Maurice."^^^

"Lo juga, Antari."

Gue buru-buru masuk rumah, langsung turun ke bawah nyari Ellaine. Tapi dia gak ada di ruang tamu, gak ada di dapur juga. Berarti dia pasti di kamarnya. Gue ketok pintunya, gak sabaran.

Gila, gue jadi kayak bocah ababil lagi.

Bibi Mulan yang buka, senyum ramah di wajahnya. "Antari."

"Halo. Maaf ganggu, Bik, tapi gue butuh ngomong sama Ellaine."

Gue melongok ke dalam kamar, tapi kosong. Terus mata gue nemu sesuatu di atas meja samping ranjang.

Bonekanya.

Itu boneka babi yang gue kasih ke Ellaine pas malam kembang api.

Dia masih menyimpannya?

Dada gue langsung anget. Ada harapan kecil yang nyala di dalam, tapi di saat yang sama, gue bingung. Soalnya malam itu dia nolak gue.

Kenapa dia masih simpan?

"Ellaine lagi keluar. Katanya bakal balik beberapa jam lagi."

"Bibi tahu dia ke mana?"

Bibi Mulan menggeleng. "Gak."

"Oke, makasih. Malam, Bik."

Gue jalan ke ruang tamu, nungguin dia balik. Lepas jaket, hanya menyisakan kemeja putih. Gue duduk sampai jam menunjukan tengah malam.

Akhirnya, gue keluar rumah, duduk di tangga depan. Lalu, ada mobil masuk ke halaman. Berhenti di depan rumah. Dari situ, gue bisa lihat Ellaine.

Sama siapa?

Natius?

Serius?

Dia jalan sama teman setimnya Anan?

Gue berusaha buat mengendalikan diri, tahu kalau rasa cemburu bakal bikin semuanya berantakan. Gue gak mau malam ini rusak.

Ellaine turun dari mobil, ada lambaian terakhir dari tangannya sebelum muter balik. Begitu matanya nemuin gue, dia langsung freeze di tempat.

Dia pakai dress floral pendek yang santai, tapi gila, seksi banget di dia. Gue dekap tangan di samping badan, nahan perasaan aneh yang muncul.

Dia secantik ini buat orang lain?

Itu… nyesek juga.

Dan sekarang, dia berdiri di depan gue, bikin pikiran gue buyar seperti biasa. Dia menatap gue, dan dari ekspresinya jelas dia mau nanya, "Ngapain lo di sini? Mau apa lagi sekarang?"

"Gue nungguin lo."

Dia jalan mendekat, nyilangkan tangan di dada. "Buat apa?"

Gue garuk tengkuk, nyari cara buat ngomong tanpa bikin dia makin galak.

"Gue udah putus sama Maurice."

"Terus? Itu ada hubungannya sama gue?"

"Banyak." Gue maju selangkah. "Gue mau… sama lo, Ellaine."

Kenapa tatapannya masih sedingin es?

"Malam ini? Lo mau sama gue malam ini, terus besok, lo balik lagi ke tunangan lo kayak gak ada apa-apa. Gue capek sama permainan lo, Antari."

"Gue gak main-main." Nada suara gue lebih serius dari yang gue kira. "Gue gak bakal balik sama dia."

"Kenapa gue harus percaya?"

Gue makin dekat sampai dia harus angkat dagu buat menatap mata gue. "Karena ini lo. Karena cuma lo yang bisa lihat gue apa adanya."

Bibirnya sedikit terbuka, dan gue harus nahan diri buat gak nyium dia. Gue gak mau dia ngerasa keganggu atau terpaksa. Apalagi kalau benaran dia lagi pacaran sama orang lain. Gue udah cukup banyak naruh dia di posisi gak nyaman.

Gue tahu dia masih ragu, jadi gue lanjut ngomong.

"Gue gak minta lo terima gue sekarang juga. Gue bakal usaha buat dapetin lo, semuanya." Gue pegang wajahnya dengan dua tangan, jemari gue nemuin kulitnya yang lembut. "Gue gak mau jadi pengecut lagi, Ellaine. Gak ada lagi yang bisa bikin gue mundur."

Dia jilat bibirnya, jelas masih mikir. "Gue udah bilang, gue udah punya pacar."

"Kita berdua tahu perasaan kita sebenarnya, dan cuma gue yang bisa bikin lo jatuh cinta."

Dia senyum kecil, hampir ketawa. "Pede banget lo."

"Dan lo bego karena masih nyoba sama orang lain."

Dia taruh tangannya di atas tangan gue, yang masih nempel di wajahnya. "Yang lebih bego tuh lo."

Hening.

Gue kejebak dalam tatapan mata hitamnya yang dalam banget.

Kok bisa sih matanya seolah menyihir gue?

Gue usap bibirnya pakai ibu jari, bayangin bagaimana rasanya kalau akhirnya bisa nyium dia.

Tapi dia malah mundur selangkah, lepasin semua kontak di antara kita.

"Oke, kalau lo mau berjuang buat gue, silakan. Tapi gue gak janji apa-apa." Dia jalan ngelewatin gue menuju pintu. Pas hampir masuk, dia nengok lagi, kasih senyum tipis, kayaknya dia puas lihat gue hancur. "Oh iya, gue gak punya pacar. Itu gak serius, cuma pengen lihat lo kesel aja."

"Ella—" Mulut gue udah siap ngomel, tapi dia udah menghilang.

Gue bakal memperjuangkan dia. Gue gak bakal nyerah sampai dia benar-benar ada di pelukan gue.

Lo bakal jatuh cinta, Ellaine.

1
Ummi Yatusholiha
suka banget ella bikin kesel antari🤭

setelah antari beneran selesay sama maurice,tetap aja masih sulit buat bersatu dgn ellaine,blm lagi masalah restu dari orangtua antari
Ummi Yatusholiha
lah,beneran nih ella jalan sama natius,kirain tadi bakal dihalangin antari.
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
Ummi Yatusholiha
bingung banget pastinya jadi antari,pengen jadi satu2 nya dihidup ella, tapi karna keadaan malah gak bisa apa2
Ummi Yatusholiha
orangtua emang kadang sangat berpengaruh buat anaknya.

senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
Ummi Yatusholiha
hubungan kalian ini bikin deg degan trus deh.
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
Ummi Yatusholiha
emang susah klo sudah ngomong soal status sosial.. sedih deh dgn hubungan kalian 🥺🥺
Ummi Yatusholiha
btw kok bisa ellaine bisa ngamar sama natius yaa,apa lagi natius masih SMA,gimana ceritanya coba 🤔🤔
Ummi Yatusholiha
ternyata yg terjadi di malam pesta kambang api semua karena peran si nyonya astuti,sang majikan.ella trus terang aja deh ke antari soal nyokapnya
Ummi Yatusholiha
hadeuh antari ellaine asta,bakal rumit deh ini.
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
Ummi Yatusholiha
aduh ellaaaa,kan kamu bisa pake kamar mandi,nagapain coba main jari gak liat2 tempat,kedapatan kan sama asta 🤭🤭
Aan
karyanya bagus
Ummi Yatusholiha
thanks udah up thor.. kirain tadi up banyak2 lagi 🤭
Ummi Yatusholiha
senang dengan part percakapan kakek bahari dan ellaine 🥰
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔
Ummi Yatusholiha
plin plan deh antari,klo emang kamu suka dan nyaman sama maurice,trus kenapa masih gangguin ella,apa emang ella cuma jadi mainan doang,pdhal kamu nyadar klo ella gak pantas di gituin.kasian ella,jadi baper kan
Ummi Yatusholiha
udah biasa terjadi kan dikalangan pebisnis dan pengusaha,menjodohkan anak mereka demi bisnis
Ummi Yatusholiha
tuh kan antari,mau mainin perasaan ella kah,udah bukan pacar tapi tunangan
Ummi Yatusholiha
kayaknya mama antari baik2 aja deh, tapi kok bisa selingkuh ya 🤔🤔
Ummi Yatusholiha: sementara baca thor,blm tamat sih,masih ditengah jalan 😊😊
Tya 🎀: wah kyknua udah namatin zielle sama anan nih bisa tau mamanya antari selingkuh
total 2 replies
Dita Suriani
kisahnya masih kusut
Tya 🎀: Iya, kak. Belum disetrika
total 1 replies
Ummi Yatusholiha
jeng.. jeng.. jeng
Ummi Yatusholiha
selamat.. selamat 😄😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!