Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34. Ayo kita Lari
“Sebelum apa?” Alessia menggenggam tangan Amara dengan erat. “Jangan berpikir seperti itu, Amara. Kau masih punya banyak waktu untuk Nico, untuk semua ini.”
Amara tidak menjawab, tetapi tatapannya berbicara banyak.
Di sudut lain hatinya, Amara telah memutuskan untuk menjaga jarak sejauh mungkin dari Dante. Setiap kali langkah kakinya terdengar di lorong, ia akan mencari alasan untuk menghilang, entah pergi ke kamar Nico, membantu Alessia dengan obi barunya di dapur, atau sekadar mengunci diri di kamarnya. Begitulah hari-hari berlalu akhir ini.
Sore itu, Amara sedang menata bunga di vas ruang tamu ketika suara langkah Dante terdengar mendekat. Dengan cepat, ia membawa vas itu dan berjalan ke arah yang berlawanan, menghindari tatapan mata yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Dante, yang menyadari sikap Amara, berhenti di tengah ruangan. Napasnya terasa berat setiap kali Amara berlalu begitu saja, tanpa sepatah kata pun. Hatinya ingin meneriakkan penjelasan, tetapi ia tahu itu tidak akan cukup.
Sementara itu, Mia semakin sering datang ke rumah Laurent dan membawa beberapa pakaian, dia sibuk mempersiapkan pesta resepsi pernikahan mereka. Ia sering terlihat berbicara dengan desainer, florist, dan koordinator acara, memastikan semua berjalan sesuai rencananya.
“Dante, sebentar lagi kita akan datang ke sesi foto, orang tuaku sudah menunggu, kau bisa datang, bukan?” tanya Mia suatu pagi ketika mereka berpapasan di lorong.
Dante hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dalam hatinya, ia merasa semakin jauh dari apa yang disebut kebahagiaan.
Mia tidak peduli dengan reaksi dingin itu. Baginya, pesta ini adalah bukti kemenangan. Bukti bahwa ia telah berhasil mendapatkan Dante, meskipun pria itu tidak mencintainya.
---
Malam itu, Amara duduk di tepi tempat tidurnya, menatap bingkai foto dirinya bersama Nico yang ada di meja samping. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan pikiran.
Saat itulah ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk. Dengan ragu, Amara membuka pesan itu.
Beberapa hasil Foto mereka hari itu. Mia, dengan gaun pengantin putihnya, tersenyum bahagia di samping Dante yang tampak seperti patung tanpa emosi.
Malam itu, Amara membutuhkan pelarian dari semua beban yang menghimpit hatinya. Matanya tak bisa tertidur. Tak lama kemudian dia sudah berada di ruang music ibu Dante. Di dalamnya, suasana tenang, foto-foto keluarga menghiasi dinding, termasuk potret masa kecil Dante bersama ibunya. Ada senyum ceria di wajah bocah itu, dan Amara hanya bisa membayangkan bagaimana hidupnya sebelum semua tekanan ini hadir.
Ia mengangkat biola yang telah lama disimpan di sana. Menyesuaikan posisinya, ia mulai memainkan melodi sedih yang mengalir dari hatinya. Suaranya melengking lembut, seperti tangisan yang terpendam. Musik itu memenuhi ruangan dengan emosi yang sulit dijelaskan, mengungkapkan kerinduannya yang mendalam pada Dante dan juga kebebasan yang tak lagi ia miliki.
Dante, yang baru saja pulang. Ia mendengar suara biola dari jauh. Ia tahu betul siapa yang memainkannya. Dengan hati yang dipenuhi campuran rasa sakit dan harapan, ia mengikuti melodi itu sampai berhenti di luar jendela kecil ruang musik.
Permainannya berhenti, di dalam, ia melihat Amara sedang berdiri di depan meja kecil tempat sebuah foto keluarga berada. Tangannya mengelus wajah kecilnya yang ada di foto itu.
Amara berbisik, "Hei, Dante kecil ... seandainya aku bisa melindungi senyummu selamanya."
Dante menahan napas, tubuhnya tak bergerak. Kata-kata itu menusuk hatinya, menyadarkan dirinya bahwa meskipun Amara terlihat menjauhinya, ia masih menyimpan perasaan yang mendalam.
Amara kembali memainkan biola, kali ini melodi yang lebih lembut, tetapi tetap menyimpan kesedihan. Dante tidak tahan lagi. Ia membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Ia menatap Amara yang tak menyadarinya penuh perhatian. Begitu selesai, Dante berkata.
"Kau memainkannya lebih baik dari yang aku ingat."
Amara tersentak, menoleh cepat. Wajahnya menunjukkan campuran rasa terkejut dan gugup.
"Dante... apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Amara.
"Seharusnya aku yang bertanya. Ini suadah larut malam, Amara. Kenapa kau ada di sini?"
Amara meletakkan biola itu dengan hati-hati di meja, menghindari tatapan Dante.
"Aku hanya... ingin menenangkan diri," jawab Amara pelan.
Dante mendekat, "Kau harus melarikan diri ke sini baru aku bisa menemui mu. Sulit sekali untuk sekedar melihat wajahmu akhir-akhir ini, Amara"
Amara tidak menjawab, hanya menunduk. Dante menarik napas dalam, lalu mengangkat bingkai foto kecil yang tadi dipegang Amara.
"Ini foto favorit ibu. Dia selalu bilang senyumku di sini adalah yang paling tulus," Dante mengenang.
Amara hanya diam, tetapi matanya berkaca-kaca. Dante mengamati wajahnya dengan seksama, mencari jawaban yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.
"Amara, aku Lelah," kata Dante pelan. Wajahnya sedikit lebih pucat dari biasanya.
Amara menoleh, terkejut mendengar nada suara Dante yang berat. Ingin ia menyentuh wajah lelah lelaki itu untuk menenangkannya. Amara tahu ini juga sangat berat bagi Dante.
"Apa maksudmu? " tanya Amara.
"Aku lelah berusaha menyelamatkan hubungan kita, tapi aku terlalu bodoh. Aku gagal. Kita tidak bisa terus seperti ini, hidup dalam bayang-bayang rumah ini dan semua yang terjadi di dalamnya."
"Dante, aku … "
"Ayo kita pergi dari semua ini, Amara,” kata Dante mengejutkan.
“Aku ingin kita pergi dari semua kekacauan ini. Kita bisa tinggal di tempat baru, memulai semuanya dari awal. Jauh dari Nenek, jauh dari tekanan ini. Kita butuh ruang untuk memperbaiki apa yang rusak. Hanya kita berdua" Dante melanjutkan.
Amara menatapnya lama, lalu menggeleng pelan.
"Aku tidak bisa," jawabnya.
"Kenapa? Karena Nenek? Karena keluarga Mia? Karna ancaman mereka? Aku tidak peduli lagi, Amara. Aku bisa melindungi kita. Aku bisa melindungi Ibu dan juga adikmu"
Amara berdiri, memunggungi Dante.
"Kau sudah punya istri, Dante. Kita tidak punya houngan apa-apa lagi sekarang. Da ini bukan hanya tentang aku. Kau tidak tahu apa-apa tentang keluargaku dan yang telah kami lalui selama ini. Aku tidak mau melukai mereka lebih jauh. Kamu mungkin bisa melawan Nenekmu, tetapi aku tidak bisa membiarkan ibu dan adikku lebih terluka lagi karenaku."
Dante menghampirinya, mencoba menyentuh bahunya, tetapi Amara menjauh.
"Aku tidak pernah mengakui pernihan itu , Amara. Semuanya sudah diatur. Apa aku tidak penting bagimu? Apa aku ini hanya beban tambahan yang kamu tidak ingin pikul?"
"Kamu tahu itu tidak benar."
"Kalau begitu, buktikan. Pilih aku. Pilih kita."
Amara terdiam lama, air mata akhirnya mengalir di pipinya.
"Aku sudah memilih, Dante. Aku memilih untuk melindungi keluargaku, bahkan jika itu berarti harus kehilanganmu."
Dante menatapnya dengan kekecewaan mendalam mendengar orang yang memenuhi hatinya mengatakan itu.
Dalam hati Dante mengikrarkan kesimpulannya, “Diantara semuanya, Kau memang tidak pernah memilihku,” katanya lirih.
Amara pun akhirnya keluar dari ruangan, meninggalkan dirinya yang terpaku di tempatnya, kakinya lemah, sementara tangannya, masih memegang erat foto masa kecilnya yang diusap-usap Amara.
“Apakah hidupku memang sudah harus seperti ini?” bisik Dante dengan senyum sinis untuk dirinya sendiri.
“kalau dari awal kau tidak akan pernah emilihku, seharusnya sampai sekarangpun kau jangan terlihat seolah mengasihani bahkan pada foto yang yang tak mampu bicara ini, Amara. Setidaknya jangan membuat orang bodoh sepertiku salah paham pada tatapan matamu” lirih Dante semakin Lelah.
Bersambung….