Cerita ini adalah fiksi dewasa yang diperuntukkan bagi pencari bacaan berbeda.
*****
Sekuel sekaligus akhir dari cerita 'Stranger From Nowhere'.
Makhluk yang sama, tempat yang sama, dengan tokoh dan roman yang berbeda.
***
Saddam kehilangan ibunya dalam sebuah kecelakaan pesawat di hutan Afrika.
Pria itu menyesali pertengkarannya dengan Sang Ibu karena ia menolak perjodohan yang sudah kesekian kali diatur untuknya.
Penasaran dengan apa yang terjadi dengan Sang Ibu, Saddam memutuskan pergi ke Afrika.
Bersama tiga orang asing yang baru diperkenalkan padanya, Saddam pergi ke hutan Afrika itu seperti layaknya mengantar nyawa.
Tugas Saddam semakin berat dengan ikutnya seorang mahasiswi kedoktoran bernama Veronica.
Seperti apa jalinan takdir mereka?
***
Contact : uwicuwi@gmail.com
IG : @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. I Will Find You
Saddam terus berjalan cepat dengan suara seminim mungkin mengikuti langkah kaki Osas yang cekatan melangkah meski keadaan sekeliling mereka gelap gulita. Mereka berusaha untuk tak terlihat dengan tidak menyalakan senter.
Sedangkan Makalo berjalan diam di belakang mereka dengan wajah muram. Porter termuda itu sepertinya begitu terpukul dengan kepergian Salim yang begitu cepat.
Sebelum memutuskan berangkat dan meninggalkan jasad Salim, Osas mengatakan pada Saddam bahwa arah yang dituju Ndaka sepertinya adalah bagian timur dari hutan itu.
Saddam yang benar-benar buta tentang arah dan keadaan hutan menyerahkan semua keputusan saat itu kepada Osas.
Setengah jam berjalan tanpa henti membuat Nafas Saddam terengah-engah. Uap asap keluar dari setiap hembusan nafasnya. Jaket parka yang dikenakannya mulai membuatnya gerah.
Pria itu merasakan dahinya sudah dipenuhi keringat. Dan luka bekas tusukan panah di punggung yang sedari tadi diabaikannya mulai terasa berdenyut.
Jalanan yang menurun dan langkah Osas yang semakin cepat membuat Saddam harus berhati-hati menginjakkan kakinya di tanah yang licin. Dirinya sama sekali belum terbiasa berjalan di dalam gelap dengan tanah yang naik-turun serta licin sebagai pijakannya.
Sebagai seorang pengusaha yang terbiasa memiliki rencana A sampai Z untuk meminimalisir resiko proyek, sepanjang kakinya melangkah mengikuti Osas, otaknya sibuk berpikir.
Kemanakah teman-temannya? Apakah Eko berhasil bertemu dengan yang lain? Apa Vero selamat dari para penyerang yang mengincarnya? Bagaimana jika dia tak berhasil menemukan teman-temannya? Apa yang akan dilakukannya selanjutnya? Semua pertanyaan itu melintas berulang kali dalam pikirannya.
Saddam membuang jauh-jauh semua kemungkinan buruk yang muncul di kepalanya.
Kepala Saddam nyaris menubruk sebuah dahan pohon yang terjulur melintang di depannya saat Osas menghentikan langkahnya tiba-tiba.
"Heii!!" seru Saddam spontan.
Osas menoleh padanya,
"That's river" bisik Osas nyaris tak terdengar.
"What?" tanya Saddam.
"Can your hear that? Water," Osas menunjuk ke satu arah di sisi kiri mereka.
Saddam menajamkan pendengarannya. Samar-samar pria itu mendengar suara aliran air di bawah sana.
...--oOo--...
Tak terhitung banyaknya air sungai yang tertelan Rully saat pria itu terbatuk-batuk sambil mencoba mempertahankan kepalanya agar tetap berada di atas air.
Tangan pria itu terlihat berada di atas sambil memegangi ranselnya. Vero memaki Rully di dalam kepalanya. Bisa-bisanya pria itu lebih memikirkan kamera ketimbang nyawanya sendiri.
Hampir satu kilometer mereka terbawa arus sungai saat Vero merasakan kakinya menyentuh dasar sungai. Musim dingin membuat air sungai menjadi seperti air es.
Ndaka melambai ke arah mereka dan menunjuk sisi kiri hutan yang landai dan tertutup. Rizky segera mengikuti di belakangnya.
Tanpa mengeluarkan suara gaduh, satu persatu mereka naik ke permukaan dan merayapi tanah menuju sisi tepi sungai yang landai.
Saat naik ke permukaan, Vero merasa angin yang bertiup seperti menampar wajah dan dadanya. Seolah Vero harus bergantian memakai selang oksigen bersama orang lain. Nafasnya terasa sesak.
Dari balik kacamatanya yang buram karena basah, Vero melihat Rully terseok-seok melangkah ke tepi sungai dengan mendekap ranselnya. Eko berjalan cepat-cepat mendekatinya. Panah yang sebelumnya menancap di lengan Eko kini hilang entah kemana. Tapi luka itu masih berdarah.
Vero mendengar Ndaka memerintahkan mereka untuk sedikit mendaki ke atas untuk mencari tempat yang datar sebagai tempat mereka bermalam.
Ndaka membawa satu ransel besar yang berisi satu set tenda. Seluruh pakaian dan perlengkapan mereka yang lain berada di ransel yang sedang dibawa porter yang terpisah dari mereka.
Dengan cekatan porter itu membuka ransel dan mendirikan satu tenda di tempat paling datar yang ditemukannya saat itu. Bagian ujung kanan tenda terhimpit dengan dua buah pohon hingga tenda itu tak berbentuk sempurna seperti kemarin malam.
Rizky membongkar seluruh isi ransel dan menemukan beberapa potong pakaian. Pria itu langsung pergi ke balik pohon untuk mengganti pakaian basahnya. Vero hanya bisa duduk meringkuk mendekap lutut. Tubuhnya mulai mati rasa. Kuku-kukunya mulai membiru dan tak terasa lagi saat wanita itu mencoba menekannya.
Rully terlihat sama tak berdayanya dengan Vero. Pria itu nyaris tak berkata apa-apa selain terbatuk-batuk sejak keluar dari sungai. Eko yang masih basah kuyup namun lebih terlihat segar dibanding mereka menanyakan tentang pakaian Vero. Asisten Saddam itu memintanya berganti pakaian.
Vero hanya bisa menggeleng. Semua bawaannya berada di ransel porter lain. Suara-suara di sekeliling Vero mulai terdengar samar-samar. Vero menyadari dia mulai kehilangan kesadaran karena hipothermia.
Denyut jantungnya terasa melemah dan nafasnya pendek-pendek. Tubuhnya terasa oleng ke samping dan tak bisa dicegahnya untuk tidak jatuh. Vero terbaring setengah pingsan di tanah. Nasib baik kepalanya tak menghantam sebuah batu yang mencuat tak jauh dari tempatnya jatuh.
Telinganya masih bisa mendengar Eko yang berteriak-teriak agar segera memapahnya ke dalam tenda.
"Mba Vero Hipotermia ini! Kalau pakaiannya ndak diganti, dia bisa mati. Tolong Mas!" Pekikan suara Eko terdengar meminta tolong entah kepada Mas yang mana.
Kemudian tubuhnya terasa diangkat dan dipindahkan ke dalam tenda.
"Biar gua lepasin pakaiannya semua. Dia harus hangat sekarang" ucap Rizky.
"Ly... Rully... Elu ngapain. Gua ga mau ditelanj*ngin Rizky. Tolong gua Ly... atau biarin aja gua mati kedinginan di sini," Vero merintih di dalam hati.
"Jangan Mas Riz, ntar dulu saya cari pakaian kering di ransel yang mungkin bisa dipakai Mba Vero. Kita usaha bangunkan Mba Vero dulu, siapa tau bisa tuker pakaian sendiri" sergah Eko dengan suara giginya yang beradu karena dingin.
"Ah kelamaan, ntar dia bisa kenapa-napa. Pakaian gua udah kering ni. Dan gua ga kedinginan. Lu juga masih basah kuyup gitu. Gimana Ly?" Rizky bertanya pada Rully yang bersandar memejamkan matanya.
"How many sleeping bag we have?" tanya Rully pada Ndaka.
"Only one," jawab Ndaka.
"Only one, Vero bisa pake itu Riz," ujar Rully.
"Iya! Gua tau. Tapi pakaiannya harus dilepas semua. Dan dia harus berdekatan dengan panas tubuh orang lain biar cepat pulih. Vero harus dipeluk. Kita ga bisa masak air untuk ngasi dia minuman hangat, semuanya basah" balas Rizky.
Rully kembali terbatuk-batuk seperti tak sanggup menjawab Rizky.
Eko meraih ransel Ndaka dan kembali mengaduk-aduk isinya demi menemukan beberapa potong pakaian kering. Setelah menemukan apa yang dicarinya asisten Saddam itu pergi menjauh demi berganti baju.
Sesaat kemudian Eko keluar dari balik pepohonan dengan memakai kemeja flanel besar dan celana cargo yang kedodoran di tubuhnya. Entah pakaian siapa yang dikenakan oleh Eko saat itu.
Lantas pria berkacamata itu menghampiri Rully dan menyerahkan pakaian kering.
"Pakai ini dulu Mas, cepat. Kalo Mas Rully ga nolong diri sendiri lebih dulu, Mas Rully ga akan bisa nolong orang lain. Mba Vero sedang butuh bantuan kita" nada bicara Eko setengah memerintah kepada Rully.
Rully mendongak menatap wajah Eko dan kemudian beralih ke lengan pria itu.
"Lengan kamu masih berdarah Ko," ujar Rully seraya berdiri dan pergi ke balik pepohonan diikuti dengan suara batuknya. Rully mulai memahami kenapa Eko digaji besar sebagai asisten oleh Saddam. Eko sangat cekatan dan efisien.
"Iya Mas, luka saya masih bisa nunggu. Mba Vero ga bisa nunggu lebih lama," gumam Eko muram.
"Ly!! Elu atau gua yang buka pakaiannya Vero?" emosi Rizky kepada Rully yang juga belum memberikan jawaban pasti kepadanya.
"Elu bisa sabar dikit ga sih? Ngotot amat mau nelanj*ngin dia!" seru Rully dari balik pepohonan.
"Atau Elu yang mau bukain baju Vero?" hardik Rizky pada Eko yang sedari tadi hanya diam menatap wajah pria itu.
"Saya? Saya ndak bisa. Ndak boleh," jawab Eko setengah tergagap.
"Elu ga bisa. Kalo gitu gua aja" Rizky melangkah menuju tenda tempat Vero yang masih bisa mendengar semua percakapan mereka.
"Mas Rizky juga ndak boleh" Eko setengah menarik lengan Rizky yang dengan segera dihempaskan oleh pria itu.
"Tahan Rizky Ko, gua ga mau..." Vero menjerit di dalam pikirannya.
Rizky membuka pintu resleting tenda dan melihat Vero setengah membuka mata melihatnya. Tubuh Vero nyaris membiru.
"Mas Riz... ga boleh," dari luar tenda suara Eko terdengar pasrah.
"Kenapa gua ga boleh?" balas Rizky dari dalam tenda. Rizky kembali menutup pintu resleting tenda hingga rapat.
Vero merasakan tubuhnya digeser ke tepi tenda dan sebuah tangan mulai membuka resleting jaket parkanya. Kemudian dengan cekatan Rizky membuka kancing kemejanya satu persatu.
Musim dingin di Afrika Selatan yang suhunya sering anjlok hingga 5° membuat manusia tropis seperti mereka harus mengenakan pakaian berlapis-lapis untuk menghalau dingin.
"Ini pelecahan namanya. Gua lebih baik mati ketimbang Rizky liat gua bug*l" Vero mulai menangis tanpa suara di dalam pikiran.
"Mas Rul..." lirih Eko sembari melirik tenda dan wajah Rully yang telah kembali terduduk bersandar di sebuah pohon dan terbatuk-batuk. Pakaian pria itu telah kering sekarang.
"Gua ga bisa gantiin pakaian Vero Ko, gua ga sanggup. Ga tega. Elu juga bilang ga bisa. Jadi siapa lagi?" bisik Rully lemah.
"Gua yang bakal nuker pakaian Vero. Riz! Gua udah bawa pakaiannya Vero, elu bisa keluar sekarang!" tiba-tiba Saddam muncul dari arah pinggiran sungai beserta dua orang porter di belakangnya.
"Pak Saddam!!" Eko memekik dan langsung melompat memeluk majikannya.
"Iya, gua tau elu mau bilang apa Ko," Potong Saddam tak sabar. Pria itu langsung menurunkan ransel raksasa yang tadinya dipanggul oleh Salim.
Osas dan Makalo yang tiba di lokasi langsung menurunkan semua bawaan mereka. Ndaka baru muncul dengan sepelukan kayu kering dan terperanjat melihat kehadiran teman-temannya.
Rizky sudah berhasil melepaskan kemeja flanel Vero dan tangannya kini sudah menarik kaos oblong wanita itu hingga ke pinggang saat telinganya mendengar suara Saddam yang menyuruhnya keluar.
"Sa--ddam..." lirih Vero di dalam pikirannya.
Vero bersyukur bisa kembali mendengar suara pria itu. Tapi sekarang hatinya kembali digeluti oleh kekhawatiran.
Bagaimana jika memang Saddam yang akan menolongnya berganti pakaian. Tenggorokannya terasa kering dan lidahnya sangat kaku untuk digerakkan.
Setengah kesal Rizky menyentak kembali kaos Vero dan segera membuka resleting pintu tenda.
"Apa sih??" kesal Rizky ketika muncul di mulut tenda.
"Riz, kali ini gua lebih percaya ke Saddam. Sorry. Kalo Vero bisa ngomong, dia juga akan setuju ama gua. Please, kita semua udah sama-sama capek. Gua ga mau ribut lagi" Rully berbicara dengan suara lemah namun tegas kepada Rizky.
"Kenapa harus elu? Kenapa harus dia?" tanya Rizky setengah berteriak dan menunjuk Saddam yang mengangkat kaki kanan untuk menarik tali sepatu Caterpilar miliknya.
"Gua ga bisa kasi tau elu alasannya sekarang. Dan ga penting juga elu tau. Lu bukan Bapaknya Vero, dan seandainya Bapaknya di sini, gua juga sangat yakin kalo Bapaknya mau gua yang masuk ke dalem ketimbang elu," jawab Saddam datar.
Dengan wajah angker Rizky melangkah ke luar tenda tanpa memakai alas kaki. Pria itu langsung menuju ke arah Ndaka dan duduk di dekat porter yang sedang menyalakan api untuk memasak air.
Saddam telah selesai menggaruk seisi ransel yang dibawanya untuk mencari perlengkapan Vero. Dia tak menyangka wanita yang terlihat cuek akan penampilannya itu ternyata membawa perlengkapan yang begitu banyak dan bermacam-macam.
Dengan wajah datar Saddam berdiri di depan tenda dengan sebuah sleeping bag, handuk, pakaian Vero dan sebungkus dompet plastik transparan yang berisi berbagai botol milik Vero yang tak bisa dibacanya dalam kegelapan.
Sebelum memasuki tenda, Saddam terlihat menarik nafas panjang.
...***...
...Mohon dukungan atas karyaku dengan like, comment atau vote. ...