Stranger From Nowhere 2 : The Conclusion
Dari penulis :
Ini adalah novel bergenre Thriller - Romance 21+ (adult-romance)
Dengan membaca novel ini, pembaca harus memastikan dirinya sudah cukup umur dan memahami bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka. Hanya imajinasi yang bertujuan menghibur. Tidak ada pelajaran di dalam novel ini. Jadi, jangan dicari pelajarannya.
Harap bijak berkomentar. Pastikan Anda memilih bacaan yang tepat sebelum melanjutkan. Ingat, jangan salah memilih genre bacaan. Don't forget, our words is our class.
...____________________...
"Kamu liat dulu dong fotonya, masa belum apa-apa udah bilang ga mau." Seorang wanita berumur lebih dari 60 tahun dengan rambut tergulung di atas tengkuknya mengangsurkan sebuah foto pada Saddam, putra bungsu dan satu-satunya di keluarga.
"Ya udah, ni Saddam liat biar Ibu seneng," Tangan Saddam memegang selembar foto wanita tampak setengah badan dan mengamatinya sekilas kemudian meletakkannya di sebelah piring makan.
"Kamu udah 29 tahun. Mbak Citra anaknya udah gede, masa kamu ga pengen punya keluarga sendiri." sang Ibu mengomel.
"Please deh Bu, masih pagi gini udah ngomel-ngomel. Saddam mau sarapan dulu."
"Ga pernah denger kalo Ibunya ngomong. Percuma kamu punya perusahaan besar, rumah besar, kalo hidup kamu tuh masih keluyuran terus. Wanitanya ganti-ganti ga ada yang bener." Ternyata Ibu Saddam benar-benar melanjutkan omelannya.
"Saddam juga perlu waktu Bu.." Saddam meletakkan sendok dan menatap Ibunya.
"Waktu apa? Mau nyari yang gimana? Kamu udah dikenalin dengan banyak wanita tapi ngomongnya selalu ga pernah cocok. Orangnya beginilah, begitulah. Ntar kamu disangka gay Dam!"
"Bu, apaan sih? Saddam normal, sehat. Emang belum ketemu aja yang sreg."
"Kali ini kamu harus coba deketin gadis itu. Ibu bukan jodohin kamu, Ibu mau kamu kenalan dulu. Deketin, diuber. Dia anak dari keluarga baik-baik." Ibu Saddam menumpuk piring kotor di depannya.
"Iya Bu.. Ibu tenang aja. Nanti Saddam bakal kasi berita baik"
"Ayahmu udah ga ada Dam.. Ibu cuma sendirian membesarkan Mba Citra dan Saddam. Ibu udah tua, ga bakal ada terus untuk Saddam dan Mba Citra." Ibunya menatap matanya lurus.
"Iya Bu, tapi gimana kalo Saddam emang ga dapet chemistry dengan gadis-gadis yang ibu rekomendasikan itu?" Saddam menggenggam tangan Ibunya berusaha membujuk untuk memahami dirinya yang belum mau menikah.
"Kamu harus bisa deketin gadis itu. Ibu tunggu kamu bawa dia ke rumah ini untuk dikenalin ke Ibu. Jangan jagonya cuma ngerayu gadis-gadis di club terus dibawa bermalam." sang Ibu menarik tangannya yang digenggam Saddam dengan wajah kesal.
"Bu!" Saddam mendelik
"Kenapa? Kamu marah karna kata-kata Ibu salah? Atau karna kata-kata Ibu benar? Selama ini Ibu ga pernah minta apa-apa ke kamu. Ibu cuma mau kamu hidup yang bener. Pergi pagi untuk kerja, dan nyampe ke rumah malem dari kantor. Bukan keluar-masuk club. Bermalam di hotel-hotel. Kamu masih punya Ibu yang nunggu kamu di rumah. Kalo seorang Ibu ga bisa buat kamu betah di rumah, kamu harus punya istri, punya anak" Ibunya menarik nafas panjang kemudian menatap Saddam.
"Saddam sekarang belum bisa bu,"
"Sampai kapan kamu mau nginget Rossa terus? Dia juga ga akan tenang di alam sana kalo ngeliat hidup kamu hancur dan berantakan setelah dia ga ada. Dam, kamu juga punya kehidupan sendiri. Jaga Rossa dalam pikiran kamu sebagai motivasi untuk hidup lebih baik. Kamu masih inget kan apa pesannya sebelum meninggal?" Sorot mata Ibunya melembut.
Saddam hanya diam mematung. Membayangkan wajah pucat Rossa di hari terakhir kehidupannya dengan berbaring di ranjang rumah sakit dengan tangan dingin yang selalu berada di genggaman Saddam.
Sudah 3 tahun berlalu dan dirinya memang belum bisa melepaskan gadis itu dari pikirannya. Gadis yang dipacarinya lebih dari 5 tahun sejak masa kuliah dan harus berpisah karena Rossa direnggut oleh pneumonia.
"Gimana kalo Saddam emang ga pengen nikah Bu?" Suaranya setengah tercekat.
"Apa?! Ngaco kamu! Menurut kamu Ibu nyuruh kamu nikah karna benci ama Rossa? Ibu sayang kalian Dam, Ibu juga maunya kalian itu menikah dan memiliki keluarga. Tapi Tuhan udah ambil Rossa. Kamu harus terima kenyataan. Benahi hidupmu." Ibunya hampir menangis saat menghardik Saddam dengan putus asa. Wanita itu kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan.
Lagi-lagi Saddam bertengkar dengan Ibunya karena masalah yang sama. Ibunya bersikukuh ingin dirinya segera menikah dan berkali-kali mengatur perkenalan dengan anak perempuan para kenalannya.
Saddam masih duduk mematung menatap sarapan yang baru disuapnya dua sendok. Merasa kehilangan selera, dirinya bangkit menyambar tas kerjanya dan menuju ke garasi tempat mobilnya terparkir.
Meski kepergian Rossa sudah cukup lama, tapi itu tak pernah mudah bagi Saddam. Wanita yang telah menyusun rencana untuk hidup bersamanya pergi untuk selamanya hanya dengan melalui sakit yang tak lama. Rossa hanya berada di rumah sakit selama 4 hari, dan di hari kedua di rumah sakit Rossa koma dan tak pernah terbangun lagi.
Saddam benar-benar hancur karena merasa tak bisa menjaga wanita pertama yang begitu dicintai dan diinginkannya. Sepeninggalan Rossa, Saddam seperti kehilangan tujuan hidupnya yang semula sudah tersusun rapi. Berulang kali dia bertemu dengan wanita yang dikiranya bisa menjadi pengganti Rossa, tapi kesemua hubungan itu hanya berakhir di ranjang dan sejumlah uang. Wanita-wanita itu tak menginginkan cintanya, mereka hanya memandang apa yang dimiliki oleh Saddam saat ini.
Saddam menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah besar yang hanya ditinggalinya bersama sang Ibu dengan wajah suram. Bisa dipastikan jika malam ini dia tak akan pulang ke rumah. Seperti kata Ibunya, dia akan masuk ke club mencari wanita dan mengajaknya bermalam di hotel.
...--oOo--...
"Hari ini cepat banget nyampe kantor Pak" Eko berkata sambil membukakan pintu mobil Saddam.
"Biasalah, kena omel gua." Saddam mencampakkan kunci mobilnya kepada Eko.
"Ibunya Pak Saddam tau kalo Bapak pulang subuh?" Eko menjajari langkah bosnya.
"Ah pusing gua Ko! Saban hari disuruh kawin." Saddam mendengus.
"Ibunya Pak Saddam ga salah. Dan maksudnya memang baik. Saya aja setelah menikah, jadi buncit gini." Eko yang telah menjadi asisten Saddam lebih dari 4 tahun sudah benar-benar mengerti watak bosnya yang tiga tahun belakangan menjadi bad boy setelah pacarnya meninggal.
"Kamu keluar dulu Ko, panggilin Agnes suruh masuk." Saddam memghempaskan tubuhnya di kursi empuk Direktur.
Di usianya yang baru 29 tahun, Saddam adalah Direktur Utama dari tiga perusahaan yang didirikannya sendiri. Awal usia 20-an Saddam mendirikan sebuah perusahaan ekspor yang bekerja sama dengan para UKM.
Saddam pergi ke pelosok-pelosok daerah untuk mencari kerajinan produk masyarakat yang kurang dilirik di dalam negeri dan membantu untuk memasarkannya ke luar negeri.
Sukses dengan bisnis ekspornya, dalam dua tahun Saddam mendirikan sebuah perusahaan ekspedisi yang menangani seluruh kegiatan ekspornya. Saddam yang merasa tergantung dengan perusahaan ekspedisi merasa gemas dengan pelayanan dan waktu sampainya barang di negara tujuan ekspornya yang sering terlambat.
Ketimbang menghadapi masalah yang itu-itu saja, Saddam memutuskan membuka perusahaan ekspedisi sendiri.
Dan sekarang, di usianya yang ke 29 tahun Saddam telah menambah satu jenis perusahaannya yang bergerak dalam bidang IT. Perusahaan itu menangani klien yang masih minim pengalaman dan belum memiliki website resmi.
Saddam membantu para pengusaha mau pun pengrajin menengah ke bawah agar produknya bisa lebih dikenal di pasar internasional. Semua yang dimilikinya sekarang adalah hasil dari kejeniusan dan kerja kerasnya.
Saddam dan Kakaknya hanya dibesarkan oleh Ibu mereka sejak dirinya masih duduk di bangku SMP. Ayahnya meninggal karena sebuah kecelakaan di jalan tol.
Sejak itu, Ibunya tak pernah menikah lagi dan membesarkan kedua anaknya dengan harta peninggalan sang Ayah yang memang cukup banyak.
Dalam kehidupannya, Saddam tak pernah merasakan yang namanya kesulitan keuangan. Ibunya selalu memanjakan mereka, kedua anaknya dengan kasih sayang dan kebutuhan yang terpenuhi lebih dari cukup.
"Ya Pak? Manggil saya?" Agnes sekretaris Saddam yang berusia 27 tahun masuk dengan mengenakan rok super pendek dan heels yang benar-benar tinggi.
"Yap. Kemarin sore kamu nelfon bilang ada yang cari saya. Saya kurang jelas dengan pembicaraan kita kemarin"
Bagaimana Saddam mau mendengar apa yang dikatakan sekretarisnya kalau saat itu dia sedang berada di sebuah karaoke room bersama teman-temannya ditemani para strippers dalam keadaan mabuk.
"Ada wanita muda nyari Bapak. Rambutnya pirang gitu, cantik banget. Minta nomor ponsel Bapak, tapi ga saya kasi." Agnes berbicara sambil duduk dan menyilangkan kaki di depan bosnya.
Mata coklat muda Saddam memandang kaki Agnes yang jenjang dan putih mulus. Sesaat kemudian pandangannya naik ke pakaian sekretarisnya yang sangat ketat dan menonjolkan dadanya yang besar.
"Bagus kalo kamu ga kasi. Siapa pun itu, kamu jangan sembarangan kasi nomor pribadi saya." Saddam memutar dari balik meja kerjanya dan duduk di sudut meja memandang sekretarisnya yang memandangnya dengan pandangan menggoda.
"Itu aja Pak?" Agnes memutar kursinya menghadap ke arah Saddam.
"Ini kantor. Tempatnya kerja. Kalo kamu pengen diapa-apain nanti sore ikut saya. Sekarang keluar, kerjain kerjaan kamu." Saddam bangkit dan berjalan kembali ke balik mejanya.
Agnes hanya mengiyakan perkataan bosnya pelan kemudian pergi berlalu menutup pintu ruangan Saddam dengan suara yang sedikit keras dari biasanya.
Ketukan di pintu mengalihkan pandangan Saddam dari tumpukan map yang sedang dibukanya satu-persatu.
"Ya," Saddam menatap pintu.
"Pak, ada wanita datang mencari Bapak." Eko berdiri tak jauh dari pintu ruangan.
"Rambut pirang?"
"Bukan Pak, hitam rambutnya."
"Kalo bukan untuk urusan pekerjaan, suruh pergi aja. Kalo ga mau pergi, minta bantuan keamanan. Seret keluar." Saddam mengomel.
"Baik Pak, tapi apa ga seharusnya Bapak liat dulu?" Eko bertanya dengan mimik sungkan.
"Ga perlu Ko, gua lagi pusing hari ini." Saddam kembali mengalihkan pandangannya pada tumpukan map.
"Baik Pak" Eko sedikit membungkuk.
"Eh Ko, nanti sore kita ke tempat biasa. Telfon istri kamu kabari kalo bakal telat pulang." Saddam berencana akan menghabiskan malamnya kembali di sebuah club favoritnya.
"Nanti Ibu bisa.."
"Itu bukan urusan kamu." Saddam menyela omongan Eko yang langsung terdiam dan mengangguk.
Pria berkulit putih berpostur tubuh tinggi langsing yang memiliki bola mata berwarna coklat muda itu kemudian mengangguk kepada asistennya menandakan bahwa percakapan mereka telah selesai. Eko kemudian keluar ruangan dan menutup pintu di belakangnya.
...***...
...Mohon dukung karyaku dengan like, comment atau vote...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
𝔐𝔢𝔩𝔦𝔞𝔫𝔞 𝔰𝔦𝔯𝔢𝔤𝔞𝔯
kekhawatiran seorang ibu , dan itu untuk yg terakhir kalinya 🥺
2024-11-09
0
𝔐𝔢𝔩𝔦𝔞𝔫𝔞 𝔰𝔦𝔯𝔢𝔤𝔞𝔯
Ya Allah 😞
2024-11-08
0
вуυηgαяι
here we go,, Saddam 😅
2024-10-10
0