Ratna yang tidak bisa hamil menjebak suaminya sendiri untuk tidur dengan seorang wanita yang tak lain adalah adik tirinya.
ia ingin balas dendam dengan adik tirinya yang telah merenggut kebahagiaannya.
akankah Ratna berhasil? atau malah dia yang semakin terpuruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fadelisa dedeh setyowati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata Istri Yang Diabaikan 18
Andini melangkah perlahan menyusuri koridor tempat ia kerja, dalam dekapannya ada rantang yang berisi makanan yang ditolak oleh Bagas. Rantang itu masih hangat berbanding terbalik dengan dingin yang merambat ke dadanya.
Sesekali ia tersenyum tipis pada rekan kerja yang berpapasan dengannya. Mencoba untuk menutupi kekecewaan yang ia rasakan. Namun tak bisa Andini pungkiri, meski ia tersenyum jauh di lubuk hatinya ia sedang rapuh seakan siap kapan saja untuk bisa runtuh.
Setelah sampai di mejanya ia letakkan rantang itu di atas meja, dibukanya tutupnya perlahan. Aroma harum masih tercium tipis. Mencium aroma udang yang menguar kembali membuat Andini merasa sesak.
Bagaimana tidak? Ia ditolak. Kerja kerasnya sia-sia. Ia tidak dihargai.
Andini menekan dadanya, mencoba menenangkan gemuruh disana, tapi gagal.
Kenapa sulit sekali bagi Bagas untuk menerimanya?
Satu bulir mata jatuh, tanpa bisa ia cegah tepat di atas kotak makan yang masih utuh, sama seperti upayanya yang tak tersentuh.
Andini masih menunduk di mejanya sampai ia dikejutkan dengan suara berat tapi terdengar ramah.
“Andin,” panggil seseorang.
Andini mendongak dan mendapati sosok Bayu – sahabat serta rekan kerjanya.sudah berdiri di depan pintu.
“Lain kali ketuk pintu dong,”
“Aku udah ngetuk berulang kali, kamunya aja yang gak dengar. Lagi liat apa sih serius amat,” bayu berjalan mendekati meja kerja Andini dan melihat sebuah rantang makanan berisi udang asam manis.
Tatapan Bayu mendarat pada rantang yang terbuka, “Pantesan kok ruangan ini baunya enak banget, ternyata ada udang,” ujar Bayu, “Ini kamu yang masak Din?” tanyanya.
Andini menutup kotak bekal itu diikuti pandangan Bayu yang terlihat kecewa, “Ini Cuma masakan biasa kok,”
Bayu menarik kursi dan duduk disana, “Kalau Cuma masakan biasa kenapa wajahmu muram begitu kaya habis di tolak?” cecar Bayu sambil matanya menatap serius ke Andini.
Andini tercekat, tak mampu menjawab pertanyaan Bayu.
Karena Andini hanya diam, Bayu meraih kotak bekal dan menciumnya. Ada segurat senyum saat ia mencium aroma udang yang masih wangi itu. Ia segera mengambil sepotong udang dan mengunyahnya, “Gila, ini enak banget Din! Kamu yang masak ini?” tanya Bayu dengan mata berbinar.
Andini lagi-lagi diam tapi ia mengangguk kemudian menunduk.
Bayu berkata, “Wah hebat kamu Din, masakanmu enak banget.” Puji Bagas tulus.
Kata-kata Bayu membuat hati dingin Andini terasa menghangat. Senyumnya muncul meski hanya tipis.
“Ini kamu mau makan gak Din?” tanya Bagas memastikan pada Andini.
“Gak, kamu aja yang makan,” ujar Andini.
“Ya udah kalau ga ada yang makan, biar aku aja yang habiskan. Makanan enak tuh gak boleh disia-siakan.” Bayu melanjutkan sambil terus menyendok udang dan nasi yang masih sedikit hangat.
Andini menatapnya diam-diam, paling tidak ada yang bisa menghargai upayanya. Meski dalam hati ia berharap yang mengatakan itu semua adalah Bagas.
Bayu masih menyendok makanan dari rantang saat ia memperhatikan Andini yang tengah berkutat dengan pekerjaannya. Saat Andini mengangkat beberapa kertas, sudut mata Bayu menangkap sebuah kertas dengan sketsa gaun pernikahan yang menarik matanya.
Ia menariknya pelan dan mengamati. Sebuah sketsa gaun pernikahan terlukis disana. Sangat cantik, penuh detail dan terlihat anggun.
“Selera klien kamu boleh juga,” ujar Bayu.
“Ha? Apa?”
Bayu menunjuk sketsa yang ia letakkan di atas meja.
Andini mengikuti arah telunjuk Bayu, kemudian ia menunduk lemah. Bayu yang melihatnya merasa heran.
“Kamu – baik -baik aja kan Din?” tanya Bayu memastikan.
“Aku baik kok, makasih.”
Sejenak keheningan terasa mengikat keduanya.
“Kenapa Din? Kok kayanya ada yang mengganjal.” Sahut Bayu sambil menatap Andini lebih intens.
Sesaat Andini ragu, tapi pada akhirnya ia membuka mulut, “Itu sketsa gaun pernikahanku, Bayu.” Andini agak ragu melanjutkan, “ Gaun itu aku rancang khusus buat aku menikah sama Mas Bagas,”
Sejenak, dunia Bayu seolah berhenti. Senyum di wajahnya membeku, matanya tetap menatap kertas itu tapi pikirannya melayang jauh. Ada rasa getir yang mendesak di dadanya, tapi ia berusaha menutupinya dengan tawa kecil.
“Bagas? Siapa dia? Aku belum pernah dengar,” tanya Bayu heran
“Dia calon suamiku,” ucap Andini sambil menunduk
“Pantas aja … detailnya serius banget.” Suaranya terdengar ringan, meski hatinya tidak.
Andini tersenyum,ia tidak menyadari perubahan wajah Bayu, “Aku merancangnya dengan usahaku yang terbaik, tapi aku tidak yakin apakah aku akan cocok mengenakannya atau tidak,”
Bayu menatapnya lama, tapi segera menunduk. “Pasti cocok. Kamu bakal kelihatan paling cantik dengan gaun ini.” Ucap Bayu dengan tulus tapi juga getir.
Andini hanya tersenyum. Sementara Bayu, dalam diamnya, berusaha menelan kenyataan bahwa gaun cantik itu, sama seperti Andini – mungkin tak akan pernah, menjadi miliknya
“Ohh ya kapan kalian akan menikah?” tanya Bayu lagi
“Minggu ini,” bisik Andini lirih tapi cukup di dengar Bayu.
“Hah?! Minggu ini? kenapa cepat sekali? Kenapa aku baru tahu?” suaranya terdengar terkejut bahkan sedikit keras.
Andini tersenyum tipis, senyum yang tak sepenuhnya bahagia. “Iya. Semua sudah diputuskan keluarga. Tidak ada waktu lagi untuk menunda.”
Bayu mengerutkan kening. “Kenapa buru-buru sekali, Din? Pernikahan bukan hal sepele hlo. Kamu harusnya bisa bicarakan dulu baik-baik, persiapannya juga ga mudah, kamu –“
Andini memotong, suaranya lirih tapi cukup mengalir ke telinga Bayu. “Aku … sudah terlanjur hamil.”
Hening seketika. Kata-kata itu menghantam Bayu lebih keras daripada yang ia sangka. Pandangannya jatuh pada kertas sketsa, lalu beralih pada wajah Andini yang menunduk, berusaha menyembunyikan getirnya sendiri.
Bayu menghela napas panjang, menunduk untuk menyembunyikan ekspresi yang sulit dikendalikan. Ada ratusan kalimat yang ingin ia ucapkan, tapi tak satu pun yang bisa keluar.
Akhirnya, ia hanya berkata pelan, “Aku … mengerti.”
Andini mencoba tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. “Semoga semuanya baik-baik saja.”
Bayu menatapnya lama. Dalam diam, hatinya menjerit—bukan hanya karena kehilangan, tapi juga karena tahu perempuan yang diam-diam ia cintai tengah terjebak dalam pernikahan yang bukan pilihan hatinya.