Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 33
Lara, Liam, dan Madame Dayana akhirnya tiba di Indonesia. Begitu kaki mereka menginjak lantai bandara, Lara menghirup udara lembap yang dulu pernah membuat dadanya terasa sesak. Aroma khas kota yang padat, perpaduan antara udara tropis, parfum orang-orang yang berlalu-lalang, serta wangi kopi dari kedai dekat pintu keluar, menyeruak menyambut mereka.
Namun kali ini, bukan rasa pengap yang menusuk seperti saat ia meninggalkan kota ini bertahun-tahun lalu. Yang hadir justru kelegaan. Seolah udara yang sama yang dulu menyakitinya kini memeluknya dengan lebih ramah, memberi ruang untuk bernapas lebih lapang.
Perjalanan menuju pusat kota berjalan cukup tenang. Lara duduk di samping jendela, memperhatikan gedung-gedung tinggi yang berderet, bangunan yang dulu terasa menakutkan dan menekan dadanya, kini tampak biasa saja, bahkan familiar. Tidak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang membuntuti setiap sudut pikirannya. Hanya deru kendaraan, riuh kota yang tak pernah benar-benar tidur, dan langit Jakarta yang sedikit mendung seperti berniat turun hujan.
Liam, yang duduk di sampingnya, meraih tangannya dan mengepalkannya lembut. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan suara rendah.
Lara hanya mengangguk. “Aku merasa… pulang.”
Kalimat sederhana itu membuat Liam tersenyum, dan Madame Dayana yang duduk di kursi belakang juga ikut tersenyum lembut, seolah lega melihat menantunya tampak nyaman kembali ke tanah kelahirannya.
Begitu mereka tiba di apartemen mewah yang disiapkan perusahaan Liam, Lara membuka pintu lebih dulu. Udara dingin dari pendingin ruangan menyapa kulitnya, membawa aroma wangi lembut dari diffuser yang dipasang di sudut ruangan.
Matanya menyapu seluruh isi apartemen luas itu. Langit-langit tinggi, dinding-dinding kaca yang memamerkan gemerlap kota, dan interior modern yang elegan dengan sentuhan hangat dari lampu-lampu kuning. Suasananya mewah, tetapi tidak dingin. Ada kehangatan yang tak ia sangka.
Liam meletakkan koper di sudut ruangan sambil melihat reaksi Lara dengan penuh harap. Sementara itu, Madame Dayana berdiri di tengah ruangan dengan kedua tangan menyentuh dadanya, seolah benar-benar terkejut. “Indah sekali… jauh lebih besar dari yang kubayangkan,” ujarnya dengan aksen Prancisnya yang khas.
Liam tersenyum bangga. “Aku pastikan tempat ini nyaman untuk kita semua.”
Lara berjalan pelan ke ruang tamu dan menyentuh permukaan meja marmer putih yang tampak mengilap. Perasaan asing namun akrab bergumul di dadanya. Ia pernah membayangkan tinggal di tempat seperti ini… tapi tidak pernah benar-benar mengharapkannya.
“Bagaimana, sayang?” tanya Liam sambil merangkul pinggangnya dari belakang. Kehangatan tubuh lelaki itu membuat Lara tersenyum kecil. “Apa kamu suka apartemen ini?”
Lara menatap keluar jendela besar di hadapan mereka. Kota Jakarta, padat, penuh lampu, penuh riuh, tampak seperti hamparan bintang yang jatuh dan terperangkap di antara gedung. “Aku suka,” jawabnya pelan. “Tempat ini nyaman… dan aku bisa melihat seluruh kota dari sini. Rasanya seperti beda dari yang kuingat.”
Liam mengangkat dagunya dan menempelkan ke bahu Lara, suaranya santai tapi jelas serius. “Kalau begitu… apa kamu mau kita membeli apartemen ini?”
Lara langsung menoleh, hampir memutar seluruh tubuhnya saking terkejut. “Liam… kamu bercanda, kan? Membeli apartemen ini tidak seperti membeli kacang goreng.”
Bukannya tersinggung, Liam tertawa. “Kenapa tidak? Aku suka tempat ini. Kamu suka. Itu sudah cukup alasan.”
Madame Dayana yang baru keluar dari kamar tamu ikut menimpali sambil menepuk-nepuk kedua tangan. “Benar itu, Sayang. Dia punya uang, dan seluruh uang itu juga milikmu. Apa gunanya dia bekerja keras kalau bukan untukmu? Seluruh hartanya adalah milik istrinya.”
Lara terdiam, tidak tahu harus membalas apa. Ada rasa geli, rasa risih, dan rasa hangat bercampur jadi satu. “Tapi, Ma… kita kan tidak akan selamanya tinggal di sini. Jadi untuk apa membeli apartemen?”
Madame Dayana mendekat, menempelkan telapak tangannya ke pipi Lara dengan lembut. “Lara sayang, rumah itu bukan hanya tentang berapa lama kita tinggal. Tapi tentang perasaan nyaman saat kita berada di dalamnya.”
Lara terpaku sesaat. Perkataan itu menohok sesuatu di dadanya, entah bagian yang kosong, atau bagian yang baru saja tumbuh kembali.
Liam mengangguk setuju. “Kalau kamu suka, kita bisa tinggal di sini beberapa bulan, sisanya di London. Atau kita tinggal di dua tempat sekaligus. Aku bisa mengatur pekerjaanku jadi lebih fleksibel.”
Lara terkekeh tak percaya. “Kamu berbicara seolah-olah itu hal paling mudah di dunia.”
“Untukmu, memang mudah.” Liam menatapnya dengan kesungguhan yang membuat jantung Lara berdebar lebih cepat.
Lara menggeleng pelan. “Tidak usah, Sayang. Kita tak perlu beli. Tapi… selama di sini, aku akan menikmati semua waktuku.”
Liam mengendus pelipis Lara dengan lembut, bersuara sangat tipis. “Selama kamu bahagia, itu cukup buatku.”
Lara hanya tersenyum, tak ingin membalas dengan kata-kata yang berlebihan. Ia tahu, Liam selalu menepati ucapannya. Dan itu saja sudah lebih dari cukup.
Perhatiannya kemudian beralih pada Madame Dayana yang sedang membuka koper dan mengeluarkan beberapa suvenir kecil yang ia bawa untuk teman-teman baru yang mungkin ia temui di Indonesia. “Ma, nanti selama Mama di sini, aku mau ajak Mama jalan-jalan. Banyak tempat yang pasti Mama suka.”
Madame Dayana langsung menegakkan tubuhnya. Ekspresi wajahnya berubah lembut, penuh kasih yang tulus. “Mama akan sangat senang kalau kamu mau menemani Mama, Sayang.”
Lara mendekat, duduk di sisi wanita paruh baya itu. Ia menggenggam tangan lembutnya, mengusap punggung tangannya perlahan. “Mama mau ke mana? Pantai? Pegunungan? Mau makan makanan khas Indonesia? Atau mau belanja?”
Madame Dayana tertawa kecil, matanya berbinar. “Selama bersama kamu, ke mana saja pun Mama mau.”
Lara ikut tertawa pelan, dadanya dipenuhi rasa hangat yang tak bisa dijelaskan. Kebersamaan seperti ini, sederhana tapi penuh cinta, adalah hal yang dulu tak pernah ia bayangkan bisa ia miliki.
jd malas bacanya