Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa yang membuat selalu menginginkannya .
Sejak kunjungan orang tua Raka tadi pagi, Reva masih merasa malu. Tapi anehnya, rasa malu itu tak lagi menghambat. Justru membuatnya lebih nyaman—karena kini tak ada lagi yang disembunyikan. Semuanya terbuka: cinta, hasrat, bahkan rasa perih yang kini jadi bahan candaan manis di antara mereka.
Raka duduk di sofa, membaca laporan kantor, tapi matanya sesekali melirik ke arah Reva yang sedang duduk di lantai, menyusun buku-buku di rak. Gerakannya masih hati-hati, tapi jauh lebih lancar dari pagi tadi. Ia memakai celana pendek dan kaus ketat—pakaian rumahan yang sederhana, tapi di mata Raka, terlihat begitu menggoda.
"Sayang ,beneran tidak perlu bantuan ?'" tanya Raka melihat kearah Reva
"Nggak usah mas,! Aku bisa sendiri kok ,mas jangan khawatir."
"Kalau butuh bantuan ,kamu ngomong saja ! Aku akan siap kapanmu kamu butuh ." Raka masih terus menatap kearah Reva yang sedang asik menyusun buku bukunya .
"Iya mas ,mas duduk santai saja ,aku masih bisa menghendel semuanya ." Reva tersenyum dan kembali meneruskan kegiatannya .
Raka terus memperhatikan gerakan istrinya ,entah mengapa sejak malam pertama itu ,membuat Raka selalu ingin melakukan ,apa yang dia rasakan di malam pertama ,setiap gerakan dan lekukan tubuh Reva ,membuat adek kecil kesayangnya sudah mulai berdiri di balik celana santainya .
"Sayang ,kenapa semakin hari ,kamu semakin cantik saja sih ." Raka mendekat dan memeluk Reva dari belakang .
"Nggak usah merayu mas ,ini masih pagi ,lagian kamu nggak lihat aku sedang sibuk ."
"Aku nggak ngerayu sayang ,kamu memang sangat cantik ,semakin hari semakin cantik ,"
"Jangan lebay deh mas ,sudah sana ! Aku mau membereskan ini semua !" usir Reva dengan mendorong tubuh Raka pelan .tapi bukanya Raka segera pergi ,dia justru semakin memeluk Reva dan mengecupnya lembut
"Nanti aku akan kerjakan semuanya ."
Reva membalikkan badannya ,"Beneran mas mau mengerjakan semua ini ?"
“Iya,aku akan mengerjakan semua ini ,sayang punya Kamu udah nggak sakit lagi?” tanya Raka pelan, suaranya serak,dan memeluk Reva dengan mesranya.
Reva menoleh, lalu tersenyum kecil. “Masih agak… sensitif. Tapi nggak separah tadi pagi.”
“Kalau sensitif… berarti masih butuh perawatan khusus?” Raka masih memeluk Reva dengan mesra
Reva mendelik. “Jangan mulai lagi,mas! Aku belum sembuh total!”
Raka duduk di belakangnya, lalu memeluknya dari belakang—perlahan, tanpa tekanan. “Aku nggak mau mulai apa-apa. Cuma… pengin deket kamu.”
Napas Reva bergetar saat dada Raka menyentuh punggungnya. Hangat. Familiar. Menggoda.
“Kamu bohong,” bisiknya. “Aku bisa rasain… kamu lagi *semangat*.”
Raka tertawa kecil, lalu mencium lehernya. “Karena kamu duduk di depanku kayak model iklan parfum—punggung lurus, leher jenjang, rambut wangi…”
Reva menoleh, lalu mencubit lengannya. “Dasar suami yang nggak pernah kenyang!”
“Karena istrinya terlalu enak,” balas Raka tanpa ragu, lalu mencium bibirnya—lembut, tapi penuh hasrat.
Reva membalas, tangannya meraih leher Raka, menariknya lebih dekat. Ciuman itu perlahan menjadi lebih dalam, lebih panas. Napas mereka berbaur, jantung berdetak cepat.
Tapi tiba-tiba, Reva menarik diri. “Tunggu… aku belum mandi.”
“Nggak usah mandi. Aku suka bau kamu,” Raka berbisik di telinganya, lalu menggigit cuping telinganya pelan.
"Tapi aku nggak pede ,aku mandi dulu ,ya ." Reva berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Rak
"kita ,akan mandi bersama-sama ." kembali Raka mencium titik - titik sensitifnya sehingga membuat Reva merasakan rasa yang tidak karuan ,dan dia juga akan tahu ,bagaimana nanti ahirnya.
Reva mendesah. “Mas Raka… jangan di situ…”
“Kenapa? Kamu nggak suka?”
“Bukan nggak suka… tapi… aku jadi lemes kalau kamu sentuh di situ,” Reva mengaku jujur, wajahnya memerah.
Raka tersenyum, lalu menariknya berdiri. “Kalau gitu… ayo ke kamar.”
“Sekarang? Tapi masih sore!”
“Siapa bilang cinta harus nunggu malam?” Raka menggenggam tangannya erat. “Kita udah kehilangan hampir setahun. Aku nggak mau buang waktu lagi.”
Reva menatap matanya—penuh kerinduan, penuh cinta, penuh keberanian. Dan ia tahu: ia tak ingin menolak.
Di kamar, Raka menidurkan Reva perlahan di atas kasur. Ia menatapnya seolah ingin menghafal setiap detail wajahnya—alis yang sedikit berkerut, bibir yang bergetar, mata yang berbinar-binar.
“Kamu yakin?” tanya Reva pelan.
“Lebih yakin dari apapun dalam hidupku,” jawab Raka, lalu menciumnya.
Kali ini, tak ada rasa sakit. Hanya kenikmatan yang perlahan memuncak. Raka menyentuh Reva dengan penuh penghargaan—mencium lehernya, menggoda puncak sensitifnya, lalu turun perlahan ke area yang paling sensitif.
“Mas Raka… jangan…” Reva mendesah, tubuhnya menegang.
“Sst… percaya sama aku,” bisik Raka, lalu melanjutkan dengan lidahnya yang hangat dan lembut.
Reva menahan napas, lalu mendesah panjang. Tubuhnya gemetar, tangannya mencengkeram seprai. “Aku… nggak tahan…”
“Nggak usah ditahan,” Raka berbisik, lalu naik dan mencium bibirnya. “Aku di sini. Aku punya kamu.”
Saat ia masuk ke dalam Reva, keduanya menahan napas—bukan karena sakit, tapi karena kenikmatan yang begitu dalam. Mereka bergerak perlahan, saling mengikuti irama, saling memahami ritme.
“Kamu… enak banget,” desah Raka di telinganya.
“Kamu juga…” Reva membalas, lalu mencium lehernya.
Mereka tak buru-buru. Mereka menikmati setiap detik—setiap sentuhan, setiap desahan, setiap tatapan yang penuh cinta. Dan saat puncak datang, mereka mencapainya bersama—dalam pelukan yang erat, dalam ciuman yang tak ingin berakhir.
Setelah semuanya usai, mereka berbaring berdampingan, napas masih belum stabil.
“Kamu nggak capek?” tanya Reva pelan.
“Capek, tapi bahagia,” Raka menjawab, lalu mencium keningnya. “Karena aku akhirnya bisa jadi suami yang utuh buat kamu.”
Reva tersenyum, lalu menempel di dadanya. “Aku juga… akhirnya jadi istri yang utuh buat kamu.”
Mereka berdiam sejenak, hanya mendengarkan detak jantung masing-masing.
“Ngomong-ngomong…” Reva tiba-tiba berkata. “Kalau nanti aku hamil, kamu bakal jadi ayah yang kayak gimana?”
Raka menatapnya, matanya berbinar. “Ayah yang rela begadang, ganti popok, masak bubur, dan marah-marah kalau ada cowok yang deketin anak kita.”
Reva tertawa. “Anak kita? Kamu yakin aku bisa hamil?”
“Kita udah lengkap sekarang. Aku yakin Tuhan akan kasih kita rezeki itu,” Raka berbisik, lalu mencium perut Reva pelan. “Aku sayang kamu… dan aku sayang calon anak kita.”
Air mata Reva menetes—bukan karena sedih, tapi karena haru.
“Jangan nangis, Sayang,” Raka mengusap pipinya. “Aku janji… aku akan jaga kalian berdua.”
Reva mengangguk, lalu mencium bibirnya. “Aku percaya kamu.”
Di luar, malam semakin larut. Tapi di dalam kamar itu, cinta mereka terus tumbuh—lembut, mesra, penuh gairah, tapi tetap diikat oleh kepercayaan dan kasih sayang yang tulus.
Dan untuk pertama kalinya, mereka tak lagi takut pada hasrat mereka.
Karena hasrat itu bukan dosa—
tapi bahasa cinta yang paling jujur antara suami dan istri.