Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: Kembali ke kota
Pagi itu, udara masih dingin, Balai desa yang semalam ramai kini sudah sedikit lengang. Beberapa warga masih duduk di kursi bambu, wajah-wajah mereka terlihat lelah namun penuh tekad.
Andre berdiri di tengah, tangannya menggenggam erat jemari Fanda. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.
“Teman-teman, Bapak, Ibu… aku dan Fanda sudah sepakat. Besok pagi kami akan kembali ke kota untuk melanjutkan persidangan. Itu jalan satu-satunya untuk menghentikan Zul. Kalau kita terus bersembunyi, dia akan terus menyakiti desa ini.”
Ruangan hening sejenak. Kepala Desa menatap Andre dengan sorot bangga.
“Keputusan yang berat, Andre. Tapi itu memang benar. Hukum harus ditegakkan. Kami di sini akan berjaga, tidak akan membiarkan mereka seenaknya lagi.”
Seorang bapak setengah baya mengangguk sambil mengepalkan tangan.
“Kalian jangan takut. Pergilah dengan tenang. Desa ini tetap rumah kalian. Kami yang jaga di sini.”
Fanda menunduk, suaranya bergetar.
“Tapi… bagaimana kalau mereka datang lagi? Kalau terjadi apa-apa pada kalian…”
Seorang ibu mendekat, menggenggam tangan Fanda hangat.
“Nak, jangan khawatir. Kami sudah biasa hadapi kesulitan. Gudang boleh terbakar, tapi semangat kami tidak akan padam. Tugasmu sekarang bukan menjaga desa, tapi melawan mereka di pengadilan.”
Air mata Fanda jatuh, ia mengangguk pelan.
Malam itu, warga desa mengadakan perpisahan kecil. Tidak ada pesta, hanya kumpul sederhana di balai desa.
Obor dipasang di sekeliling halaman, anak-anak berlarian, sementara orang tua menyiapkan teh hangat.
Keesokan paginya, matahari baru saja naik ketika sebuah mobil sederhana sudah siap di depan rumah Andre. Warga berdiri di pinggir jalan desa, menyalami keduanya satu per satu.
Ibu Rita dan Rani memeluk Fanda erat-erat.
“Jaga dirimu di kota, Nak. Jangan goyah. Ingat, di belakangmu ada satu desa yang mendoakanmu.”
Fanda menitikkan air mata, mengangguk sambil mencium tangan ibu mertua itu.
Andre menatap semua warga dengan mata berkaca.
“Terima kasih. Doakan kami bisa bawa keadilan. Aku janji, kami akan kembali dengan kabar baik.”
Mobil perlahan meninggalkan desa, melewati jalan kecil yang diapit sawah. Di kaca belakang, Fanda masih melambaikan tangan, melihat sosok-sosok sederhana yang berdiri kokoh dengan senyum dan doa.
Namun jauh di kota, Ferdi sudah mendengar kabar kepulangan mereka. Ia duduk di kursi besar, mengetukkan jarinya ke meja. Senyum dingin muncul di wajahnya.
“Bagus. Mereka keluar dari persembunyian. Sekarang, permainan baru dimulai.”
“ Mereka kembali ke kota, artinya kita punya kesempatan lebih besar untuk menghancurkan mereka. Pastikan semua anak buah siap,” perintahnya tegas.
Di sisi lain kota, Andre dan Fanda tiba di apartemen mereka. Keduanya tampak lelah, namun mata mereka masih menyimpan ketegangan dari perjalanan dan perpisahan dengan desa.
“Mas… aku nggak pernah ngerasa secepat ini aku kangen kampung,” ujar Fanda sambil menatap jendela apartemen yang menghadap jalan ramai.
Andre tersenyum tipis, tangannya menggenggam tangan Fanda.
“Kita kembali ke kota untuk menghadapi Zul. Tapi ingat, desa itu sudah mengajari kita satu hal penting: solidaritas dan keberanian. Kita bawa itu ke sini.”
Di luar, Ferdi mengatur rencana. Anak buahnya mulai bergerak, menyebar untuk memantau langkah Andre dan Fanda.
“Besok, mereka akan berada di bawah tekanan. Kita buat mereka ragu, kita buat mereka takut.” bisik Ferdi kepada anak buahnya.
Pagi itu, udara kota terasa berbeda bagi Fanda. Meski matahari sudah meninggi, hawa dingin dari pendingin ruangan apartemen membuatnya masih enggan bangun.
Ia berbaring sejenak, menatap langit-langit putih sambil mendengar detak jam di dinding. Di sampingnya, Andre sudah duduk dengan setumpuk berkas di meja kecil.
“Mas, kamu dari tadi belum tidur?” tanya Fanda pelan sambil meraih bantal.
Andre menoleh, senyum tipis muncul di wajahnya yang lelah.
“Tidur sebentar kok.”
Fanda bangkit perlahan, mendekat.
“Mas, aku takut…,” ucapnya lirih.
Andre menatap Fanda dalam-dalam.
“Takut wajar, Fan. Tapi ingat, kita nggak sendirian. Ada warga desa yang doain kita, ada pengacara yang siap bantu. Yang penting, kamu jangan kehilangan keyakinan.”
Fanda menunduk, menahan air mata.
“Aku cuma takut Zul melakukan sesuatu di ruang sidang nanti. Dia selalu punya cara.”
Andre mendekat, meraih tangannya.
“Kalau mereka main kotor, justru makin kelihatan siapa sebenarnya. Kita harus tetap tenang. Ingat kata Pak Kepala Desa? Jangan biarkan mereka lihat kita goyah.’”
Fanda mengangguk kecil. Hening sejenak, lalu ia mencoba tersenyum.
Menjelang siang, apartemen mereka kedatangan tamu, tiwi, sahabat Fanda yang juga salah satu pengacara muda di tim mereka.
“Pagi, kalian siap?” katanya sambil tersenyum.
Fanda buru-buru menyiapkan teh.
“Siap nggak siap, kayaknya harus siap, tiw” jawabnya gugup.
Tiwi duduk, membuka map.
“Aku udah cek ulang semua bukti. Besok kita harus fokus ke saksi kunci. Ada kemungkinan pihak Ferdi coba tekan saksi biar batal hadir. Jadi kalian harus siap kalau tiba-tiba saksi nggak muncul.”
“Kalau gitu kita gimana?” tanya Andre, wajahnya tegang.
“Kita masih punya bukti tertulis. Dan jangan lupa, kekuatan kalian itu kesaksian langsung. Fanda, kamu harus berani bicara, meski mereka coba tekan,” jelas tiwi.
Fanda menggenggam cangkir teh dengan tangan bergetar.
“Kalau mereka serang aku dengan fitnah di depan hakim… aku takut malah berbalik.”
Tiwi menatapnya tajam.
“Fanda, dengar. Hakim bisa lihat ketulusan orang dari cara dia bicara. Kamu nggak sendirian. Kalau kamu goyah, ingat semua yang udah kalian lewati,desa yang rela dilukai demi lindungi kalian. Kamu harus kuat.”
Fanda menunduk lama. Air matanya jatuh, tapi kali ini bukan karena takut, melainkan karena merasa didukung.
“Terima kasih, Tiw Aku akan coba.”
Malam menjelang sidang, suasana apartemen terasa hening. Andre duduk di sofa, menatap televisi yang menyala tanpa suara. Fanda duduk di sampingnya, memeluk lutut.
“Mas,” bisiknya.
“Hm?”
“Kalau besok… kita kalah, apa yang akan kita lakukan?”
Andre terdiam. Ia menoleh, menatap istrinya lama.
“Kalau kita kalah, itu bukan akhir. Kita cari cara lain. Tapi aku percaya, Fan… kali ini kita punya peluang. Kita sudah terlalu banyak kehilangan untuk menyerah sekarang.”
Fanda bersandar di bahunya.
“Aku capek, Mas. Tapi aku nggak mau berhenti.”
Andre tersenyum tipis, lalu mengecup keningnya.
“Itu bedanya kamu dengan mereka. Mereka hanya punya kekuasaan. Kita punya kebenaran… dan orang-orang yang percaya sama kita.”
Hening. Suara jarum jam terdengar jelas. Di luar, lampu-lampu kota berkelip, seolah ikut mengawasi mereka yang sedang menyiapkan diri menghadapi hari besar.
Di tempat lain, Ferdi duduk di ruang kerjanya yang luas, ditemani dua anak buah. Asap rokok mengepul, memenuhi udara dengan bau menusuk.
“Besok mereka sidang lagi,” kata salah satu anak buahnya.
Ferdi tersenyum miring.
“Bagus. Aku sudah siapkan orang dalam. Hakim bisa digoyang, saksi bisa hilang. Mereka pikir bisa menang dengan kertas-kertas bodoh itu?”
“Kalau bukti mereka kuat, gimana, Pak?” tanya anak buah lain ragu.
Ferdi menatapnya tajam.
“Kalau bukti kuat, kita hancurkan orangnya. Aku nggak peduli caranya. Yang penting, nama keluargaku nggak boleh jatuh.”
Ia meneguk kopi hitamnya, lalu menambahkan dengan suara dingin,
“Besok… mereka akan tahu arti sebenarnya dari melawan Ferdi.”