Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Besar Pertama ( bagian 6 )
Para prajurit Kertabhumi langsung membuat pagar betis untuk melindungi Senopati Kebo Bang yang sedang terluka. Begitu rapatnya para prajurit Kertabhumi berdiri hingga tak menyisakan sedikit celah.
Tunggak muncul bersama dengan Cempakawangi dan Sempani.
"Biar kami urus para cecunguk itu, Sura. Kau fokus urus si keparat Senopati Kebo Bang.. ", ucap Tunggak sambil menggerakkan kapak perunggu nya. Cempakawangi dan Sempani kompak menganggukkan kepala.
" Baiklah! Buka jalan untuk ku.. ", balas Mahesa Sura yang membuat Tunggak, Cempakawangi dan Sempani langsung menerjang maju ke arah para prajurit Kertabhumi.
Whhuuuutttt whhuuuutttt...
Chhrrraaaaaaasss chhrrraaaaaaasss!!!
Aaaaarrrrrrggggghhhhhh...!!!
Satu persatu prajurit Kertabhumi roboh bersimbah darah di ujung senjata Sempani, Cempakawangi dan Tunggak yang mengamuk seperti orang kesurupan. Setiap prajurit Kertabhumi yang mencoba untuk menghalangi pergerakan mereka, di bantai tanpa ampun.
Tak butuh waktu lama, para prajurit Kertabhumi yang menjadi pagar betis semakin berkurang dan akhirnya tinggal beberapa yang masih bertahan hidup.
Melihat itu, Mahesa Sura menyalurkan tenaga dalam nya pada Pedang Nagapasa di tangannya. Cahaya merah kehitam-hitaman berpendar di bilah pedang pendek itu. Setelah itu terjadi, Mahesa Sura langsung mengayunkan Pedang Nagapasa ke arah sisa sisa prajurit Kertabhumi yang membentuk pagar betis.
Shhhrreeeettt....!
Cahaya merah kehitam-hitaman setipis bilah pedang langsung membabat para prajurit Kertabhumi.
Chhrrraaaaaaasss chhrrraaaaaaasss...
Aaaaaauuuuuuuuggghhhhhh!!!
Sembilan orang prajurit Kertabhumi terjungkal dengan tubuh nyaris putus. Mereka tewas dalam upaya untuk melindungi sang pucuk pimpinan pasukan Kertabhumi.
Wajah Senopati Kebo Bang pucat pasi melihat Mahesa Sura berjalan ke arah nya sambil memegang gagang Pedang Nagapasa yang masih memancarkan cahaya merah kehitam-hitaman. Dia berusaha untuk menjauh meskipun dengan langkah kaki sempoyongan.
"Ja-jangan mendekat... Aku tak mau kau dekati...! ", teriak Senopati Kebo Bang penuh ketakutan.
" Kau sudah membantai saudara saudara ku di Bukit Rawit. Sudah saatnya kau membayar apa yang sudah kau lakukan, Senopati Kebo Bang!! "
Kata-kata Mahesa Sura terdengar seperti suara malaikat maut di telinga Senopati Kebo Bang. Sementara itu para sisa prajurit Kertabhumi yang kehilangan semangat bertempur karena sudah tinggal sedikit jumlahnya, memilih untuk meletakkan senjata mereka masing-masing.
Dengan langkah kaki pincang, Senopati Kebo Bang berusaha untuk menjauhkan diri dari Mahesa Sura yang terus berjalan mendekati nya sambil menenteng Pedang Nagapasa.
"Itu bukan salah ku. Aku hanya menjalankan perintah dari Bhre Sindupati. Lepaskan aku, biarkan aku pergi... ", hiba Senopati Kebo Bang segera.
" Melepaskan mu? Bukan tidak mungkin ku lakukan, tetapi ada syaratnya.. ", ucap Mahesa Sura dingin.
Wajah Senopati Kebo Bang langsung sumringah mendengar apa yang dikatakan oleh sang pimpinan pasukan pemberontak ini. Beda halnya dengan Tunggak, Sempani dan Cempakawangi.
" Iblis Wulung, kau sudah gila ya? Dia itu penjahat busuk kaki tangan Dyah Sindupati. Jika dia masih hidup, kita akan kesulitan untuk menundukkan Kota Anjuk Ladang! ", teriak Sempani yang kesal dengan omongan Mahesa Sura.
" Paman Sempani, tenang saja...
Aku punya pikiran sendiri untuk masalah itu. Jadi Paman Sempani tidak perlu khawatir.. ", jawab Mahesa Sura sambil tersenyum lebar.
Hampir saja Sempani memaki Mahesa Sura tetapi ia tahan sebisa mungkin meski dengan hati dongkol setengah mati.
" Katakan apa syaratnya, Mahesa Sura? Aku pasti akan memenuhinya.. ", ujar Senopati Kebo Bang segera. Terbayang dalam benaknya bahwa ia akan lolos kali ini. Sebuah rencana balas dendam pun bahkan sudah ia persiapkan untuk Mahesa Sura di masa depan.
" Kau pasti tahu siapa orang yang terlibat dalam pembantaian orang tua ku waktu itu bukan?
Katakan, siapa orang orang yang terlibat? Jika kau sampai berani berbohong, membunuh mu bukan perkara sulit ", tatapan mata Mahesa Sura tajam ke arah Senopati Kebo Bang.
" Aku katakan aku katakan, Mahesa Sura..
Orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Dyah Mahisa Rangkah dan Dyah Pitaloka adalah Dyah Sindupati sebagai dalangnya. Werdhamantri Gajah Mungkur itu orang yang mengatur orang yang menyamar sebagai perampok. Ada Kebo Panoleh, Jaran Wungkal, Paksi Abrit, Mpu Rikmaseta, Ki Gede Widara dan Dewi Malam Beracun serta orang-orang Perguruan Tapak Iblis dari Matahun. Merekalah orang orang yang sudah membunuh orang tua mu juga para pengikutnya.. "
Tangan Mahesa Sura menggenggam erat gagang Pedang Nagapasa mendengar nama nama orang yang sudah menjadi pembunuh kedua orang tua nya. Dada nya bergemuruh hebat dan wajahnya merah padam tetapi ia tetap berusaha untuk terlihat tenang.
"Sekarang apa aku sudah boleh pergi? "
Suara Senopati Kebo Bang seketika membuat Mahesa Sura segera tersenyum lebar.
"Ya, tentu saja kau aku lepaskan... ", ujar Mahesa Sura sembari merentangkan kedua tangan nya lebar-lebar. Senopati Kebo Bang langsung tersenyum licik dan berbalik arah hendak meninggalkan tempat itu tetapi tiba-tiba...
" Nyai Landhep, sekarang giliran mu..!! ", teriak Mahesa Sura lantang.
Dari arah belakang kerumunan prajurit Wilangan, Nyai Landhep melompati mereka dan secepat kilat menusukkan pedang nya ke arah perut Senopati Kebo Bang.
Jlleeeeeebbbbbb!!!
OOOOOUUUUUGGGGGHHH!
Kuatnya tusukan pedang Nyai Landhep langsung menembus perut hingga ke pinggang Senopati Kebo Bang. Pucuk pimpinan pasukan Kertabhumi itu langsung meraung keras menahan rasa sakit yang ada di perutnya. Saat Nyai Landhep mencabut pedang nya, Senopati Kebo Bang langsung tersungkur ke tanah.
"Bu-kankah Mahesa Sura su-sudah melepas-kan ku? K-kenapa kau masih membunuh ku? ", ucap Senopati Kebo Bang dengan nafas terputus-putus.
" Dia melepaskan mu, tapi aku tidak. Ini adalah titipan dendam murid murid Padepokan Bukit Rawit yang kau bunuh!! ", teriak Nyai Landhep seolah-olah melepaskan rasa marah yang selama ini ia pendam.
Mendengar jawaban Nyai Landhep, Senopati Kebo Bang menoleh ke arah Mahesa Sura yang tersenyum lebar penuh kemenangan.
" K-kau menipu kuuu... ", ucap Senopati Kebo Bang dengan terbata-bata.
" Banyak orang punya dendam pada mu, Senopati Kebo Bang. Aku melepaskan mu bukan berarti seluruh dunia akan mengampuni mu. Sampaikan salam ku pada raja neraka.. "
Senopati Kebo Bang menunjuk kepada Mahesa Sura seperti hendak berkata sesuatu tetapi suaranya tercekat di tenggorokannya karena ia sudah kehilangan banyak darah. Sebentar kemudian ia tewas dengan darah menggenang di bawah tubuh.
Setelah kematian Senopati Kebo Bang, Sempani akhirnya mengerti apa tujuan dari kata pengampunan Mahesa Sura.
Sorak sorai para prajurit Wilangan terdengar, menandakan bahwa perang melawan para prajurit Kertabhumi telah berakhir. Ada rasa haru bercampur dengan bahagia dan juga sedih menyelimuti hati semua orang. Haru dan bahagia karena telah berhasil mengalahkan pasukan Kertabhumi yang berarti sedikit lagi keinginan mereka untuk mendudukkan Mahesa Sura sebagai pemimpin Kertabhumi akan berhasil. Sedih karena mereka kehilangan sahabat dan teman dekat yang menjadi korban jiwa dalam peperangan ini.
Begitu perang berakhir, Mahesa Sura memerintahkan agar para prajurit Wilangan yang gugur dimakamkan dengan layak. Sedangkan para prajurit Kertabhumi yang tewas dalam pertempuran ini juga di kumpulkan menjadi satu untuk dibakar agar tidak menjadi sarang penyakit.
Sebanyak 2000 orang prajurit Kertabhumi yang masih hidup, di bawa ke dalam benteng pertahanan Pejarakan yang selanjutnya digunakan sebagai penjara. Meskipun ada sebagian kecil yang berhasil melarikan diri termasuk Juru Tantriboya, itu tidak membuat pasukan Wilangan berkecil hati. Keberhasilan mereka mengalahkan pasukan Kertabhumi hari ini sudah menjadi anugrah terbesar dalam sejarah hidup mereka.
Dengan tabuhan bende dan gamelan, para prajurit Wilangan pulang ke rumah mereka dengan kepala tegak. Sepanjang jalan, rakyat Wilangan mengelu-elukan mereka sebagai pahlawan perang.
Keesokan harinya, pisowanan di gelar pada Pendopo Wilangan. Para pendukung utama Mahesa Sura seperti Lembu Peteng sang Dewa Pedang, Nyai Landhep, Rakai Pamutuh, Jayeng, Bekel Candramawa, Sempani, Tunggak, Rakai Sambu dan Ki Menjangan Rajegwesi nampak duduk berjajar rapi. Beberapa utusan daerah yang menyatakan takluk pada Mahesa Sura seperti Pakuwon Berbek, Sekar Pudak dan Karang Padang turut serta dalam pertemuan siang hari itu.
"Para hadirin sekalian, aku berterimakasih atas bantuan dan kerjasama kalian semua dalam menghadapi serangan dari Kota Anjuk Ladang. Ke depannya, aku tetap mengharapkan kalian selalu bersama dengan ku untuk mengembalikan pemerintahan Kertabhumi ke jalur yang benar.
Tetapi untuk menjalankan pemerintahan tandingan di Wilangan ini, sepertinya kita harus menyusun tata pemerintahan agar memudahkan kita dalam mengurus semua urusan", ujar Mahesa Sura membuka pisowanan.
"Kami mematuhi aturan yang Raden buat. Kita memang tidak bisa terus-menerus membiarkan wilayah kita ini tanpa penanggung jawab untuk urusan rakyat dan hubungan dengan luar wilayah", sahut Rakai Pamutuh sembari menghormat.
Lembu Peteng sang Dewa Pedang pun segera berdiri dari tempat duduknya dan berkata,
"Tapi sebelum itu dilakukan oleh Raden Dyah Danurwenda, aku ingin menagih janji beliau sebelum perang ini terjadi.
Kapan Raden menikahi putri ku? "
sepertinya trah Mahesa sura ini yg kemudian melahirkan raja2 Islam di kemudian hari yah kang ebez
up terus kang ebeezz..