NovelToon NovelToon
Transmigrasi Sistem Si Pewaris Terkaya

Transmigrasi Sistem Si Pewaris Terkaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Madya_

Lyra hanyalah gadis biasa yang hidup pas-pasan. Namun takdir berkata lain ketika ia tiba-tiba terbangun di dunia baru dengan sebuah sistem ajaib!

Sistem itu memberinya misi harian, hadiah luar biasa, hingga kesempatan untuk mengubah hidupnya 180 derajat. Dari seorang pegawai rendahan yang sering dibully, Lyra kini perlahan membangun kerajaan bisnisnya sendiri dan menjadi salah satu wanita paling berpengaruh di dunia!

Namun perjalanan Lyra tak semudah yang ia bayangkan. Ia harus menghadapi musuh-musuh lama yang meremehkannya, rival bisnis yang licik, dan pria kaya yang ingin mengendalikan hidupnya.

Mampukah Lyra menunjukkan bahwa status dan kekuatan bukanlah hadiah, tapi hasil kerja keras dan keberanian?

Update setiap hari bisa satu episode atau dua episode

Ikuti perjalanan Lyra—dari gadis biasa, menjadi pewaris terkaya dan wanita yang ditakuti di dunia bisnis!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Madya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25. Keyakinan Alessandro

Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis suite hotel bintang lima di jantung kota konferensi internasional. Lantai marmer berkilau memantulkan cahaya emas lembut yang merayap di sepanjang ranjang king-size. Lyra perlahan membuka mata.

"Selamat pagi, Lyra," suara Zen mengalun di benaknya tenang, dalam, dan seolah menyatu dengan detak jantungnya.

"Pagi Zen, masuk"

(Ding, berhasil masuk selamat mendapatkan

Insight Report – Tren Ekonomi Dunia & Celah Investasi Eksklusif.

Akses data real-time, prediksi jangka panjang, dan pola pergerakan modal yang hanya dimiliki oleh investor kelas dunia. Berlaku 7 hari)

Lyra mengangkat tubuhnya, duduk di tepi ranjang. “Ini… bukan sekadar laporan,” gumamnya lirih. Data di layar hologram mungil yang hanya bisa ia lihat bergerak cepat, memetakan potensi industri yang akan meledak 3 tahun mendatang, bahkan merinci daftar perusahaan kecil yang kelak menjadi raksasa.

Ketukan pelan terdengar di pintu. Serena masuk, langkahnya anggun, membawa nampan perak berisi kopi hitam pekat, roti croissant hangat, dan potongan buah segar.

“Pagi, Nona,” ucapnya, meletakkan nampan di meja kecil dekat balkon. “Agenda pagi ini padat. Sesi ekonomi global dimulai pukul sembilan.”

Lyra tersenyum samar. “Sepertinya aku akan membuat kejutan di sana.”

...----------------...

Sementara itu, di ruangan lain, Alessandro von Echeverria berdiri di depan jendela besar suite-nya. Matanya terpaku pada taman hotel di bawah sana, di mana Lyra semalam sempat berjalan sebentar sebelum kembali ke kamarnya.

Tangannya secara refleks terangkat, mengingat momen dansa mereka kemarin malam. Biasanya, setiap kali kulitnya bersentuhan dengan orang lain tanpa sarung tangan, alerginya akan langsung muncul gatal, memerah. Tapi saat itu… tidak ada apa-apa. Bahkan, sentuhan itu justru terasa… hangat, tenang.

“Aneh,” gumamnya pelan, bibirnya membentuk senyum tipis yang jarang muncul. “Dan… menarik.”

...----------------...

Lampu gantung kristal memantulkan kilau keemasan yang menari di dinding marmer. Aula itu dipenuhi aroma parfum mahal bercampur aroma kopi hitam yang disajikan pelayan dengan baki perak. Deretan kursi elegan disusun setengah lingkaran menghadap panggung, setiap kursi diduduki tokoh besar investor, ekonom, bangsawan, hingga pemilik konglomerasi internasional. Kamera media berkedip, menangkap setiap momen.

Nama Lyra Kandiswara menggema melalui pengeras suara. Semua kepala menoleh bersamaan, seolah magnet tak kasatmata menarik perhatian.

Langkah Lyra pelan tapi mantap. Gaun formal biru gelap membungkus tubuhnya, menonjolkan siluet ramping namun berwibawa. Mata teduhnya menyapu ruangan, tak sekadar melihat, tapi membaca dan menangkap bahasa tubuh, raut wajah, bahkan tekanan napas mereka.

Di podium, Lyra memegang mikrofon dengan mantap.

“Pagi ini,” ucapnya, suaranya lantang namun elegan, “kita tidak hanya membicarakan angka. Kita bicara tentang arah masa depan. Tentang peluang yang tidak semua orang mau lihat.”

Beberapa wajah terlihat skeptis. Kursi baris depan sedikit berderit saat Dr. Howard Ellison, ekonom senior dari Amerika berambut perak, mengangkat tangan. Nada suaranya rendah tapi sarkastis.

“Nona Lyra, teori Anda tentang pergeseran modal Asia–Eropa terlalu… optimis. Pasar global tidak bergerak sesederhana itu. Data yang Anda tunjukkan—”

“—sudah diverifikasi lintas lembaga dan real-time,” potong Lyra, tenang namun penuh ketegasan. Zen, sistem yang hanya ia dengar di pikirannya, mengalirkan grafik, tanggal, hingga catatan sumber hukum langsung ke penglihatannya.

Ia menoleh ke Howard. “Bahkan model prediksi Anda lima tahun lalu meleset 23%. Perbedaan kita, Dr. Howard, adalah saya memproses data dengan variabel lapangan yang Anda abaikan.”

Desisan kagum terdengar dari kursi belakang.

Seorang wanita bangsawan Eropa, Duchess Marianne von Kessler, anggun dengan gaun putih gading, menyilangkan kaki dan berbicara dengan nada sinis.

“Data Anda memikat, Nona Lyra. Tapi bukankah investasi lintas benua rawan manipulasi politik? Anda muda, dan mungkin terlalu berani.”

Lyra tersenyum tipis, mengangkat alis. “Duchess, usia hanya relevan bila bicara pengalaman. Sedangkan keberanian? Itu diperlukan untuk mengubah status quo. Manipulasi politik terjadi ketika transparansi hilang. Platform saya membongkar itu dengan data yang dapat diakses publik termasuk untuk Anda, jika mau mencobanya.”

Beberapa kepala menoleh, penasaran.

Dari sisi kanan ruangan, Tan Wei, taipan teknologi asal Singapura, mencondongkan tubuh. “Bagus. Tapi model Anda menuntut integrasi digital penuh antarnegara. Apa Anda pikir semua pemimpin akan menyerahkan data mereka begitu saja?”

Lyra menatapnya lurus, suaranya lebih dalam. “Mereka tidak harus menyerahkan data. Mereka hanya perlu menyadari bahwa menolak integrasi berarti kehilangan pangsa pasar. Tekanan bukan dari saya tapi dari konsumen global yang semakin cerdas. Dan fakta itu… tidak bisa diabaikan.”

Ketiga penanya itu saling bertukar pandang. Skeptisisme mereka mulai terguncang.

Serena, yang berdiri di belakang Lyra, matanya tajam mengamati setiap detail. Saat Pierre Legrand, analis keuangan asal Prancis, mencoba menyelipkan komentar sinis

“Kalau prediksi Anda salah, siapa yang menanggung kerugiannya?”

Serena maju setengah langkah, senyum dinginnya menusuk.

“Pertanyaan bagus, tapi Nona Lyra akan menjawab setelah presentasi selesai.”

Lyra hanya mengangguk dan melanjutkan pidatonya, menutup sesi dengan kalimat yang menggetarkan ruangan:

“Bukan masalah siapa yang memegang modal terbesar hari ini… tapi siapa yang cukup cerdas untuk melihat besok.”

Tepuk tangan menggema, kali ini jauh lebih keras dari awal. Beberapa wajah yang tadi meremehkan, kini menatap Lyra dengan campuran kagum dan kewaspadaan.

Namun, saat Lyra turun dari podium, Serena menerima bisikan dari seorang asisten. Wajahnya berubah serius.

“Ada rumor… katanya data yang digunakan Nona Lyra diperoleh secara ilegal.”

Serena menoleh cepat, tatapannya tajam. “Sumbernya?”

“Asal mula rumor… sepertinya dari koneksi lama keluarga Kandiswara.”

Jari Serena bergerak cepat di tablet. “Blokir semua jalur penyebaran. Kirim bukti legalitas data ke semua media. Kita kunci narasi sebelum mereka memelintirnya.”

Sementara itu, Lyra berdiri di samping panggung, merasakan getaran langkah lawan-lawan politik yang mulai bergerak di balik layar.

Di dalam pikirannya, suara Zen terdengar tenang.

“Target utama Anda bukan hanya memenangkan forum ini, Lyra. Anda harus mematahkan kredibilitas mereka sebelum mereka mematahkan Anda.”

Lyra tersenyum tipis. “Sudah di agendaku.”

...----------------...

Di sayap timur hotel, sebuah ruangan rapat pribadi yang luas memancarkan aura eksklusif. Dindingnya terbuat dari kayu mahoni tua, dipernis halus hingga memantulkan cahaya temaram dari lampu gantung kristal antik yang menggantung di tengah langit-langit tinggi. Karpet tebal berwarna marun membungkam setiap langkah, menciptakan kesan seolah waktu berjalan lebih lambat di ruangan ini. Aroma tipis kopi hitam bercampur dengan wangi kulit dari kursi-kursi armchair berlapis, membuat atmosfernya terasa berat namun hangat.

Alessandro duduk di ujung meja panjang dari kayu jati yang mengilap, satu kaki disilangkan di atas yang lain. Kemeja putihnya sedikit terbuka di bagian leher, menampilkan kesan santai yang bertolak belakang dengan tatapan matanya yang tajam. Di depannya, tumpukan berkas rapi dengan segel berlogo keluarga bangsawannya terletak di sisi kanan, seakan menjadi penanda betapa pentingnya pertemuan ini.

“Kerja sama ini bisa membuka pintu Eropa untukmu,” ucapnya pelan namun mantap, menyodorkan berkas itu ke arah Lyra. Suaranya dalam, resonan, dan membawa nada tantangan. “Tapi aku ingin mendengar… versimu tentang visi masa depan.”

Lyra mengangkat pandangan, menatap lurus ke arah Alessandro. Cahaya lampu gantung memantulkan kilau lembut di matanya. Tanpa tergesa, ia membuka map itu, menelusuri beberapa halaman, lalu menutupnya kembali. Ia bersandar sedikit, jemari saling terkait di atas meja.

“Visi masa depan?” Lyra mengulang, bibirnya melengkung tipis. “Aku melihat dunia yang tidak lagi dikuasai oleh satu pasar tunggal. Eropa, Asia, Afrika—semuanya saling terhubung, tapi tidak ada yang mendikte sepenuhnya. Masa depan ada pada keseimbangan, dan pada mereka yang mampu membaca arah angin sebelum badai datang.”

Kata-kata itu diucapkannya dengan tenang, tapi mengandung keyakinan yang kuat. Alessandro, yang biasanya cepat memberi komentar, justru terdiam beberapa detik. Ia menatap Lyra seakan mencoba mengukur kedalaman pikirannya.

Lalu, dengan gerakan perlahan, ia mengambil gelas kristal dari nampan di meja samping. Cairan amber berkilau di bawah cahaya lampu, menebarkan aroma hangat yang samar. Alessandro berjalan memutar meja, langkahnya nyaris tak bersuara di atas karpet.

“Hanya minuman selamat datang,” katanya ringan, nyaris seperti basa-basi. Tapi ketika ia menyerahkan gelas itu, jari-jarinya sengaja menyentuh punggung tangan Lyra. Kontak itu singkat, namun cukup untuk membuat denyut waktu seolah berhenti.

Mata mereka bertemu. Pandangan Alessandro tajam namun ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya, rasa ingin tahu, mungkin juga pengakuan yang tak terucap. Tidak ada tanda-tanda alergi di kulitnya. Tidak ada kemerahan, tidak ada jarak yang tiba-tiba ia ciptakan. Justru sebaliknya, ia membiarkan kontak itu bertahan sepersekian detik lebih lama dari yang diperlukan.

Lyra tidak menarik tangannya. Ia menerima gelas itu dengan tenang, namun di balik tatapan matanya, pikirannya berputar cepat. Dia tahu. Dia menyadari sesuatu malam itu saat kita berdansa.

Alessandro tersenyum tipis, bukan senyum ramah, melainkan senyum seorang pria yang baru saja menemukan teka-teki yang ingin ia pecahkan. “Menarik…,” ucapnya lirih, seakan hanya berbicara pada dirinya sendiri, sebelum ia kembali ke kursinya.

...----------------...

Ballroom hotel itu perlahan sepi setelah para tamu berpamitan. Aroma wine dan parfum mahal masih tertinggal di udara ketika Lyra kembali ke suite. Gaun satin ungu gelapnya bergeser lembut saat ia melangkah, hak sepatu tipisnya mengetuk lantai marmer.

Begitu pintu suite menutup, ia melepaskan sepatu dan berjalan ke balkon, menyandarkan kedua tangan di pagar dingin. Lampu-lampu kota seperti lautan bintang di bawah sana.

"Hari yang panjang..." gumamnya pelan, hembusan napasnya membentuk kabut tipis di udara malam. Ia mencoba membiarkan pikirannya tenang mengingat percakapan dengan Alessandro, tatapan para investor, dan kesepakatan-kesepakatan yang mulai terjalin.

Namun ketenangan itu terpecah.

Di dalam suite, Serena berdiri kaku. Cahaya layar ponselnya menyorot wajahnya. Sebuah pesan terenkripsi berwarna merah menyala:

(Ding, ada pihak yang mencoba menyusup ke sistem bisnis Lyra malam ini. Level ancaman: Tinggi)

Tanpa suara, Serena mengaktifkan mode pengawasan penuh. Sebuah cahaya merah kecil menyala di sudut matanya tanda sistem pertahanan pribadinya aktif.

" Nona Lyra," panggil Serena singkat.

Nada suaranya membuat Lyra segera menoleh.

"Apa?"

"Kita punya masalah."

Lyra melangkah masuk, matanya langsung fokus ke layar yang dipegang Serena. Jantungnya berdegup cepat, terlalu cepat tapi wajahnya tetap datar. Dalam pikirannya, Zen sudah berbicara.

(Penyusup mencoba masuk lewat jalur keuangan. Mereka targetkan akun escrow utama. Dua menit sebelum breach total.)

"Serena, kunci akses fisik," perintah Lyra, suaranya rendah tapi tajam.

Serena bergerak cepat, menurunkan sistem pengaman elektronik ruangan hingga terdengar bunyi klik di setiap pintu. Lyra langsung duduk di depan laptop pribadinya, perangkat khusus dengan lapisan enkripsi tiga kali lipat. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard, layar penuh dengan baris kode dan jalur transaksi yang berkedip merah.

"Siapa pun ini… mereka pintar," gumamnya, rahangnya mengeras.

Seketika, Lyra merasakan keringat dingin di punggungnya. Ada sensasi seperti waktu yang menipis, seperti napas yang semakin pendek. Tapi di balik rasa panik itu, ada suara di kepalanya dingin, terukur.

(Alihkan jalur transaksi. Umpankan alamat IP palsu. Masukkan kode penjebak.)

Lyra mengetik lebih cepat, menembus sistem seperti menusuk selimut tipis. Di layar, status ancaman mulai berubah dari merah menjadi kuning.

Serena berdiri di belakangnya, seperti bayangan pelindung. "Tiga puluh detik lagi," ucapnya.

"Sepuluh detik cukup," balas Lyra datar.

Dan benar—dalam sembilan detik, layar menunjukkan pesan: Penyusupan gagal. Sumber terdeteksi. Jebakan aktif.

Lyra bersandar di kursinya, menutup mata sejenak. Jantungnya masih berdetak keras, tapi ada kilatan puas di matanya saat membukanya kembali.

"Kita tidak hanya menutup pintu mereka," katanya pelan, "kita juga mengirimkan 'hadiah' kembali."

Serena mengangkat alis. "Hadiah?"

"Sebuah malware khusus. Kalau mereka coba masuk lagi, seluruh perangkat mereka akan jadi arsip museum."

Di luar balkon, angin malam bertiup kencang. Lyra kembali berdiri di sana, namun kini pandangannya berbeda. Ada ketegangan yang belum sepenuhnya hilang, tapi juga ada keyakinan baru bahwa ia bisa mengatasi siapa pun yang mencoba menjatuhkannya.

(Zen, siapa mereka?) tanyanya dalam hati.

(Identitas samar. Tapi jejaknya mengarah ke... sekutu lama keluarga Kandiswara.)

Tatapan Lyra mengeras, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang tidak sepenuhnya hangat.

"Kalau begitu," bisiknya, "permainan baru saja dimulai."

Lyra bersandar di kursinya, rasa lega perlahan menyusup, namun ada bara marah di dadanya. “Mereka pikir aku akan lengah di saat seperti ini? Salah besar.”

Serena tersenyum tipis. “Nona hebat, cepat sekali mengambil keputusan. Ancaman sudah terkendali.”

Lyra mengangguk, mengambil napas panjang, lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Di lift menuju lantai atas, pintu terbuka dan Alessandro melangkah masuk. Kemeja hitamnya sedikit terbuka, aroma parfum maskulin tipis tercium.

Matanya menyapu Lyra singkat, lalu bertanya dengan nada santai namun penuh makna, “Hari yang… penuh tantangan, hm?”

Lyra meliriknya, menyembunyikan gejolak hatinya. “Sepertinya kabar menyebar lebih cepat daripada yang kuduga.”

Alessandro tersenyum tipis, matanya penuh teka-teki. “Aku hanya punya insting yang baik. Pastikan kau tidur malam ini, Lyra. Orang yang tenang biasanya menang.”

Pintu lift terbuka. Lyra melangkah keluar, tapi sempat menoleh. “Jangan khawatir. Aku selalu menang.”

Begitu masuk ke kamarnya, Lyra menutup pintu dan menurunkan tasnya. Zen kembali menyapa lewat pikirannya, "Kau baik-baik saja?"

Lyra menatap langit-langit sebentar sebelum menjawab dalam hati, "Aku baik. Hanya… sedikit lelah. Tapi aku tidak akan membiarkan ini mengguncangku. Mereka boleh mencoba, tapi mereka tak akan pernah menang."

Zen merespon lembut, "Itulah mengapa aku di sini. Untuk memastikan kau selalu satu langkah di depan."

Lyra tersenyum tipis, meraih gelas air di meja, lalu berbaring. Lampu kota di luar masih berkelip, namun pikirannya kini lebih tenang.

Jangan lupa like, subscribe dan komen agar author semangat update. Terima kasih🤗

1
Lala Kusumah
siaaap, lanjutkan 👍👍👍
Lala Kusumah
kereeeeeennn n hebaaaaaatt Lyra 👍😍💪😍
Mimi Johan
Bagus sekali ceritanya
Lala Kusumah
siap lanjutkan Thor 🙏🙏🙏
Lala Kusumah
semangat sukses selalu Lyra 💪😍😍😍
Gedang Raja
bagus sesuai keinginan 👍💪👍🤗
Lala Kusumah
hebaaaaaatt n kereeeeeennn Lyra 👍👍👍👍
Lala Kusumah
lanjuuuuuuuuut
Madya_: Terima kasih atas dukungannya
Nantikan kelanjutan keseruan Lyra 🤗
total 1 replies
Andira Rahmawati
lanjuttttt
Madya_: Terima kasih atas dukungannya
Nantikan kelanjutan cerita Lyra 🤗
total 1 replies
Lala Kusumah
cepat menjadi kuat Lyra 💪😍
Madya_: Terima kasih atas dukungannya
perlahan lahan Lyra akan jadi wanita kuat yang tidak bisa diremehkan orang lain😁
total 1 replies
Lala Kusumah
aaaaaahhhhh Lyra kereeeeeennn tambah kaya 😍😍😍👍👍👍❤️❤️🙏🙏💪💪
Lala Kusumah
jangan terlalu berbaik hati dan berhati lembut Lyra , karena diluar sana banyak orang yang ingin menjatuhkan kita , semangat 💪😍😍😘
Lala Kusumah
lanjuuuuuuuuut 🙏😍
Madya_: Terima kasih atas dukungannya
Nantikan kelanjutan cerita seru Lyra🤗
total 1 replies
Lala Kusumah
good job Lyra 💪😍😍😍😘
Madya_: Terima kasih atas dukungannya
nantikan keseruan Lyra 😁
total 1 replies
Andira Rahmawati
lanjut thorrr..yg byk ya up nya thor...tetap semangat tborrr 💪💪💪💪
Madya_: Terima kasih atas dukungannya
bakalan up setiap hari kok🤗
total 1 replies
Sun Seto
Karakternya hidup banget!
Madya_: Terima kasih atas dukungannya
nantikan keseruan Lyra😂
total 1 replies
♞ ;3
Jangan biarkan kami menunggu lama-lama, update please~~
Madya_: Terima kasih atas dukungannya
bakalan up setiap hari kok🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!