Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Wulan menghela napas panjang, merasa lega karena ketegangan telah berlalu. Sesuatu yang tidak diketahui wujudnya berasal dari hutan bambu. Seperti penjaga yang sedang berpatroli.
"Kenapa sebenarnya, Wulan?" Juragan berbisik di telinga Wulan, bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
"Ki Jagat!" bisik Wulan.
Deg!
Jantung juragan berdetak mendengar nama itu. Nama yang sudah lama tidak disebutkan, nama yang apabila pemiliknya muncul ke permukaan tanda bencana akan datang.
"Apakah akan ada bencana di tempat ini, Wulan? Kalau begitu saya harus meminta mereka untuk meninggalkan tempat ini," ucap juragan terburu-buru.
"Tidak! Kali ini tidak bersangkutan dengan alam. Alam sedang tenang, Ki Jagat sedang memeriksa seluruh desa Munding." Wulan memberitahu.
"Hanya memeriksa?" Juragan bertanya tak percaya.
"Juragan tahu? Ki Jagat adalah pelindung desa Munding yang tidak diketahui di mana tempat tinggalnya, bagaimana sosoknya, dan seperti apa rupanya. Entah laki-laki atau perempuan, tak satu pun dari penduduk desa Munding pernah bertemu dengannya. Hanya saja kemunculannya selalu memberi tanda agar para penduduk tetap berdiam di dalam rumah saat senja jika tidak ingin celaka. Atau ada sesuatu yang asing masuk ke desa ini tanpa izin," ujar Wulan yang diangguki oleh juragan.
"Saya mengerti," jawab juragan seraya merebahkan diri di ranjang. Tubuhnya terasa lelah, berbaring sebentar saja untuk mendapatkan ketenangan.
Malam itu mereka akan menginap, keesokan harinya akan kembali ke istana.
"Wulan, saya ingin memberikan satu usaha kepada kamu. Supaya di masa depan kamu tidak kesulitan keuangan. Pilih saja, usaha apa yang kamu mau? Sawah, perkebunan teh ini, perkebunan karet, atau tanah lapang di dekat perbatasan desa. Kamu boleh memilih salah satunya," ucap juragan seraya berbalik menghadap Wulan yang masih duduk di tepi ranjang.
Perempuan itu menoleh, berkedip matanya mendengar ucapan sang juragan.
"Apakah tidak merugikan Juragan?" tanya Wulan.
Dia sudah memiliki rumah juga tanah warisan ibunya. Itu sudah cukup baginya untuk menghadapi masa depan.
"Tidak. Kalau kamu suka tempat ini, kamu boleh memilih perkebunan teh ini. Laporan keuangannya akan diberikan Sumar kepadamu setiap bulannya," jawab juragan sambil tersenyum.
Perkebunan teh ini memang sangat menjanjikan, tapi Wulan lebih tertarik tanah lapang di dekat perbatasan desa.
"Kalau begitu saya mau tanah lapang itu saja karena berdampingan dengan tanah warisan ibu. Apa tidak masalah?" ucap Wulan membuat juragan terdiam.
Tanah itu telah ia tawarkan kepada Ratih, Lastri, dan Ningsih sebelumnya. Mereka semua menolak dengan alasan tanah tersebut tandus dan tidak dapat ditanami. Para penduduk di sana sering mengalami gagal panen karena jauh dari perairan.
"Kamu yakin? Tanah di sana tandus, bagaimana kamu akan mengolahnya?" Juragan tertarik dengan pilihan Wulan.
"Yakin, Juragan. Saya sudah punya rencana sendiri bagaimana akan mengolah tanah itu. Juragan tidak perlu khawatir," jawab Wulan dengan yakin.
Juragan tersenyum dan mengangguk, ia tidak akan mencampuri pilihan Wulan. Tanah itu terserah Wulan bagaimana akan mengolahnya.
"Wulan, satu lagi permintaan saya. Apa boleh panggil saya akang, rasanya jauh sekali ketika kamu memanggil saya Juragan," pinta juragan.
Wulan tertegun, berkedip-kedip matanya tak percaya. Menurut rumor juragan tidak pernah mengizinkan istri-istrinya memanggil seperti itu.
"Bagaimana?" Juragan kembali bertanya karena Wulan belum menjawab.
"Tapi, apa tidak apa-apa? Saya dengar Juragan tidak mengizinkan yang lain memanggil seperti itu," ucap Wulan dengan jujur.
Juragan tersenyum, beranjak duduk berhadapan dengan Wulan.
"Memang, tapi saya ingin kamu memanggil saya akang. Hanya kamu, Wulan. Karena saya hanya mengakui kamu sebagai istri sah saya. Bukankah suami istri tidak boleh ada jarak meski hanya panggilan saja?" ujar Juragan membuat Wulan tak enak hati.
Bagaimana dengan istri juragan yang lainnya? Sebenarnya ada apa dengan ketiga istrinya itu? Kenapa seolah-olah hanya saya istri Juragan seorang?
Wulan bertanya-tanya tak mengerti, tapi meliat wajah Juragan yang serius ia tahu laki-laki itu sedang tidak main-main.
"Akang?" panggil Wulan setelah mengumpulkan keberaniannya. Hal itu menerbitkan senyum lebar di bibir juragan.
"Ulangi! Saya ingin mendengarnya lagi," pinta juragan antusias, riak kebahagiaan jelas terlihat di wajahnya.
"Kang Nata?" Jantung Wulan berdebar, tak ada yang berani memanggil nama juragan selama ini.
Ia kira juragan akan marah, tapi senyumnya justru semakin lebar. Ingin juragan memeluknya, tapi mengingat ucapan Wulan ia urungkan.
"Terima kasih." Juragan tersenyum.
Wulan balas tersenyum sambil mengangguk.
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa