NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Belok Menuju Lurus

Cahaya matahari mulai menyusup dari balik tirai. Aluna masih tertidur membelakangi Alaric yang sudah bangun, duduk di sisi ranjang. Kaosnya sedikit kusut, rambutnya belum tertata. Tapi matanya tampak gelisah.

Tangannya mengusap lututnya sendiri. Tatapannya turun ke selimut.

Alaric membatin, “kenapa harus kena situ tadi…”

Ia berdiri perlahan, mengambil smartphone dan hoodie, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah ringan. Tidak membangunkan siapa pun. Tidak meninggalkan pesan.

...***...

Pintu apartemen terbuka pelan dengan akses password angka. Alaric masuk tanpa suara. Suasana apartemen itu hening. Sepi. Aromanya familiar—wangi kopi dan semprotan linen spray yang khas.

Alaric berjalan menuju kamar utama. Pintu terbuka sedikit. Ia mendorongnya dan melihat Renzo.

Renzo tertidur tengkurap di atas kasur. Selimutnya tersingkap separuh. Salah satu kakinya menjuntai ke bawah. Wajahnya tersembunyi di bantal. Napasnya tenang.

Alaric bersandar di pintu, menatap adik sepupunya itu. Wajahnya tak menunjukkan senyum. Tapi juga tidak marah. Lebih seperti… penuh kebingungan.

Perlahan, ia masuk. Duduk di pinggiran kasur, menatap leher Renzo yang memerah sedikit karena bekas bantal. Jemarinya hampir terulur, seperti ingin menyentuh tapi berhenti di udara.

“Kenapa semua yang rumit selalu kembali ke sini?”

Renzo menggeliat kecil, tapi tidak bangun. Alaric menarik tangannya kembali. Menatap Renzo untuk beberapa detik terakhir, lalu bangkit berdiri dan keluar kamar.

Alaric menyeduh kopi. Suara mesin otomatis bekerja. Ia berdiri memandangi cairan hitam itu jatuh ke cangkir.

Ia menyesap kopi itu dalam diam. Wajahnya kembali ke ekspresi dingin dan terkunci—seperti CEO Alverio Group yang dikenal semua orang. Tapi jauh di dalam, ia sedang menyusun ulang semua definisi rumah, keluarga dan cinta.

...***...

Cahaya dari jendela hanya setipis garis. Tirai tidak sepenuhnya tertutup. Alaric kembali membuka pintu kamar Renzo dengan pelan. Napasnya tertahan. Wajahnya sudah lebih tenang. Tapi matanya tetap menyimpan sesuatu.

Renzo masih tengkurap, namun posisinya sedikit bergeser—sekarang miring, wajahnya menghadap ke sisi kanan tempat kosong. Bantal masih lekat di pipi. Napasnya masih teratur.

Alaric menatap kasur itu cukup lama. Lalu tanpa berkata apapun, ia mulai melepas hoodienya. Kaosnya tetap ia pakai. Ia menaikkan selimut perlahan, lalu masuk ke sisi kosong ranjang itu.

Ia membaringkan diri dalam diam. Punggungnya menghadap Renzo. Tapi tubuh mereka cukup dekat, hanya dipisahkan satu garis napas.

Beberapa detik hening. Hanya detik jam dan napas Renzo yang terdengar.

Lalu...

Renzo bergerak. Sedikit. Matanya terbuka setengah, masih malas bangun. Tapi tubuhnya seolah mengenali keberadaan orang lain di ranjangnya. Ia mendongak sedikit.

Renzo suara setengah sadar. “Bang?”

Alaric diam. Tidak membalas. Matanya menatap lurus ke dinding. Wajahnya datar. Tapi tangan kirinya—sedikit gemetar, menggenggam ujung selimut.

Renzo masih lemah. “Lo kenapa? Kangen sama gue ya?”

Alaric menjawab pelan. Suaranya hampir tak terdengar. “Enggak. Cuma pengen di sini.”

Renzo bergeser sedikit, lebih dekat. Tidak saling bersentuhan, tapi jarak mereka sekarang, nyaris tak ada. Napas mereka hampir menyatu.

Mereka kembali hening. Saling menyadari keberadaan satu sama lain. Tapi tak saling sentuh. Tak saling pandang. Hanya, ada.

Renzo tertidur lagi. Tapi Alaric belum. Matanya terbuka, menatap kosong. Jemarinya mengepal di bawah bantal.

“Gue cuma pengin merasa tenang... walau sebentar.”

Alaric perlahan membalik tubuhnya, pelan sekali, agar tidak membangunkan Renzo. Ia hanya ingin memastikan bahwa Renzo memang ada. Bahwa kehadiran orang itu nyata.

Begitu berbalik, matanya bertemu wajah Renzo. Napasnya tertahan sesaat. Jemarinya nyaris terulur, ingin menyentuh pundak Renzo. Tapi ia urungkan. Tangan itu kembali diam.

“Selalu kayak gini, ya… Rasanya aneh, tapi tenang.”

Lalu seolah mendengar bisikan itu dalam tidur, Renzo perlahan membuka mata. Kini mereka saling berhadapan. Mata Renzo belum sepenuhnya terbuka. Tapi ia menyadari jarak mereka terlalu dekat.

Hanya satu tarikan napas. Bahkan rambut Alaric nyaris menyentuh kening Renzo.

Renzo dengan suara parau, “lo nggak tidur?”

“Lo aja yang tidur. Gue temenin,” balas Alaric.

Keheningan kembali turun. Tapi kali ini, lebih berat. Ada sesuatu yang tak terucap. Sesuatu yang hanya mereka tahu.

Renzo menarik napas dalam. Tangannya naik sebentar, seolah ingin menyentuh wajah Alaric… tapi berhenti di udara. Ia mengubah arah, merapikan selimut di atas tubuh Alaric. Gerakannya pelan. Lembut.

Alaric tidak berpaling. Tidak juga menegur. Ia hanya diam. Tapi matanya mengunci sorot Renzo.

Renzo berkata, “kalau terus kayak gini… nanti gue keterusan, Bang.”

Alaric mengerjap. Lalu senyum tipis muncul di ujung bibirnya. Tapi bukan senyum bahagia. Lebih seperti pasrah.

“Gue udah keterusan dari lama, Ren.”

Seketika, keheningan pecah oleh detak jantung masing-masing. Tapi mereka tetap diam. Masih saling menatap. Masih di tempat yang sama. Tak satu pun bergerak lebih jauh. Tapi tak ada yang mundur.

Renzo tersenyum dengan mata tertutup. Seolah menyadari apa tujuan Alaric datang ke apartemennya. Renzo mendekat, lebih rapat ke dada Alaric membuat abangnya itu mendongak—membiarkan puncak kepala Renzo bersandar di dagunya.

“Tinggal bilang aja, Bang. Nggak usah pake basa-basi,” ucap Renzo membuat napas Alaric tercekat saat tangan berurat menyentuh bagian bawah Alaric yang mengeras.

Semakin lama sentuhan itu berubah menjadi lebih kasar. Tangan Alaric meremas keras bahu Renzo bahkan memeluk erat punggung adik sepupunya. Sampai napas lega terdengar dan Renzo menarik tangannya dari bawah.

“Giliran, Bang.”

“Hah?”

...***...

Renzo menarik napas sebelum menyesap kopinya. Matanya menatap gelas, bukan Alaric yang duduk di seberang meja bar dapur.

“Dulu kita ngopi buat bahas game atau proyek bisnis, bukan hal kayak gini,” ujar Renzo.

“Dulu... kita belum serumit ini,” kata Alaric pelan.

“Lo sadar gak, setiap kali kita ngopi sekarang, kita makin jauh dari hal wajar?” tanya Renzo.

“Tapi gue gak bisa berhenti,” jelas Alaric.

Renzo mengangkat wajah. Menatap Alaric, matanya menyiratkan perasaan yang tak pernah terucap di ruangan terbuka.

“Kalau terus begini, yang kita hancurin bukan cuma hubungan... tapi semua yang ada di sekitar kita,” jelas Renzo pelan.

Alaric senyum tipis, tapi getir. “Termasuk lo?”

“Termasuk lo. Termasuk Aluna. Termasuk Arshen... yang belum tahu betapa kacau papanya,” jelas Renzo.

Alaric meneguk kopinya. Pahit. Tapi bukan itu yang membuat kerongkongannya terasa berat. “Gue nyaris... bahagia waktu lo bilang gak apa-apa gue tidur di kamar lo malam itu. Tapi itu bukan bahagia yang seharusnya.”

Renzo menunduk. Lalu mendongak, menatap lampu gantung di apartemennya. “Bahagia yang salah tetap salah, Bang.”

“Kalau salah, kenapa rasanya... benar?”

Suasana membeku. Tapi bukan karena udara malam. Melainkan karena dua jiwa yang berdiri di antara garis batas: antara cinta, darah, dan dosa.

“Waktu itu... gue jalan bareng Nadhifa.”

Alaric tak menoleh. Hanya meneguk kopi, pelan. Tapi dagunya mengeras. “Lo butuh izin?”

“Enggak. Tapi gue tahu lo bakal bereaksi... kaya gini.”

Alaric menoleh perlahan. Tatapannya dingin, tapi sorot matanya mulai membakar. “Kaya apa, Renzo?!”

Renzo tetap tenang, mencoba tidak terpancing. “Kaya lo siap meledak, padahal gue cuma... mulai tertarik sama seseorang yang... mungkin bisa menyeimbangkan hidup gue.”

Alaric berdiri mendekat, satu langkah, lalu dua. Kini berdiri di depan Renzo. “Lo mulai tertarik sama dia? Anak simpanan kakek kita itu? Yang lo tahu cuma lewat beberapa hari kerja?!”

“Dia baik. Dia sederhana. Dia... normal. Dan gue butuh normal,” balas Renzo pelan.

‘Prang!’

Gelas di meja terlempar, pecah di lantai.

Alaric membentak. “Jangan omong soal ‘butuh normal’ setelah semua yang kita lakuin!”

Renzo berdiri, menatap lurus. Suaranya tetap tenang, meski wajahnya tegang. “Justru karena itu, Alaric. Gue butuh keluar dari... ‘kita’. Sebelum makin dalam.”

Alaric tertawa pendek, getir. Wajahnya menegang. “Jadi, setelah semua yang gue korbankan... Lo malah lari ke perempuan lain? Sekarang lo pura-pura suci?”

“Gue gak pura-pura. Gue cuma... gak bisa terus kaya gini.”

Alaric mendekat, sangat dekat. Sorot mata penuh luka dan kemarahan. “Lo milik gue, Renzo. Lo satu-satunya alasan gue kehilangan semua batas.”

Renzo menahan emosi. “Kalau lo benar sayang... biarin gue bebas.”

Sunyi. Alaric gemetar, rahangnya mengeras. Lalu ia mundur, satu langkah. Punggungnya menegang. Napasnya berat. Ia tidak membalas.

Renzo hanya menatap punggung itu, lalu menunduk.

...***...

Alaric kembali ke apartemennya dengan wajah emosi, rambutnya sedikit acak. Aura tubuhnya menyiratkan badai, tapi matanya kosong.

Di dalam, Aluna duduk di sofa. Kaos tipis dan celana pendek. Arshen menyusu di gendongannya sambil digendong satu tangan, tangan satunya memegang sandwich yang digigit separuh.

Aluna menoleh sekilas. “Abis ketemu Renzo?”

Alaric hanya diam. Berdiri di ambang ruang tengah. Matanya tertuju ke Arshen yang nyaman menyusu, lalu ke sandwich yang Aluna pegang.

Lalu dengan nada super pelan tapi janggal Alaric bertanya, “boleh minta?”

Aluna mengernyit. “Yang mana? Anak aku atau sandwich?”

Aluna menyadari kemana pandangan suaminya itu. Ke Arshen. Lebih tepatnya daging empuk yang Arshen kenyot dengan cepat seolah menyadari keinginan papanya itu.

Aluna tertawa. “Nggak boleh tuh sama Arshen. Nih sandwichnya aja.”

Tanpa pikir panjang, Aluna menyodorkan sandwich dan langsung menyumpalkannya ke mulut Alaric—tanpa anggun, tanpa sopan—penuh geram, membuat saus tomatnya nyaris muncrat ke bibir suaminya.

Alaric tersedak ringan lalu tertawa, akhirnya—lepas. Bukan tawa bahagia, tapi tawa getir, kehabisan tenaga, sekaligus sedikit lega.

“Kasar banget. Padahal lagi butuh penghiburan.”

Aluna sambil menyusui berkata, “jangan cari hiburan dari orang yang kamu campakkan tiap hari.”

Arshen menyedot lebih cepat. Mungkin tahu suasana rumahnya tegang.

Alaric mendekat, duduk di ujung sofa. Diam beberapa detik. Menatap Aluna dan Arshen dalam keheningan. Lalu bersandar.

“Aku cuma... capek…”

Aluna tidak membalas. Tapi menyodorkan sisa sandwich yang sudah dingin ke tangan Alaric. “Makan. Biar bisa terus hidup dan... nyusahin aku besok.”

...***...

Aluna duduk di kursi makan sambil bermain bersama Arshen di pangkuannya. Tangannya yang bebas menggenggam smartphone untuk scroll sosmed.

Lampu gantung di atas meja makan menyala hangat, menyinari siluet bahu Aluna yang tampak tegang.

Tiba-tiba, dua tangan besar menyentuh bahunya dari belakang.

Alaric. Sudah mandi, berganti pakaian rumah—kaos gelap dan celana training abu-abu. Diam-diam ia berdiri di belakang Aluna, tangannya mulai memijat perlahan bahu dan leher istrinya itu.

Aluna menegang. “Eh... ngapain?”

Kepalanya sedikit menoleh ke belakang, tapi Arshen masih bermain di pangkuannya.

Alaric tidak menjawab. Ia menunduk sedikit, memperdalam tekanan ibu jari ke sisi otot di bawah leher Aluna, lalu meluncur pelan ke tulang belikat.

“Bahu kamu kaku banget.”

Suara Alaric rendah, pelan, tapi tidak datar seperti biasanya. Ada nada lelah atau bingung.

“Kamu demam? Atau ketempelan jin baik?”

Alaric tertawa kecil—tapi pahit.

Pijatan terus berlanjut. Aluna mendesah. Bukan karena nikmat, tapi bingung. “Ini nyaman... tapi juga aneh. Kamu nggak pernah selembut ini. Ada apa, Al?”

Alaric terdiam. Tangannya berhenti sejenak di pundak Aluna. Lalu kembali bergerak perlahan. Kali ini lebih ringan.

“Nggak ada,” katanya singkat. Terlalu singkat.

Aluna memiringkan wajah ke arah bahunya. Melirik ke atas, menatap Alaric dari sudut mata. “Capek mikirin Renzo?”

Tubuh Alaric menegang sesaat. Jemarinya berhenti di titik kecil di belakang tengkuk Aluna. Lama.

Alaric tak menjawab. Hanya menarik napas pelan, lalu melepaskan pijatan dan menjauh selangkah.

Aluna mendesah dalam hati. Ia tahu. Ada sesuatu. Tapi tidak tahu harus menanyai lebih jauh atau diam.

Alaric berbalik, berjalan ke dapur, membuka kulkas. Tapi tubuhnya goyah. Pikiran berantakan. Renzo yang selama ini selalu bersandar padanya… kini menunjukkan tanda-tanda tertarik pada wanita lain.

Dan Aluna?

Dengan tenang tetap duduk, menggendong anak mereka.

Wanita yang awalnya hanya alat pencitraan kini terasa seperti jangkar di tengah laut yang bergelora.

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!