#TURUN RANJANG
Tiga tahun pasca sang istri meregang nyawa saat melahirkan putranya, Zeshan tetap betah menduda dan membulatkan tekad untuk merawat Nadeo sendirian tanpa berpikir sedikitpun untuk menikah lagi.
Namun, hal itu seketika berubah setelah Mommy-nya datang dan berusaha meluluhkan hati Zeshan yang telah berubah sebegitu dinginnya. Berdalih demi Nadeo, Amara menjanjikan akan mencarikan wanita yang pantas untuk menjadi istri sekaligus ibu sambung Nadeo.
Zeshan yang memang terlalu sibuk dan tidak punya kandidat calon istri pasrah dan iya-iya saja dengan siapapun pilihan Mommy-nya. Tanpa terduga, Mommy Amara ternyata merekrut Devanka, adik ipar Zeshan yang mengaku sudah bosan sekolah itu sebagai calon menantunya.
*****
"Ingat, kita menikah hanya demi Nadeo ... jangan berharap lebih karena aku alergi bocah bau ingus." -Zeshan Abraham
"Sama, aku juga alergi om-om bau tanah sebenarnya." - Devanka Ailenatsia
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
PLAGIAT/MALING = MASUK NERAKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - Bukan Sekadar Ibu Sambung
"Udah sana pergi, minta ampunan ... Kakak nyakitin aku lahir batin loh."
Sejak pertama kali melangkahkan kakinya, ucapan Devanka terus terngiang dalam benak Zeshan. Satu hal yang dia tahu tentang Devanka, sejak dulu semua yang terlontar dari bibirnya selaras dengan isi hati.
Walau mungkin terkesan bercanda, tapi besar kemungkinan Devanka tengah mengutarakan perasaannya, sakit lahir batin. Nyatanya marah dengan cara seperti tadi tidak membuat Zeshan puas, menyesal yang ada.
"Daddy?"
"Apa, Sayang?"
"Kenapa kecini?"
"Kenapa gimana maksudnya, Deo?" tanya Zeshan menatap wajah lucu sang putra yang kini tengah berada dalam pelukannya.
"Lumah tita di cana, Daddy!!" jawab Nadeo yang membuat Zeshan menghentikan langkah.
Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, berusaha memastikan keadaan dan benar adanya jika dia sudah berada di tempat yang salah. Beruntung saja Nadeo mengingatkan, jika tidak mungkin mereka akan terus berjalan hingga tiba di area pemakaman.
"Ya, Tuhan, apa yang kupikirkan," gumam Zeshan berbalik arah dan mempercepat langkahnya.
Nadeo yang berada dalam gendongan Zeshan sampai terkejut dan bingung kenapa langkah daddy-nya kian cepat saja. Begitu tiba di rumah, Zeshan sudah disambut dengan senyum manis Devanka yang berdiri di ambang pintu.
"Acamitum, Mommy!!" sapa Nadeo tanpa diajari dan hal itu berhasil membuat Devanka bersemu merah.
Mungkin mendengar panggilan Mommy yang Deo gunakan, agaknya dia juga berpikir bahwa Zeshan mengajari hingga sampai sebegitunya.
"Wa'alaikumussalam, anak pinter ... sini," tutur Devanka sedikit grogi tatkala meminta Nadeo berpindah ke gendongannya.
Bukannya segera menghambur ke pelukan Devanka, Nadeo justru menyambut uluran tangan wanita itu dan mengecupnya hingga membuat Devanka tertampar seketika.
Adab putra sambungnya bahkan lebih baik, Devanka terhenyak usai Nadeo mengecup punggung tangannya. "Cekalan Mommy calim Daddy don."
Mendapat perintah itu, Devanka semakin gugup, tapi berusaha untuk terlihat biasa saja dan melakukan permintaan Nadeo. Atas dasar perintah putra sambungnya, Devanka mencium punggung tangan Zeshan beberapa saat.
"Yeay beditu!!"
Peran Nadeo benar-benar menguntungkan bagi Zeshan, tapi dengan hadirnya Nadeo juga hati pria itu seolah tercabi-cabik. Terlebih saat ini mereka tengah menikmati makan malam bersama.
Sebelum fokus pada Nadeo, Devanka bahkan masih mengambilkan nasi dan lauk pauk ke piring sang suami. Sebuah tamparan keras yang membuat Zeshan mungkin akan berenang dalam lautan air mata karena telah berani menyakitinya.
"Mommy Deo mau mam cendili," protes Nadeo tatkala Devanka hendak menyuapinya.
"Sendiri? Kenapa sendiri biar On_ ma-maksudnya Mommy saja," ucap Devanka hampir saja salah, dia belum terbiasa dan jujur perasaannya sungguh berbeda sejak Nadeo tiba-tiba mengubah panggilannya.
"Engga, Deo cendili ... Mommy mam duga don," jelas Nadeo seketika membuat Devanka terenyuh. Anak sambungnya bahkan lebih perhatian dibanding pria yang kini tengah menikmati makan malamnya.
"Ah maksudnya makan sama-sama?"
"Iyah, cama-cama mamnya," sahut Nadeo memperlihatkan gigi-gigi rapihnya, terlihat jelas jika anak itu memang dibiasakan mandiri oleh daddy-nya hingga tidak selalunya merengek pada Devanka.
Selama makan malam berlangsung, Zeshan tidak ikut bersuara. Hanya istri dan putranya saja yang berceloteh bahkan berbagi cerita, seolah tidak bertemu setahun segala yang dialami selama jauh dari Devanka Nadeo ceritakan semua.
Bukan tidak peduli, bukan pula tidak tertarik akan cerita yang dibawakan putranya. Akan tetapi, saat ini otak Zeshan penuh dengan tangisan Devanka yang sempat tidak dia pedulikan, bahkan kata ampunnya juga diabaikan.
Benar kata Devanka, pendek sekali akalnya dan dia mengakui itu. Karena itulah dia tidak banyak bicara dan ketika Devanka izin ke kamar Nadeo lebih dulu usai makan malam, Zeshan berusaha untuk tidak egois seperti waktu itu.
Mana bisa bersenang-senang sebagaimana yang dia ucapkan sebelum pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, kehidupan mereka berbeda dan tidak sesederhana pasangan pengantin lainnya.
Sementara sang istri menghabiskan waktu bersama putranya, pria itu menghabiskan waktu di balkon kamar. Bertemankan sebatang rokok yang tersemat di sela jemarinya, Zeshan mengembuskan segala sesal yang telah dia lakukan hari ini.
.
.
"Bodohnya, otakmu dimana, Zeshan!!" Bukan pertama kali, ini adalah kali kesekian Zeshan mengutuk dirinya sendiri.
Lagi, Zeshan meng-hisap dalam nikotin yang terkadang memang menjadi penenang dikala gundanya.
"Dalem banget hissapnya, sakit banget ya?"
Datang tak dijemput, pulang tak diantar, begitulah Devanka saat ini. Zeshan benar-benar terkejut tatkala mendapati Devanka kini sudah berdiri tepat di sampingnya.
Sontak Zeshan memindahkan rokoknya ke tangan sebelah demi menjaga agar Devanka tidak turut meng-hisap asapnya.
"Santai saja, aku juga perokok," ucap Devanka yang kemudian Zeshan angguki.
"Tahu, karena itu aku jauhkan ... nanti kamu rebut bahaya," jawab Zeshan tersenyum tipis.
"Dulu, sekarang tidak lagi ... pas ketahuan sama Mami ijazahku mau dibakar soalnya," ungkap Devanka disertai gelak tawa yang membuat Zeshan teralih dan kembali fokus menatapnya.
"Devanka ... kakak boleh tanya sesuatu?" Melihatnya kini bisa tertawa dengan begitu santainya, jujur Zeshan penasaran apa yang istri rasakan sebenarnya.
"Boleh saja, tanya apa memangnya?" tanya Devanka mengerutkan dahi.
"Ehm soal yang tadi, apa kamu masih marah?"
Tak segera menjawab, Devanka masih melayangkan tatapan tak terbaca ke arah suaminya. Sabar Zeshan menunggu, hingga setelah beberapa saat sang istri menggeleng hingga Zeshan mengerjap pelan.
"Tidak? Serius tidak, Devanka?"
"Hem, Kakak tidak sepenuhnya salah ... harusnya aku memang tidak pergi kesana sejak awal."
Malu sekali Zeshan berhadapan dengan istrinya kali ini, sungguh. Beberapa kali Zeshan pandangi, mana tahu yang di hadapannya ini bukan Devanka, melainkan makhluk tak kasat mata.
"Dev maaf_"
"Ehm, Kak Zeshan kata dokter rokok itu menyebabkan mandul loh," celetuk Devanka demi mengalihkan pembicaraan, dia tidak suka part minta maaf terlalu panjang.
"Aku dokternya, Deva."
"Justru itu jangan aneh-aneh, padahal sudah tahu tapi masih dilakukan ... katanya mau punya momongan? Minta sama Tuhan, tapi ikhtiarnya tidak ada percuma, Kak," seloroh Devanka panjang lebar dan berhasil menciptakan senyum tipis di wajahnya.
"Iya, Devanka yang manis, terima kasih peringatannya ... ehm tapi kamu tiba-tiba ngomong begini, apa maksudnya bersedia jadi ibu?"
"Sekarang aku sudah jadi ibu untuk Nadeo," sahut Devanka yang ditanggapi gelengan kepala oleh Zeshan.
"Maksudku ibu kandung, bukan sekadar ibu sambung, Devanka," ucap Zeshan menatap lekat Devanka yang juga tengah menatapnya.
.
.
- To Be Continued -