"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32.Menemui suami lagi
Siang harinya, Aruna memutuskan untuk membawa makan siang untuk Arza ke Puskesmas. Ini bukan hanya tentang makan siang, tapi juga tentang menunjukkan kehadirannya. Ia menyiapkan bekal kesukaan Arza, menatanya rapi dalam wadah.
Setibanya di Puskesmas, ia disambut oleh senyum ramah Munira di meja resepsionis. " Aruna? Mau mengantar makan siang untuk Dokter Arza, ya?"
"Iya, Munira. Mas Arza pasti sibuk," Aruna tersenyum. "Apa dia ada di ruangannya?"
"Dokter Arza baru saja kembali dari kunjungan desa. Sepertinya sedang beristirahat sebentar di ruangannya," Munira menjawab. "Silakan masuk."
Aruna melangkah menuju ruangan Arza. Saat ia tiba di depan pintu, ia mendengar suara Arza dan Kalila dari dalam. Pintu sedikit terbuka. Aruna berhenti, jantungnya berdebar.
"Mas Arza, kenapa tadi tidak mau makan kue yang aku bawa?,itu buatan ibu lho" Suara Kalila terdengar manja.
"Aku tidak lapar, Kalila. Lagipula, aku bawa bekal dari rumah kok," jawab Arza, nadanya biasa saja.
"Bekal dari rumah? Wah, Aruna perhatian sekali ya. Tapi... bekal dari luar Puskesmas itu kurang bersih loh, Mas. Nanti bisa sakit," Kalila berujar, ada nada meremehkan dalam kalimatnya.
Aruna mengepalkan tangannya. Nafasnya tercekat mendengar kalimat Kalila. Berani-beraninya dia meremehkan bekal yang ia siapkan dengan penuh cinta untuk suaminya.
"Tidak apa-apa, Kalila. Aruna selalu menjaga kebersihan. Lagipula, bekal dari istriku itu yang paling enak," Arza menjawab dengan santai, namun kata-katanya justru menguatkan Aruna.
"Tapi kan, Mas... aku ingin memastikan Mas Arza selalu sehat. Kalau makan masakan orang, eh, maksudku masakan rumah terus, kan kadang bosan juga," Kalila tertawa kecil, tawa yang menusuk hati Aruna.
Aruna tak tahan lagi. Ia mendorong pintu sedikit lebih lebar dan masuk. "Oh, benarkah? Jadi menurutmu, masakan rumah itu membosankan?" Aruna melangkah masuk dengan senyum manis yang dipaksakan. Matanya menatap Kalila dengan tajam.
Kalila terkesiap, wajahnya langsung pucat. Ia tidak menyangka Aruna akan datang. Arza yang sedang bersandar di kursinya, terkejut melihat Aruna.
"Sayang! Tumben sekali?" Arza bangkit menghampiri Aruna, ekspresinya senang.
"Aku membawa makan siang untukmu, Mas," Aruna menyodorkan bekal di tangannya, namun matanya tetap tertuju pada Kalila. "Dan sepertinya aku datang di waktu yang tepat untuk mendengar 'penilaian' tentang masakanku."
Kalila tersenyum kaku. "Eh, Aruna... aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya... aku hanya ingin memastikan Mas Arza makan makanan yang bervariasi."
"Bervariasi?" Aruna menaikkan satu alisnya. "Sejak kapan kesehatan Mas Arza menjadi tanggung jawabmu, Kalila? Aku rasa, sebagai istrinya, itu adalah tugasku." Aruna menekankan kata 'istrinya', dan mendekat pada Arza, menggenggam lengan suaminya erat.
Arza yang masih belum menyadari ketegangan di antara kedua wanita itu, hanya tersenyum canggung. "Sudah, sudah. Kalian ini kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa, Mas," Aruna tersenyum manis pada Arza, lalu kembali menatap Kalila dengan pandangan yang tak bisa dibaca. "Aku hanya ingin memastikan, Kalila, bahwa batasan itu ada. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun melanggarnya."
Kalila menelan ludah. Ia tahu Aruna tidak main-main. Aura yang dipancarkan Aruna jauh lebih kuat dari yang ia duga.
"Kalau begitu, aku permisi dulu, Mas," Kalila akhirnya menyerah, suaranya sedikit gemetar. "Selamat makan siang, Mas Arza... dan Aruna." Ia buru-buru keluar dari ruangan Arza, merasa kalah telak.
Arza menatap punggung Kalila yang menghilang, lalu menatap Aruna dengan bingung. "Ada apa sih, Sayang? Kalian ini seperti bermusuhan."
Aruna hanya tersenyum tipis. "Tidak ada apa-apa, Mas. Ayo, Mas makan. Aku sudah lapar. Mas pasti juga lapar." Aruna sengaja mengalihkan pembicaraan, membiarkan Arza tetap dalam ketidaktahuannya, setidaknya untuk saat ini. Ia akan menghadapi Kalila, dan ia tidak perlu Arza mengerti semua detailnya. Yang terpenting, Arza tetap di sisinya.
Baru saja Aruna ingin menyiapkan makanan nya. Tiba-tiba, pintu ruangan Arza diketuk. Seorang pria tinggi dengan jas dokter yang rapi berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampan, dengan sorot mata cerdas dan senyum ramah.
"Za, sibuk?" sapa pria itu. "Tadi aku lihat ada yang mengantar makan siang, kelihatannya enak sekali." Ia tertawa ringan, pandangannya beralih ke Aruna.
Arza tersenyum lebar. "Hilman! Masuk, masuk. Tumben kemari?" Arza menoleh ke Aruna. "Sayang, kenalkan ini Dokter Hilman, temanku. Man, ini Aruna, istriku."
Dokter Hilman melangkah masuk, mengulurkan tangan pada Aruna. Matanya memancarkan ketertarikan yang tipis, namun tetap sopan. "Oh, jadi ini yang namanya Aruna. Saya Hilman. Selamat siang, Aruna. Saya rasa kita pernah bertemu sekilas di acara pernikahan kalian, ya? Tapi saya tidak sempat berkenalan langsung." Senyumnya mengembang, menunjukkan lesung pipi samar.
Aruna tersenyum, menyambut uluran tangan Hilman. "Selamat siang, Dokter Hilman. Iya, mungkin waktu itu acaranya terlalu ramai, jadi kita tidak sempat bertemu." Aruna merasakan tatapan Hilman yang agak intens, sedikit berbeda dari sekadar sapaan ramah. Ia tahu, Hilman adalah dokter yang cukup terkenal di lingkungan Puskesmas dan sering menjadi perbincangan para perawat karena ketampanannya.
"Saya dengar kalian mengadakan pesta pernikahan di kota nanti ya? Pasti meriah sekali," Hilman melanjutkan, nadanya bersahabat, namun pandangannya tak lepas dari Aruna. Ia mengamati detail wajah Aruna, rambutnya yang tergerai, dan caranya tersenyum. Ada sesuatu yang berbeda dari Aruna, yang menarik perhatiannya.
Arza terkekeh. "Begitulah. Rencana orang tua. Kamu harus datang ya, Man."
"Tentu saja! Saya pasti datang," jawab Hilman, kini tatapannya kembali pada Arza, meskipun ia sesekali melirik Aruna. "Ngomong-ngomong, Za, aku butuh bantuanmu. Ada beberapa kasus yang aku tidak yakin penanganannya. Bisa kita diskusikan sebentar?"
"Bisa, bisa. Tentu saja," Arza mengangguk, lalu menoleh ke Aruna. "Sayang, aku diskusi sebentar ya dengan Hilman. Kamu tidak apa-apa menunggu di sini?"
"Tidak apa-apa, Mas. Silakan," Aruna tersenyum, mempersilakan mereka.
Arza dan Hilman kemudian berdiskusi tentang kasus medis di meja Arza, sementara Aruna tetap duduk di sofa, sesekali mencuri dengar pembicaraan mereka. Hilman sesekali melirik ke arah Aruna, bahkan saat sedang berbicara dengan Arza, seolah tak bisa menahan diri untuk tidak memandangnya. Ia menyadari bahwa Aruna memiliki pesona yang tenang namun memikat, berbeda dengan wanita-wanita lain yang selama ini ia temui.
Tanpa mereka sadari, dari luar ruangan, Kalila yang baru saja kembali setelah menenangkan diri, sempat mengintip ke dalam. Ia melihat Dokter Hilman, pria tampan yang juga sering dibicarakan di Puskesmas, sedang berbicara dengan Arza. Namun, matanya terpaku pada Aruna, yang tampak nyaman di sana, bahkan menarik perhatian Hilman. Rasa cemburu di hati Kalila semakin membuncah. Ia merasa Aruna mengambil alih segalanya, tak hanya Arza, tapi juga perhatian orang lain di sekitar mereka.
"Aku akan membuat mu menyesal,Aruna"