Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Memang Pantas
Bayu menarik lengan Boni dengan hati-hati, membantu sahabatnya yang masih tertatih berjalan dengan kruk. Mereka berdiri di depan pegadaian, bangunan kecil dengan papan nama yang sudah mulai kusam. Di dalamnya, ada petugas yang sibuk melayani pelanggan, sebagian besar dengan wajah cemas, menunggu barang berharga mereka ditebus atau dijual.
Boni menatap Bayu dengan keraguan yang jelas. “Bay, lo nggak perlu lakuin ini.” Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.
Bayu menghela napas, lalu menatapnya tajam. “Gue perlu, Bon.”
Boni menggeleng, menggenggam kruknya erat. “Rumah itu… gue udah ikhlasin. Uang ini bisa lo pakai untuk hal lain yang lebih penting.”
Bayu mendengus, sedikit frustrasi. “Lebih penting dari balikin rumah lo?”
Boni menunduk, suaranya pelan, “Gue bisa mulai dari awal… Gue bisa cari tempat lain.”
Bayu merasakan dadanya sesak. Ia tahu betapa keras kepala sahabatnya ini, tapi kali ini ia tidak akan mundur. “Lo kehilangan rumah itu karena gue, Bon. Karena gue!” suaranya meninggi, membuat beberapa orang di dalam pegadaian melirik ke arah mereka. “Lo gadai rumah itu buat biaya rumah sakit gue! Lo kehilangan segalanya karena gue, dan sekarang gue nggak bakal biarin lo hidup di jalanan!”
Boni terkesiap, terdiam beberapa saat. Ia tahu Bayu pasti merasa bersalah, tapi ia tak ingin sahabatnya terbebani dengan apa yang sudah terjadi. Dengan napas berat, ia mencoba menenangkan Bayu. “Bay, gue tahu lo pengen nolongin gue, tapi… dari mana lo dapet uang sebanyak ini?”
Bayu terdiam sejenak, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Boni dengan tatapan yang berbeda, seakan baru saja mengambil keputusan besar.
“Gue nggak pernah kasih tahu lo ini karena nggak pengen lo memperlakukan gue berbeda,” ucapnya pelan. “Tapi Bon… gue dari kalangan cukup berada.”
Boni mengerutkan kening. “Apa?”
“Bokap gue punya perusahaan. Gue ninggalin semua itu karena… gue pengen hidup dengan cara gue sendiri. Tapi sekarang, gue sadar ada hal yang lebih penting daripada ego pribadi gue,” Bayu melanjutkan. “Gue punya sumber daya buat balikin rumah lo, dan gue nggak bakal biarin lo nolak.”
Boni hanya bisa menatapnya dengan mata membulat. Seumur hidupnya, ia tidak pernah membayangkan bahwa Bayu, sahabat yang selama ini tinggal bersamanya di rumah sederhana itu, ternyata berasal dari keluarga kaya.
“Tapi… lo nggak pernah—”
“Gue nggak mau ngomongin ini dulu.” Bayu tersenyum tipis. “Tapi sekarang, gue pengen lo terima bantuan gue, Bon. Gue nggak bisa ngubah masa lalu, tapi gue bisa perbaiki ini.”
Boni terdiam, hatinya bergemuruh.
Bayu kemudian menepuk bahu Boni dengan lembut, lalu berbalik menuju loket pegadaian. “Sekarang, ayo kita tebus rumah itu.”
Boni masih tak percaya, tapi saat melihat Bayu berbicara dengan petugas pegadaian dengan keyakinan penuh, ia merasa… lega.
Mungkin, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak perlu menghadapi semuanya sendirian lagi.
Batin Boni bergetar. Semua yang pernah ia lakukan untuk Bayu, semua pengorbanan yang tak terhitung, tidak terasa sia-sia. Ia telah menyerahkan banyak hal, bahkan ketika orang-orang di sekitarnya menganggapnya bodoh karena terlalu banyak berkorban untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah membalasnya dengan setimpal. Tapi kini, melihat Bayu berdiri di sana, memperjuangkan sesuatu yang berarti untuknya… Boni merasa benar.
Bayu memang pantas.
Ia selalu pantas.
Setelah urusan di pegadaian selesai, mereka kembali ke rumah Boni. Rumah yang kini kembali menjadi milik sahabatnya itu terasa berbeda di mata Bayu—lebih sepi, lebih kosong, seakan menyimpan jejak luka dari perjuangan yang Boni lalui sendirian.
Boni menurunkan tubuhnya perlahan ke sofa dengan bantuan kruknya, menghembuskan napas panjang seakan baru menyadari betapa lelahnya ia setelah semua yang terjadi hari ini.
Bayu berdiri di dekat jendela, menatap ke luar sejenak sebelum akhirnya bertanya dengan nada hati-hati, “Bon… gimana kabar Laras?”
Boni, yang sedang melepas salah satu sandalnya, terdiam beberapa detik sebelum mendongak dan menatap Bayu. Ada keraguan di matanya, tapi akhirnya ia menghela napas dan tersenyum miris. “Gue… nyembunyiin kondisi gue darinya.”
Bayu mengerutkan kening. “Apa maksud lo?”
“Kami sempat chatting beberapa kali.” Boni mengangkat bahu, berusaha terdengar santai meskipun jelas ada beban di suaranya. “Gue bilang gue baik-baik aja. Gue nggak kasih tahu soal kecelakaan, soal rumah ini… bahkan soal gue kehabisan uang.” Ia tertawa kecil, tapi terdengar getir. “Laras pikir gue masih kerja seperti biasa.”
Bayu menghela napas dalam, menatap sahabatnya dengan ekspresi penuh perasaan. “Kenapa lo nggak bilang, Bon? Laras pasti pengen tahu.”
Boni menatap lurus ke depan, lalu menjawab dengan suara pelan, “Karena dia juga sedang berjuang, Bay.”
Bayu mengernyit. “Maksud lo?”
Boni akhirnya menoleh, dan kali ini ada sorot sedih di matanya. “Dia bilang dia baik-baik saja, tapi gue tahu dia hanya berusaha buat gue nggak khawatir. Dia sedang ngumpulin uang buat nyari lo ke luar negeri.”
Bayu tertegun. Sesuatu dalam dadanya terasa mencengkeram erat. Laras… berusaha mencarinya?
“Dia benar-benar pengen nemuin gue…” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Boni mengangguk. “Iya. Dan karena itu, gue nggak bisa nambah beban dia dengan semua masalah gue.”
Hening sejenak. Hanya suara angin yang berembus melewati celah jendela, membawa serta kesedihan yang tidak terucapkan di antara mereka.
Bayu mengepalkan tangannya, menatap lantai dengan rahang mengeras. “Gue nggak tahu kalau dia sampai seperti ini, Bon… Gue…”
Boni tersenyum kecil. “Ya, lo memang nggak tahu. Karena lo koma dan tiba-tiba menghilang.”
Bayu menutup mata sesaat, mencoba meredam perasaan bersalah yang semakin menyesakkan dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin meminta maaf, tapi ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah memperbaiki semuanya.
“Gue harus ketemu Laras,” kata Bayu akhirnya, suaranya mantap.
Boni menatapnya lama, lalu mengangguk. “Ya. Gue pikir lo memang harus. Dia pasti seneng banget kalau lihat lo udah sehat lagi.”
Bayu mengembuskan napas perlahan. Sekarang, setelah sekian lama, ia akhirnya tahu apa yang harus ia lakukan.
Dan itu dimulai dengan menemui Laras.
***
Bayu berdiri di dekat gerbang gedung tempat Laras bekerja, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tubuhnya tegak, tapi hatinya berdebar tak menentu. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Laras saat melihatnya. Apakah Laras akan senang? Marah? Atau malah menangis?
Beberapa orang yang lewat meliriknya, beberapa bahkan saling berbisik sambil sesekali menatapnya. Bayu bisa merasakan tatapan itu—campuran keterkejutan dan sesuatu yang sulit diartikan. Namun, ia tidak peduli.
Saat ini, hanya satu hal yang ia inginkan: bertemu Laras.
Ia melihat para karyawan mulai keluar dari gedung satu per satu. Matanya tajam, mencari sosok yang begitu ia rindukan. Namun, hingga beberapa menit berlalu, Laras belum juga muncul.
Tepat saat Bayu hendak mengambil ponselnya, seseorang keluar dari gedung. Desi.
Bayu segera mengenalinya sebagai teman sekantor Laras. Begitu pandangan mereka bertemu, Desi terlihat terkejut. Matanya membesar, menatap Bayu dari atas ke bawah seolah tidak percaya dengan perubahan penampilannya. Bayu memang berbeda sekarang—dengan blazer mahal dan gaya yang lebih berkelas, sangat jauh dari pria yang dulu hanya mengenakan kaus polos dan celana jeans biasa.
Tapi Bayu tidak punya waktu untuk menjelaskan atau menjawab rasa penasaran Desi. Ia melangkah mendekat.
“Desi,” suaranya tenang, tapi penuh ketegangan. “Di mana Laras?”
Desi terdiam sejenak. Tadi ia masih kaget melihat perubahan Bayu, tapi kini keterkejutannya berubah menjadi sesuatu yang lain. Wajahnya terlihat ragu, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.
Bayu melihat ekspresi itu. Dadanya tiba-tiba terasa sesak.
“Ada apa?” tanyanya, suaranya sedikit lebih tegas.
Desi menelan ludah, menundukkan kepala sebentar, lalu menatap Bayu lagi. Ada rasa bersalah di matanya.
“Bayu…” Desi menghela napas, sebelum akhirnya berkata, “Besok Laras menikah.”
...🍁💦🍁...
.
To be continued