Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Politik Cerdas
Malik.
Nama itu seharusnya tidak ada di sini. Dia adalah variabel liar, yang tidak boleh terlibat, apalagi terseret ke dalam kekacauan ini.
“Seseorang mendengar semuanya, dan Pangeran Malik…,” Tariq terengah, wajahnya pucat pasi. “Kita harus pergi, Sayyidah. Sebelum orang yang kita cintai menjadi saksi di persidangan rahasia ini.”
“Pangeran Malik…” Tariq menelan ludah, matanya menyiratkan horor. “Saya melihatnya dua hari lalu di taman, berbicara dengan penjaga fraksi Permaisuri. Sedang apa dia di lorong mati ini? Menguntit Anda?”
Yasmeen tidak menjawab. Jemarinya mencengkeram jurnal kulit milik mendiang Jenderal Samir begitu erat hingga buku jarinya memutih. Di sampulnya, lambang Burung Kuntul Emas—simbol terlarang Faksi Al-Jinn—terasa membakar kulitnya.
Ingatan masa lalu menghantamnya tanpa ampun. Dulu, di tepi sumur gurun, dia dan Malik pernah mengucap janji setia. Manis, lugu, dan penuh harapan. Tapi sekarang? Kenangan itu berbenturan keras dengan realitas dingin yang mencekik lehernya.
Aku sudah bersikap jahat padanya di taman. Aku sengaja membuatnya membenciku, batin Yasmeen, perih. Kenapa dia masih mengikutiku? Apa kebenciannya belum cukup? Atau… dia sebenarnya tidak pernah membenciku?
Pikiran itu justru membuatnya makin takut. Jika Malik masih peduli, dan dia tahu Yasmeen bermain api dengan Emir Harith untuk menggulingkan kekaisaran, Malik akan hancur. Dia akan jadi korban pertama dalam perang ini.
“Singkirkan itu, Khalī,” perintah Yasmeen. Suaranya rendah, tapi tajam seperti sabetan pedang. Ia menunjuk bunga mawar hitam yang tergeletak di sana—jejak yang ditinggalkan Malik. Bunga yang indah, tapi membawa pesan kematian. “Bakar bunganya. Musnahkan pita itu. Sekarang.”
Tariq tidak membantah. Dengan gerakan cekatan, dia menyambar mawar itu, membungkusnya dengan kain berdebu, lalu menyulutnya dengan api lentera.
Wusss.
Dalam hitungan detik, api melahap sutra hitam itu. Aroma hangus bercampur rempah memenuhi ruangan, menutupi bau amis racun tua.
“Lalu bagaimana dengan arsipnya, Sayyidah? Koordinat milisi Timur?” desak Tariq, mata elangnya waspada memindai pintu, takut ada bayangan lain yang mengintip.
Yasmeen menepuk dadanya, tempat dokumen rahasia Samir tersimpan aman di balik bajunya. “Perkamen ini aman,” ujarnya dingin. “Aku akan memberikannya pada Harith. Kita akan menuding Wazir Agung sebagai dalang yang memakai Dana Krisis untuk memicu perang. Itu sudah cukup untuk memuaskan Harith.”
“Tapi Al-Jinn, Sayyidah?” Tariq mendekat, suaranya berbisik ngeri. “Bukankah lambang itu kuncinya? Faksi Al-Jinn adalah kekuatan terbesar setelah Kekaisaran.”
Yasmeen menggeleng tegas. Dia menatap jurnal di tangannya sekali lagi. Jika Harith tahu soal ini, pria gila itu akan menyandera negerinya, Nayyirah, hanya untuk memeras informasi tentang Al-Jinn. Harith mungkin sekutunya hari ini, tapi Faksi Al-Jinn adalah alasan kenapa Harith mati di kehidupan sebelumnya.
Ini kartu As-nya. Dan kartu As tidak dikeluarkan di awal permainan.
“Al-Jinn tidak ada dalam menu malam ini, Tariq. Harith cuma butuh kambing hitam atas kematian jenderalnya,” jelas Yasmeen, beralih mengambil buku Panduan Regulasi. “Kita simpan jurnal ini dan data dana gelap itu. Biar Wazir Agung jatuh karena pengkhianatan militer, bukan finansial.”
Tariq mengerutkan kening. “Menyembunyikan bukti dari Singa Gurun? Jika Harith sadar kita main belakang, kepala kita taruhannya.”
“Itu risiko yang sepadan. Jika Harith tahu ibunya sendiri—Permaisuri Hazarah—memakai Dana Tak Terdaftar, dia akan sibuk perang birokrasi, bukan perang di perbatasan,” Yasmeen mendesah lelah. Matanya berkilat licik. “Aku ingin dia menghukum Wazir Agung. Sisanya? Itu urusan nanti.”
Dia meremas jurnal Samir. Ini adalah tiket masa depannya.
“Bungkus semua. Hilangkan jejakmu. Kita bertemu tengah malam nanti,” perintah Yasmeen mutlak. “Aku harus kembali ke Sayap Timur. Ada surat cinta berisi laporan palsu yang harus kutulis untuk Harith.”
Pagi datang terlalu cepat. Dingin dan menusuk.
Yasmeen tidak tidur sedetik pun. Matanya sembap, tapi otaknya bekerja secepat kilat. Dia menyusun narasi sempurna: “Wazir Agung membunuh Jenderal Samir karena intelijen, dan dia mendanai musuh pakai uang krisis. Semua tanpa sepengetahuan Anda, Yang Mulia.”
Bersih. Rapi. Dan mematikan.
Tentu saja, dia sengaja menghilangkan nama Permaisuri Hazarah. Menuduh ibunda Emir sama saja bunuh diri konyol.
Saat fajar menyingsing, Tariq muncul di pintu Sayap Timur. Wajahnya kusut seperti baru keluar dari badai pasir, tapi ada kepuasan di matanya.
“Sudah dikirim ke istana, Sayyidah,” bisik Tariq, melirik pelayan Umm Shalimah yang berdiri kaku seperti patung. “Tepat waktu.”
Yasmeen meletakkan pena bulunya. “Bagus. Sekarang, siapkan mentalmu. Harith pasti akan memanggil kita.”
Benar saja. Lima menit kemudian, bukan pelayan yang datang membawa sarapan, melainkan derap langkah berat sepatu bot kulit.
Pengawal Pribadi Emir.
Seorang kapten bertubuh raksasa dengan wajah datar membungkuk kaku di ambang pintu.
“Sayyidah Yasmeen. Emir Harith Al-Qaim telah membaca laporan Anda. Beliau memerintahkan Anda menghadap ke ruang kerjanya. Sekarang.” Tatapan kapten itu menajam. “Sendirian.”
Tariq langsung pasang badan, tangannya reflek meraba hulu pedang. “Emir Harith, Sayyidah adalah tamu kehormatan dan masih di bawah umur! Saya Pengawal Kepercayaan Nayyirah, saya wajib mendampinginya.”
Kapten itu bahkan tidak berkedip. “Perintah Emir mutlak. Hanya Sayyidah. Jika kau memaksa, itu dianggap pengkhianatan.”
Suasana menegang. Yasmeen menyentuh lengan Tariq yang kaku. Dia tahu ini ujian. Harith sedang mengetes nyalinya.
“Tidak apa-apa, Khalī,” bisik Yasmeen. Sorot matanya tenang, kontras dengan jantungnya yang berdegup gila-gilaan. “Aku bisa mengatasinya.”
Yasmeen melangkah keluar, meninggalkan Tariq yang gemetar menahan amarah.
Perjalanan menuju menara utara terasa seperti berjalan menuju tiang gantungan. Ini bukan ruang audiensi umum, ini ruang kerja pribadi Harith. Wilayah kekuasaan sang predator.
Pintu jati raksasa itu terbuka.
Aroma kertas baru dan wangi musk yang maskulin langsung menyergap hidung Yasmeen. Di sana, berdiri di depan peta raksasa, sosok remaja tinggi berjubah hitam pekat itu membelakanginya.
Harith Al-Qaim.
“Kau datang,” suaranya berat, rendah, dan dingin seperti baja. Dia tidak berbalik.
“Hamba menghadap, Yang Mulia,” jawab Yasmeen, melakukan curtsy kaku yang sudah dilatihnya ribuan kali.
Harith berbalik perlahan. Ekspresinya datar, sulit dibaca. Tapi mata cokelat gelapnya… mata itu menatap Yasmeen seolah ingin menelanjangi jiwanya.
Di tangan kanannya, dia memegang laporan Yasmeen. Tapi tangan kirinya…
Napas Yasmeen tercekat. Jantungnya berhenti berdetak.
Di tangan kiri Harith, tergenggam setangkai mawar hitam dengan pita sutra merah anggur.
Itu… mawar Malik.
Bagaimana bisa?! Tariq sudah membakarnya! Apa ini jebakan?! Apa dia tahu?!
“Laporanmu sangat… informatif, Sayyidah Nayyirah,” ujar Harith. Nadanya halus, terlalu halus hingga terdengar berbahaya. “Kau berhasil. Kau mengungkap pengkhianat di balik racun itu.”
Harith melangkah maju. Satu langkah. Dua langkah. Mengikis jarak hingga aura dominasinya membuat Yasmeen ingin mundur.
Pluk.
Ia menjatuhkan mawar hitam itu ke lantai, tepat di depan sepatu Yasmeen.
“Kau memang lebih pintar dari deskripsi Ayahmu. Aku harus memberimu hadiah.” Harith menyeringai tipis. Senyum yang bukan tanda keramahan, melainkan tanda dia menemukan mainan baru yang menarik. “Wazir Agung akan diadili. Dan kau… selamat dari pernikahan denganku. Untuk sementara.”
Yasmeen menghembuskan napas lega, tapi instingnya berteriak bahaya. Harith tidak pernah sebaik ini tanpa alasan.
“Tapi, aku punya tugas baru untukmu, Emirah Kecil,” lanjut Harith. Matanya turun menatap mawar di lantai, lalu kembali menatap mata Yasmeen dengan tatapan tajam. “Pangeran Malik… dia aset yang menarik. Tapi dia keras kepala. Dia pikir dia bisa melindungimu dengan main kucing-kucingan di istanaku.”
Darah Yasmeen membeku. Dia tahu. Dia tahu Malik ada di sini.
Harith mencondongkan tubuhnya, berbisik tepat di telinga Yasmeen. Napas hangatnya membuat bulu kuduk Yasmeen meremang. “Aku harus menyingkirkan dia dari papan catur ini, Sayyidah. Dia beban yang bisa merusak rencanaku… dan rencanamu.”
Harith menegakkan tubuh, lalu mengambil gulungan perkamen baru dari mejanya. Dia menyodorkannya pada Yasmeen dengan gerakan santai namun memaksa.
“Hadiahmu adalah kebebasan sementara. Tapi bayarannya…”
Tangan Yasmeen gemetar saat menerima gulungan itu. Lambang Sultan tercetak jelas di sana. Surat Keputusan Kekaisaran.
Saat ia membukanya, dunia seakan runtuh menimpanya.
“Pangeran Malik butuh istri yang kuat demi stabilitas politik. Jadi, aku sudah mengatur masa depannya,” suara Harith terdengar kejam, menikmati setiap detik ketakutan di wajah Yasmeen. “Kau akan tetap di sini bersamaku, mengurus krisis Wazir Agung. Sementara Malik… akan segera dinikahkan dengan…”
Mata Yasmeen terpaku pada satu nama di atas kertas itu. Napasnya sesak. Mual menyerang perutnya.
Itu nama wanita itu. Wanita yang di kehidupan lalu adalah selir favorit Harith, wanita ular yang menjadi Permaisuri dan menghancurkan hidup Yasmeen.
“Kau… kau tidak bisa melakukan ini,” bisik Yasmeen, suaranya pecah. “Kau tidak boleh menikahkan Malik dengan Sayyidah Ruqayyah Al-Khasr! Itu gila!”
Harith tertawa kecil. Tawa tanpa rasa humor.
“Itu politik cerdas, Sayyidah,” potongnya dingin. Dia mencengkeram dagu Yasmeen, memaksanya mendongak. “Sebentar lagi, kau akan duduk di barisan depan, menyaksikan pesta pertunangan cinta masa lalumu dengan wanita lain.”
Mata Harith berkilat kejam.
“Jangan coba-coba menghentikannya, Sayyidah. Atau Nayyirah yang akan kubakar sampai jadi abu.”