Rika Nurbaya adalah seorang guru honorer yang mendapat perlakuan tak mengenakan dari rekan sesama guru di sekolahnya. Ditengah huru-hara yang memuncak dengan rekan sesama guru yang tak suka dengan kehadirannya, Rika juga harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya, Ramdhan memilih wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Hati Rika hancur, pernikahannya yang sudah berjalan selama 4 tahun hancur begitu saja ditambah sikap ibu mertuanya yang selalu menghinanya. Rika pun pergi akan tetapi ia akan membuktikan bahwa Ramdhan telah salah meninggalkannya dan memilih wanita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir Kisah
Satu tahun telah berlalu sejak panggilan telepon yang dipenuhi air mata dan penyesalan. Satu tahun adalah waktu yang cukup untuk menyembuhkan luka dan mengubah takdir. Bagi Ibu Cahya, tahun itu adalah tahun introspeksi dan pertobatan. Sejak insiden di depan SMA Bina Cendekia dan pengakuan jujurnya pada Rika, ia perlahan melepaskan belenggu kebencian yang telah lama mengikatnya.
Di rumahnya, yang kini terasa semakin sunyi, Bu Cahya duduk di sofa, menatap Ramdhan yang duduk di seberangnya dengan wajah lelah dan lesu. Milea tidak ada. Ia sedang dalam perjalanan bisnis yang tak berujung, menjauhkan diri dari Ramdhan.
“Ramdhan,” panggil Bu Cahya, suaranya tenang, tanpa ada desakan atau tuntutan. “Ibu sudah bicara dengan Milea. Dia sudah memutuskan.”
Ramdhan menghela napas panjang. “Dia ingin bercerai, Bu. Dia bilang, kami tidak pernah bisa menjadi pasangan. Kami hanya rekan kerja yang tinggal serumah.”
Bu Cahya mengangguk pelan. Tidak ada lagi rasa marah atau menyalahkan Milea di hatinya. Ia tahu, pernikahan itu gagal bukan karena Milea kurang kaya, melainkan karena fondasinya yang cacat—dibangun di atas keserakahan dan kebenciannya sendiri.
“Ibu mengerti, Nak. Ramdhan, dengarkan Ibu,” kata Cahya, mendekati putranya. “Dulu, Ibu menyalahkan Rika. Ibu menyalahkan Milea. Tapi sekarang, Ibu tahu. Yang salah adalah Ibu.”
Ramdhan mendongak, terkejut mendengar pengakuan tulus dari ibunya.
“Pernikahanmu dengan Rika gagal karena Ibu memaksakan kehendak dan kebencian. Pernikahanmu dengan Milea gagal karena Ibu memaksakan kekayaan. Kamu tidak bahagia, Nak. Dan Ibu menyesal sudah merusak hidupmu,” bisik Cahya, matanya berkaca-kaca, namun tidak ada isakan.
“Ceraikan Milea, Nak. Jangan takut. Ramdhan, kamu berhak bahagia. Carilah wanita yang mencintaimu apa adanya, bukan yang Ibu pilihkan.”
Ramdhan memeluk ibunya. Pelukan itu terasa tulus, pelukan antara dua jiwa yang kini sama-sama tersakiti, namun tengah memulai proses pemulihan. Cahya telah belajar. Ia telah membayar mahal atas kesalahannya, dan kini ia rela melepaskan kendali atas hidup putranya.
****
Sementara drama perpisahan Ramdhan usai dengan damai, Rika Nurbaya justru menemukan cinta. Selama satu tahun penuh, Arya Dewandaru menepati janjinya. Ia menunggu. Ia tidak mendesak. Ia hanya menjadi teman, rekan kerja, dan pendukung yang setia, tanpa pernah sekalipun melewati batas yang telah Rika tetapkan.
Arya menyaksikan Rika berkembang di Bina Cendekia, melihatnya menjadi guru yang semakin bersemangat dan dihormati. Ia menyaksikan Rika menghadapi kesulitan kecil dengan senyum dan profesionalisme. Rika tahu, Arya telah melihatnya dari masa terendah hingga masa terbaiknya, dan cintanya tidak berubah.
Malam itu, Rika dan Arya makan malam di kafe yang sama, tempat Arya pertama kali mengungkapkan perasaannya. Suasana terasa intim dan tenang.
“Program Model United Nations sudah sukses, Rika. Anggaran beasiswa tahun depan sudah disetujui. Kamu sudah mencapai semua target yang kamu tetapkan,” ujar Arya, tersenyum bangga.
Rika tersenyum balik. “Iya, Pak Arya. Saya merasa sangat puas. Saya sudah membuktikan pada diri saya sendiri bahwa saya bisa mandiri.”
Rika meletakkan garpu. Ia menatap Arya, tatapan yang kini penuh keyakinan dan kemantapan hati.
“Pak Arya,” Rika memulai, suaranya pelan dan mantap. “Saya sudah mengambil waktu. Saya sudah menyembuhkan hati saya. Dan yang paling penting, saya sudah menemukan jati diri saya, lepas dari semua bayangan masa lalu.”
“Saya tidak lagi takut, Pak Arya. Saya tidak lagi mencari pelindung, saya tidak lagi mencari jalan pintas. Saya mencari pasangan hidup.”
Air mata Rika mengalir, bukan air mata sedih, melainkan air mata kebahagiaan yang tertunda.
“Saya sudah mencintai diri saya sendiri, Pak Arya. Dan sekarang, saya rasa… saya siap untuk mencintai orang lain,” Rika mencondongkan tubuhnya ke depan. “Saya mencintai Bapak. Terima kasih sudah menunggu saya.”
Senyum Arya merekah, senyum kemenangan yang paling tulus dan damai. Ia meraih tangan Rika, menggenggamnya erat.
“Aku sudah menunggu setahun, Rika. Aku bisa menunggu seribu tahun lagi, jika itu demi kamu,” bisik Arya. “Aku janji, Rika. Aku tidak akan pernah mengecewakan integritas yang kamu pegang teguh.”
Rika tahu, ia telah membuat keputusan yang benar. Cinta Arya adalah hadiah dari hasil perjuangan panjangnya. Ia membuka hatinya, dan cinta itu akan menjadi fondasi kehidupan barunya.
****
Sementara Rika menapaki kebahagiaannya, di rumah sakit, akhir kisah Bu Rosba datang dengan ironi yang menyakitkan.
Kondisi Rosba memburuk drastis. Serangan stroke kedua menghantamnya, membuat organ vitalnya menyerah. Pak Zakaria duduk di sisinya, tak henti-hentinya membimbingnya.
“Bu, ayo kita bertaubat. Lepaskan semua kebencian. Maafkan Rika. Maafkan semua orang. Agar Ibu bisa pergi dengan tenang,” bisik Pak Zakaria, air matanya membasahi tangan istrinya.
Rosba menatap suaminya. Tatapan matanya masih keras, penuh penolakan. Sampai detik terakhir, ia menolak mengakui kesalahannya, menolak memaafkan Rika. Ia berjuang untuk mengeluarkan suara, untuk menggerakkan tangannya, bukan untuk bertaubat, melainkan untuk melontarkan sumpah serapah terakhirnya.
Namun, ajal lebih dulu menjemput.
Rosba mengembuskan napas terakhirnya di ranjang rumah sakit, lumpuh dan bisu, membawa serta seluruh kebencian dan dendamnya kepada Rika Nurbaya. Ia pergi dalam kesendirian jiwa yang tragis, sebagai peringatan pahit bahwa kebencian hanya merusak pemiliknya sendiri.
Rika Nurbaya, yang dulu dihina dan dipecat, kini berdiri tegak, bersinar sebagai guru yang berintegritas dan calon istri dari pria yang tulus. Bu Cahya, telah memulai pemulihan jiwanya. Dan Bu Rosba, telah menutup kisahnya dengan tragis. Semua mendapatkan akhir sesuai dengan benih yang mereka tanam.
T A M A T