 
                            Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Beberapa hari berlalu, dan semuanya kembali normal. Tentang ciuman itu, tidak ada kelanjutannya lagi.
“Edwin, soal penyakit anakku… tidak ada cara lain untuk menyembuhkannya?” tanya Cherry di telepon.
“Ada sih, tapi kata Trevor, operasinya sebaiknya dilakukan kalau Arnold sudah cukup kuat. Soalnya, operasi itu sangat berisiko,” jawab Edwin.
“Pasti kamu sempat disakiti Trevor waktu dia tahu anaknya sakit, dan itu karena aku,” ujar Cherry pelan.
“Iya, dia sempat menembakku waktu itu. Tapi karena aku ini seperti rumput liar, aku berhasil menghindar semuanya,” Edwin terkekeh kecil.
“Tapi menurutku, bukan karena hal itu dia marah. Aku tahu aku gagal mencari ibu pengganti yang benar-benar sehat untuknya. Tapi kalau dia marah soal itu, aku mungkin sudah mati dari dulu. Jadi kupikir, waktu itu dia cuma melampiaskan kemarahannya pada dirinya sendiri lewat aku. Lagipula aku bukan cuma pengacaranya, tapi juga jadi karung tinju hidupnya.”
“Maaf, Edwin. Aku waktu itu bohong… bilang aku nggak punya penyakit. Aku cuma--” Cherry terdiam sesaat, suaranya bergetar. “Aku benar-benar butuh uang.”
“Sebenarnya, hari surrogacy-mu itu aku sudah berniat membawamu ke dokter dulu, buat memastikan kamu benar-benar sehat. Aku juga punya firasat kamu nggak jujur soal itu,” ujar Edwin jujur. “Tapi Trevor langsung membawamu tanpa pemeriksaan apa pun. Aku baru tahu belakangan kalau kamu sudah hamil. Jadi ya, aku cuma bisa mengikuti arus.”
“Tapi waktu itu aku nggak lihat kamu. Bukan kamu yang mempekerjakanku,” kata Cherry heran.
“Aku sibuk waktu itu, jadi aku nyuruh anak buahku yang urus,” jawab Edwin santai.
“Tapi kenapa aku yang dipilih? Bukannya pasti ada banyak kandidat lain?” tanya Cherry penasaran.
Edwin terdiam sejenak. “Sejujurnya, Cherry… aku tertarik sama kamu waktu pertama kali lihat fotomu. Makanya aku pilih kamu, awalnya buat diriku sendiri. Tapi Trevor ikut campur, jadi aku ngalah.”
“Mama, ayo main!” suara Arnold memotong pembicaraan.
“Ah, Edwin, aku tutup dulu ya. Anakku udah manggil,” kata Cherry cepat.
“Oke, bye,” balas Edwin.
Cherry menutup telepon dan menoleh pada Arnold.
“Papa udah di ruang tamu?”
“Iya, tinggal Mama yang kami tunggu,” jawab Arnold riang.
Mereka pun berjalan menuju ruang tamu.
“Kamu tadi telepon siapa?” tanya Trevor begitu melihatnya.
“Edwin,” jawab Cherry singkat.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“Aku cuma mau nanya sesuatu,” jawab Cherry.
Trevor menatapnya tajam. “Apa aku nggak tahu jawabannya, sampai kamu harus tanya dia?”
“Maaf, nggak akan terulang lagi. Nanti aku tanya kamu dulu,” ujar Cherry lembut.
“Ayo mulai! Jangan bertengkar terus,” sela Arnold cepat.
“Kami nggak bertengkar, Nak,” kata Trevor sambil tersenyum kecil.
Cherry mengambil kartu. “Ayo, ambil kartumu.”
Mereka bermain kartu batu-gunting-kertas. Siapa yang kalah, harus memilih truth atau dare.
“Hitungan ketiga, tunjukkan kartumu. Satu… dua… tiga!” seru Arnold.
Cherry membuka kartunya dan mengeluh, “Aduh, permainan pertama aku kalah.”
“Nggak apa-apa, Mama. Nanti Mama bisa balas,” kata Arnold menyemangati.
“Oke, aku pilih dare. Apa hukumanku?” tanya Cherry.
“Mama harus peluk Papa lima detik, yang erat ya,” kata Arnold polos.
Cherry mendekat dan memeluk Trevor erat-erat.
Bahkan dua puluh empat jam juga aku mau, Nak. Tapi tentu saja aku cuma bercanda. Aku bisa ditelan bumi kalau beneran.
“Oke, selesai,” katanya cepat sambil menjauh. “Selanjutnya!”
Putaran berikutnya, Arnold yang kalah. Ia memilih truth, dan Cherry berpikir sejenak.
“Siapa yang paling kamu sayang?” tanya Trevor tiba-tiba, membuat Cherry terkejut.
“Kamu menyakiti dirimu sendiri, Trevor,” ucap Cherry sambil tersenyum miring.
“Pertanyaannya susah banget, Pa. Aku sayang kalian berdua,” jawab Arnold polos.
“Kamu harus pilih satu,” desak Trevor.
“Papa, maaf… tapi yang paling aku sayang Mama,” ujar Arnold mantap.
“Nggak apa-apa,” jawab Trevor datar.
“Aku juga sayang kamu, Sayang,” Cherry langsung memeluk Arnold dengan lembut.
Di permainan ketiga, giliran Trevor yang kalah. Ia memilih truth. Sebelum Cherry sempat bicara, Arnold sudah mendahului.
“Papa, Papa mau kasih aku adik?” tanyanya tiba-tiba. Cherry langsung melotot.
Seharusnya aku yang nanya itu. Aku malah kebanyakan mikir.
“Tentu saja,” jawab Trevor santai.
Apa maksudnya? Apa dia mau menyuruhku pergi dan mencari wanita lain untuk memberinya anak baru? Atau mungkin dia sudah menemukan orang yang dia cintai?
“Kapan?” tanya Arnold penasaran.
“Segera,” jawab Trevor singkat.
“Mama nggak apa-apa? Ayo lanjut main,” kata Arnold.
Cherry hanya mengangguk.
“Sekarang giliranku lagi. Aku pilih truth,” kata Cherry.
Trevor menatapnya datar. “Adrian itu… dia bilang dia suka kamu, kan?”
“Huh?” Cherry kaget.
“Hari itu, setelah wisudamu,” jelas Trevor.
Jadi dia benar-benar lihat. Dia lihat Adrian mencium pipiku sebelum pergi.
“Dia nggak bilang begitu,” jawab Cherry pelan.
“Tapi dia menciummu,” ucap Trevor datar.
“Cuma di pipi,” elaknya cepat.
“Cuma? Tapi tetap aja dia menciummu,” balas Trevor.
“Benarkah, Mama? Om Adrian benar-benar cium pipi Mama?” tanya Arnold polos.
“Itu bukan masalah besar, Sayang. Cuma di pipi kok,” jawab Cherry menenangkan.
“Jadi Om Adrian bilang dia suka Mama?” tanya Arnold lagi.
“Tidak. Aku juga bingung sama ucapannya. Tapi yang kuingat, dia bilang dia belum siap ngomong karena masih gugup. Katanya nanti aja kalau udah siap. Aku nggak tahu maksudnya apa,” jelas Cherry jujur.
“Ini berbahaya, Pa. Sepertinya Om Adrian benar-benar suka Mama, kayak di mimpiku,” kata Arnold serius.
“Sayang, jangan bikin kesimpulan sendiri. Yuk lanjut main,” ajak Cherry cepat.
“Papa, kamu yang kalah. Truth atau dare?” tanya Arnold.
“Dare,” jawab Trevor.
“Karena Om Adrian udah cium pipi Mama, Papa juga harus cium Mama. Tapi harus lebih dari Om Adrian, Papa cium Mama di bibir!” kata Arnold polos tapi sukses bikin Cherry terkejut.
“Sayang!” seru Cherry refleks.
“Mama, Papa cuma balas dendam,” kata Arnold sambil tertawa kecil.
“Itu udah lama, Sayang. Lupakan, ya?” Cherry mencoba meredakan.
Tadi aku baru bilang ciuman kami nggak berlanjut, dan sekarang? Kenapa semua yang kukatakan malah jadi kenyataan?
“Tapi Mama bilang harus adil. Jadi harus adil juga antara Om Adrian dan Papa,” ujar Arnold yakin.
“Tapi kan cuma di pipi, Sayang,” Cherry protes.
“Nggak ada tapi-tapian!” jawab Arnold.
Cherry hendak bicara lagi, tapi Trevor tiba-tiba menutup mata Arnold dengan tangannya dan mendekat padanya.
Trevor memegang tengkuk Cherry, menariknya hingga bibir mereka bersentuhan. Mata Cherry langsung membesar. Trevor mulai menggerakkan bibirnya, perlahan tapi pasti, menghisap lembut bibir Cherry. Ia tak sempat berpikir. Tubuhnya kaku, tapi saat Trevor semakin dalam mencium, rasa itu membuatnya kehilangan kendali. Cherry menutup mata, membiarkan dirinya larut dalam ciuman itu hangat, lembut, dan memabukkan.
Ketika Trevor berhenti, Cherry membuka matanya. Tatapan Trevor menembus, seolah berusaha membaca isi pikirannya.
“Sudah selesai?” suara Arnold terdengar.
Astaga, iya. Arnold ada di sini! Aku benar-benar lupa. Kami baru saja berciuman… di depan anak kami sendiri. Kami orang tua macam apa?
Trevor melepas tangannya dari mata Arnold.
“Maaf, lama,” katanya santai.
“Nggak apa-apa. Kata Paman Edwin, kalau Mama dan Papa sering berciuman, aku bakal punya adik cepat-cepat,” kata Arnold polos.
Bagus. Jadi Edwin memang ngajarin semua hal canggung ini ke anakku.
“Ayo, satu putaran terakhir ya. Udah hampir jam tujuh, kamu harus tidur,” ajak Cherry cepat.
“Oke, Mama,” jawab Arnold semangat.
Mereka menunjukkan kartu masing-masing. Cherry dan Trevor sama-sama kertas, sementara Arnold batu. Arnold kalah. Ia memilih dare.
“Boleh Mama cubit pipimu, tapi kamu nggak boleh nangis?” tanya Cherry.
“Oke, Mama,” jawab Arnold.
Cherry mencubit pipinya dengan gemas.
“Anak Mama lucu banget. Mama cium ya!” katanya sambil mencium pipi Arnold berkali-kali.
“Cukup, Mama,” protes Arnold sambil tertawa.
“Oke, ayo naik. Waktunya tidur,” ujar Cherry.
“Sini, Nak,” kata Trevor sambil mengangkat Arnold.
“Papa, aku berat nggak?” tanya Arnold.
“Nggak,” jawab Trevor.
“Kalau Mama?” tanya Arnold polos.
“Kalian berdua nggak berat,” jawab Trevor.
“Kalau aku besar nanti, aku mau punya otot kayak Papa,” kata Arnold kagum.
“Kalau gitu, kita olahraga bareng tiap hari,” ajak Trevor.
“Tapi pelan-pelan aja, ya. Kamu masih tujuh tahun, jangan sampai kecapekan,” kata Cherry lembut.
“Oke, Mama,” jawab Arnold sambil tersenyum.
 
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                    