"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Rumah Sakit
Jessy turun dari taksi yang dinaiki di depan rumah sakit tempat Nino dirawat. Ia membawa sekeranjang buah yang sempat dibelinya di jalan. Dengan senyuman ia melangkah memasuki lobi rumah sakit.
Senyuman yang terukir di wajahnya tak bertahan lama ketika ia berpapasan dengan Rindi. Seperti biasa, sikap wanita itu selalu sinis kepadanya. Pertemuan mereka sepertinya membuat wanita itu kesal.
"Kemana saja kamu? Setelah sekian lama akhirnya kelihatan juga," kata Rindi.
Meskipun satu kampus, mereka jarang bertemu karena beda fakultas. Bahkan tidak ada alasan keduanya untuk saling bertegur sapa jika bertemu.
Rindi membawa buah yang ada di tangan Jessy. "Kamu membawa buah-buahan itu untuk anak mantan pembantumu, ya?" tanyanya.
"Itu bukan urusanmu, kan?" Jessy merespon pertanyaan itu dengan nada bicara yang cuek. Ia merasa sudah tidak perlu menahan diri dengan perlakuan Rindi padanya. Toh ia sudah tidak tinggal bersama mereka.
"Hah! Kerja apa sampai anak yatim piatu miskin sepertimu bisa membiayai orang lain? Aku dengar Nino bisa operasi karena bantuanmu!"
Ucapan Rindi terdengar menyakitkan hati bagi Jessy. "Apa aku harus laporan padamu? Belum cukup kamu mengusirku dari rumahku sendiri?" kata Jessy ketus.
Ia tidak berminat meneruskan perbincangan mereka. Berdebat dengan Rindi adalah hal yang sia-sia. Jessy memilih untuk mengabaikan keberadaan sepupunya itu dan meneruskan langkahnya.
"Perhatianmu pada orang lain sangat besar. Tapi, pada keluarga sendiri sama sekali tidak peduli. Pamannya sakit juga paling tidak peduli!" sindir Rindi.
Jessy menghentikan langkahnya. Ia berbalik mrnghadap Rindi lagi. "Maksudmu apa? Paman sakit?" tanya Jessy khawatir. Sejak ponselnya hilang, ia belum menghubungi pamannya lagi.
"Hah! Keponakan macam apa yang tidak tahu pamannya sakit," kata Rindi sambil terkekeh.
"Katakan! Paman sakit apa dan dirawat di mana?" desak Jessy.
Rindi masih menatap sinis kepadanya. "Ikut aku kalau mau tahu!" katanya.
Jessy mengikuti arah langkah Rindi menelusuri koridor rumah sakit yang cukup lengang. Setibanya di salah satu ruang perawatan, Rindi menyuruh Jessy untuk masuk duluan.
"Paman!" seru Jessy.
Ia tampak syok melihat kondisi pamannya yang terbaring lemas di ranjang dengan selang infus terpasang di tangan. Ada bibinya juga di sana yang tengah duduk di sofa.
"Oh, Jessy ... Kamu datang, Nak?" sang paman mengulaskan senyum bahagia saat melihat kedatangan Jessy.
Buru-buru Jessy meletakkan buah yang dibawanya di meja lalu memeluk pamannya.
"Paman ...." ucap Jessy. Ia menitihkan air mata dengan kondisi pamannya. Rasanya ia sangat sedih mengetahui sosok pengganti ayahnya terbaring sakit.
"Apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu tidak pernah menghubungi pamanmu ini," kata sang paman sembari mengelus punggung Jessy.
"Aku kira dia sudah lupa kalau masih punya keluarga. Bisa-bisanya menghilang tanpa kabar. Gara-gara kamu pamanmu sampai sakit begini memikirkanmu!" gerutu sang bibi.
"Sudah, jangan menyalahkan Jessy. Aku sakit karena memang karena punya penyakit." sang paman berusaha membela Jessy.
"Maaf ya, Paman. Ponselku dicuri orang makanya semua kontak nomor telepon hilang. Aku belum sempat mengabari Paman karena banyak urusan selama liburan," kata Jessy.
"Hah! Urusan? Yang aku tahu kamu liburan ke luar negeri dengan temanmu yang murahan itu, kan? Jangan-jangan kamu ikut jadi orang tidak benar seperti dirinya," sindir Rindi.
"Rindi, jangan mengatakan hal yang tidak-tidak tentang Jessy. Dia ini sepupumu!"
"Sepupu kalau menyimpang juga harus dinasihati, Pa! Dia itu dekat dengan anak yang sering digosipkan sebagai mahasiswi tidak benar di kampus. Katanya suka tidur dengan om-om!"
"Asal Papa tahu, anaknya Pak Dasiran, Nino, yang juga dirawat di sini, mereka bisa membiayai operasi karena Jessy. Dia punya uang dari mana kalau kerjaannya benar? Kerja di kafe juga dia sudah berhenti!" lanjut Rindi.
Kuping Jessy memanas. Ia sudah berusaha sabar mensengarkan perkataan Rindi. Semakin ia dengarkan semakin membuatnya emosi.
"Maaf, Paman. Dari pada membuat kesalah pahaman, lebih baik aku jelaskan sekarang," kata Jessy.
"Liburan kemarin aku memang sempat ke luar negeri selama satu minggu bersama temanku. Setelah pulang, aku pergi ke kampung halaman ibuku untuk mengurusi sisa-sisa harta peninggalan nenek. Makanya aku bisa membantu kekurangan biaya pengobatan Nino, anak Pak Dasiran."
Sang paman terlihat mengerutkan dahi. "Kamu ... Ke kampung halaman ibumu?" tanyanya penasaran.
Jessy mengangguk. "Paman pasti tidak tahu, kan? Ayah dan Ibu memang jarang ke sana dan hampir tidak pernah membahasnya. Aku dihubungi orang kepercayaan Ayah untuk datang ke sana saat liburan," katanya.
Bibi dan Rindi saling berpandangan. Mereka juga tidak tahu kalau Jessy masih punya kampung halaman. Mendengar cerita Jessy, mereka yakin saat ini Jessy punya banyak uang karena baru mendapatkan warisan.
"Syukurlah kalau seperti itu ceritanya. Paman kira kamu kenapa-napa karena sebulanan lebih tidak menghubungi pamanmu ini. Kalau terjadi hal buruk kepadamu, Paman akan sangat merasa bersalah pada Ayahmu."
Jessy menyunggingkan senyum. "Paman bisa tenang sekarang. Aku sudah dewasa dan bisa mengurus diri sendiri. Jadi Paman hanya perlu fokus menjaga kesehatan supaya tidak sakit," katanya.
"Hahaha ... Mungkin karena aku sudah tua makanya diberi penyakit."
"Lalu, penyakit Paman apa?" tanya Jessy.
"Pamanmu terkena Aritmia, gangguan irama jantung," sahut sang Bibi.
Mendengar penyakit yang diderita sang paman berhubungan dengan jantung, Jessy menjadi semakin khawatir. Biasanya orang yang terkena penyakit jantung akan susah disembuhkan. Ia belum siap jika harus kehilangan pamannya.
"Tidak perlu khawatir, Jessy. Kata dokter bisa disembuhkan dengan terapi dan obat-obatan," kata sang paman.
"Juga harus berhenti merokok dan minum kopi!" seru sang Bibi. "Di tempat kerja pasti kebanyakan merokok dan minum kopi. Padahal sudah diingatkan bahaya untuk kesehatan tapi masih dilanggar!" gerutu bibi.
"Em, Paman ... Aku mau ke ruangan Nino dulu. Aku juga sudah lama tidak menjenguknya," kata Jessy.
"Oh, ya sudah. Pergilah, Nak!" kata sang paman.
"Besok aku akan mengunjungi Paman lagi. Mudah-mudahan paman lekas sembuh," kata Jessy seraya mencium pipi pamannya.
"Bibi, Rindi, aku permisi dulu," pamit Jessy.
"Jessy, tunggu!" Rindi menyusul saat Jessy akan kelur ruangan. Tak lupa ia menutup pintu agar percakapan mereka tidak terdengar oleh papanya.
"Kamu pasti tahu kan, biaya pengobatan Papaku bakalan sangat mahal? Asuransi dari perusahaan tidak akan menanggung semua biayanya," kata Rindi.
"Kamu sudah mendapatkan banyak warisan. Membantu keluarga Pak Dasiran saja mau, masa tidak ada niatan untuk membantu pamanmu sendiri?" tanya Rindi.
"Oh, kamu mau aku bantu? Aku kira kamu bakalan marah kalau aku berniat memberi bantuan," sindir Jessy.
"Abaikan dulu masalah kita. Ini tentang penyakit Papa. Kalau kamu memang peduli, bantu pengobatannya!"
"Tentu. Aku akan membantu paman. Nanti serahkan saja tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi," kat Jessy enteng.
Sebenarnya Rindi sangat kesal mengetahui Jessy mendapat warisan. Orang yang sangat ingin ia singkirkan malah kelihatan hidupnya baik-baik saja.
"Kalau kamu sudah bicara seperti itu, kedepannya aku tidak akan sungkan memberikan tagihan rumah sakitnya padamu," kata Rindi.
"Baiklah, kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, aku akan pergi," kata Jessy.
Usai menyelesaikan perbincangannya, Jessy beralih ke bagian lain rumah sakit tempat Nino dirawat.
"Permisi ...," sapa Jessy saat melongok di pintu.
"Kak Jessy!" seru Nino girang. Pak Dasiran dan istrinya juga ikut senang dengan kedatangannya.
Jessy menyalami ketiga orang yang ia sayang seperti keluarga sendiri.
"Oh, sepertinya Nino sudah semakin sehat, ya!" kaya Jessy. Ia sangat bahagia melihat kondisi Nino yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Ini berkat Kak Jessy. Operasinya berhasil dan aku akan bisa pulang dalam waktu dekat," kata Nino dengan pandangan mata berbinar-binar.
"Selamat, ya, Nino ... Setelah ini kamu harus hidup sehat. Nanti aku bantu daftarkan kejar paket C supaya kamu punya ijazah SMA dan bisa lanjut kuliah," kata Jessy.
"Aduh, Kak. Kayaknya aku sudah tidak minat sekolah. Mau langsung kerja saja supaya bisa mengganti biaya yang sudah Kak Jessy keluarkan," kata Nino.
Jessy merengut. "Kalau kamu memang berniat menngganti uangku, sekolah dulu sampai tinggi! Karena aku juga nanti setelah lulus butuh pekerja yang pintar. Aku akan membuatmu kerja rodi supaya aku cepat kaya nanti! Kalau kamu cuma lulusan SMP, paling bisa jadi kuli bangunan. Kapan aku bisa kaya coba?" ledek Jessy.
"Yah, Kak! Sekolah juga butuh biaya. Aku sudah tidak mau merepotkan siapa-siapa." Nino menggaruk kepalanya.
"Siapa yang repot. Aku kan sedang berinvestasi padamu. Setelah kamu lulus kuliah, baru kamu boleh berpikir untuk balas budi, oke!"
realistis dunk