Alleta, seorang gadis penurut yang kepolosannya dimanfaatkan oleh sang kakak dan ibu tirinya.
Di malam sunyi itu, sebuah pil tidur seketika mengubah kehidupannya 90 derajat.
Ia terpaksa harus dinikahi oleh seorang pria yang terjebak bersamanya, pria yang sama sekali tak pernah ada dalam tipe suami yang dia idamankan, karena tempramennya yang terkenal sangat buruk.
Namun, pria sekaligus suami yang selama ini selalu direndahkan oleh warga desa dan dicap sebagai warga termiskin di desa itu, ternyata adalah seseorang yang statusnya bahkan tak pantas untuk dibayangkan oleh mereka yang memiliki status sosial menengah ke bawah.
Alfarezi Rahartama, pria luar biasa yang hanya kekurangan izin untuk mengungkap identitas dirinya.
Bagaimanakah reaksi keluarga Alleta setelah tahu siapa sosok menantu yang mereka remehkan itu?
Dan lalu bagaimanakah reaksi Alleta sendiri apabila dia tahu bahwa pria yang menikahinya adalah tuan muda yang disegani?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marnii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Sebenarnya Alfarez?
"Alleta, ayo keluar makan malam dulu, ajak suamimu juga."
Suara sang ayah di luar kamar akhirnya menyapu keheningan di antara pasutri tersebut, sejak percakapan terakhir, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Alfarez.
"Papa ajak makan malam dulu," ujar Alleta canggung.
Alfarez tidak menjawab dan langsung menutup bukunya. Tanpa menoleh pada Alleta ia berjalan keluar, bahkan tak menunggu wanita itu lagi.
Alleta hanya bisa menghela napas, berharap Alfarez bersikap ramah merupakan kebodohannya sendiri.
Di meja makan, anggota keluarga sudah lengkap berkumpul di sana, melihat kedatangan Alfarez, wajah Davina ditekuk masam.
"Nambah lagi nih, anggota yang bisanya cuma numpang makan gratis, seperti raja yang harus dilayani," celetuk Rahel dengan tatapan sinis.
"Jaga bicaramu," tegur Adrian sambil menyikut wanita itu. Rahel tampak tak senang sang ayah membela orang lain.
Alfarez sendiri tak ambil pusing soal itu, ia melanjutkan makan malam seperti biasa, dan setelah ditegur oleh sang ayah, Rahel juga tak berani banyak bicara, sementara Davina, ia selalu diam karena takut akan ancaman Alfarez padanya,
Di tengah keheningan itu, Alleta berkata, "Pa, besok aku dan Alfarez berencana untuk merantau ke kota mencari pekerjaan, aku minta doa restunya ya, Pa."
Adrian mengernyit. "Merantau? Kenapa mendadak sekali? Kalian baru saja menikah, istirahat saja dulu di rumah. Lagi pula Papa masih sanggup memberi kalian makan," protesnya.
"Pa, kami tak ingin terus merepotkanmu, jika bisa hidup mandiri, itu adalah jalan terbaik."
"Sudahlah, Pa, kalau mereka nekat mau hidup mandiri, biarkan saja. Toh juga mereka sudah dewasa, ada Alfarez yang akan menjaga Alleta di sana," sahut Rahel yang ikut menyela percakapan itu.
Adrian menghela napas dan mengangguk perlahan. "Baiklah, jika keputusan kalian sudah bulat, maka Papa tak bisa banyak berkomentar. Papa merestui kalian untuk pergi ke kota."
Alleta tampak begitu senang mendengar hal itu, ia segera memeluk sang ayah dengan wajah tersenyum lebar.
Usai makan, Alfarez langsung keluar dan duduk di teras rumah untuk sekedar menghirup udara segar dengan angin malam yang terasa sejuk.
Sementara yang lainnya, sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Davina menemani Adrian menonton televisi di ruang tengah.
Sementara Alleta dan Rahel mencuci piring bekas mereka makan barusan. Seperti biasa, Rahel akan terlihat begitu rajin membantu jika sang ayah ada di rumah.
Alfarez menatap langit bertabur bintang di atas sana. Ia baru berencana untuk membawa Alleta pulang bersamanya, tetapi tak disangka Alleta justru ingin hubungan mereka berakhir.
"Dasar gadis bodoh, dia pikir aku benar-benar tak mampu menghidupinya, bahkan jika dia mau dan memiliki 100 anak pun aku masih sanggup memberi mereka makan," gerutunya dalam keheningan malam.
Alfarez merogoh ponsel dan memberanikan diri menelepon ayahnya.
Panggilan tersambung dan bersamaan dengan itu pula ia menarik napas cukup panjang.
"Hallo?" Terdengar suara seorang pria di seberang sana.
Tangan Alfarez mulai gemetar, terhitung sudah 5 tahun ia tak mendengar suara itu lagi, entah mengapa ia merasa malas untuk bicara.
"Besok aku akan pulang," ucapnya singkat dan langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak tanpa menunggu jawaban dari sang ayah.
Malam itu, Alfarez keluar untuk menemui Aaron, pria yang merangkap sebagai kepala desa itu.
"Tuan Muda? Apa yang membuatmu datang ke sini malam-malam?" tanya Aaron dengan raut wajah merasa aneh dengan kedatangan Alfarez.
"Sudah 5 tahun kamu menjabat sebagai kepala desa, sekarang waktunya pulang," ucap Alfarez dengan wajah datar.
"Pulang? Maksudnya, Anda ingin pulang?" Aaron tampak sangat antusias, terlebih ketika melihat Alfarez menganggukkan kepalanya.
"Tuan Muda, akhirnya Anda sadar juga, 5 tahun sudah saya menunggu Anda di sini." Aaron tanpa sadar memeluk tuan mudanya karena terharu.
"Tak usah berlebihan, mengapa aku ada di sini kamulah yang tahu pasti, jika bukan karena menjalani hukuman, aku tak akan mau berada di tempat seperti ini." Alfarez mendorong pelan tubuh Aaron untuk terbebas dari pelukan pria itu.
"Setelah pulang nanti, sebaiknya Anda bersikap baik dan jadilah penerus Tuan besar, jangan main-main lagi seperti dulu, atau kalau tidak Anda mungkin bisa dikirim ke pulau terpencil, bukan ke desa ini lagi," ucap Aaron memperingati, tetapi ia malah diabaikan oleh Alfarez.
"Itu saja, selamat malam," kata pria itu sambil berbalik badan.
"Selamat malam Tuan Muda, semoga hidupmu selalu bahagia selamanya," ucap pria paruh baya itu sambil tersenyum lebar menatap punggung Alfarez yang semakin jauh ditelan kegelapan malam.
****
Keesokan paginya, baik Alleta maupun Alfarez, keduanya sama-sama menyeret sebuah koper keluar dari kamar.
"Pergi yang jauh sana, jangan pernah balik lagi," celetuk Rahel sinis pada mereka berdua, Davina ikut tertawa mengejek.
"Akhirnya benalu di rumah ini sadar diri juga," lanjut Rahel, dan Davina segera menyikut tangan putrinya agar tetap diam, sebab saat ini Alfarez sedang menatap tajam ke arahnya.
"Kalian sudah siap? Ayo, Papa antar ke stasiun." Adrian keluar dari kamar dengan pakaian yang lebih rapi.
"Tidak usah, Pa, rencananya kami tidak ingin naik kereta," tolak Alleta.
"Lalu mau naik apa?"
"Tadi malam aku sudah sewa mobil biar gampang nanti kalau mau singgah ke suatu tempat," jawabnya lagi. hanya untuk mengelak agar tak diantar, sebab arah mereka saja sudah berbeda.
"Baiklah, kalau begitu biar Papa antar sampai ke jalan raya, mobilnya pasti tidak bisa masuk ke sini, 'kan?"
Alleta mengangguk. "Iya, rencananya memang mau minta diantar Papa sampai jalan raya saja."
"Ya sudah, ayo!"
Mereka pun bergegas keluar dan memasukkan barang ke mobil pickup milik Adrian, mobil yang biasa dipakai untuk menjual hasil panen jagung ke kota.
Saat baru tiba di jalan raya, sebuah mobil juga keluar dari desa mereka.
"Itu bukannya mobil milik Pak Kades?" tanya Alleta.
"Iya. Mungkin lagi ada urusan desa."
Usai Adrian mengatakan itu, mobil tersebut pun berhenti di dekat mereka.
"Lho, Pak Kades, ada apa?" tanya Adrian sambil menunduk untuk melihat dari kaca mobil.
Aaron keluar dari mobil, ia menjabat tangan Adrian dan memeluknya bagaikan sahabat, mendapat perlakuan seperti itu Adrian cukup tercengang, sebelum ini, tidak ada yang diperlakukan seakrab itu oleh kepala desa mereka.
"Selamat atas pernikahan putri Anda Pak Adrian, saya datang untuk ikut mengantar kepergian mereka, semoga saja di kota yang besar itu, mereka juga bisa menjadi salah satu orang besar yang dikenal banyak orang."
Adrian mengerutkan dahinya masih merasa bingung dengan sikap kepala desa yang mendadak begitu ramah.
"Saya tak pernah menyangka bahwa Anda secara langsung ingin melihat keberangkatan anak saya, " jawabnya dengan canggung.
"Apa Pak Adrian tidak pernah mendengar bahwa Alfarez ini adalah pemuda favorit saya?" Aaron menepuk bahu Alfarez sambil tertawa lebar, sementara yang ditepuk hanya bertahan dengan wajah datarnya.
Adrian hanya ikut tertawa canggung mendengar ucapan Aaron.
Selama ini memang kerap beredar kabar tentang kedekatan Alfarez dan kepala desa, mereka bahkan digosipkan sebagai pasangan gay, tapi Adrian tak ingin memercayai hal itu.
Namun, melihat hal barusan, kepercayaannya mulai goyah, apakah mereka sungguh seperti apa yang digosipkan warga desa?
Adrian segera menepis pikiran buruk itu, bagaimana mungkin sosok berwibawa seperti Pak Kades memiliki hubungan aneh seperti yang mereka bicarakan? Konyol sekali.
"Ya sudah, bukankah Pak Adrian sedang ada pekerjaan? Bapak pulang saja, biar saya menemani mereka menunggu mobilnya datang," lanjut Pak Kades masih dengan senyum yang tersisa di bibirnya.
"Iya, Pa. Papa pulang saja duluan, Alleta baik-baik saja, Papa tak perlu khawatir."
"Kamu yakin tak perlu Papa tunggu?" tanya Adrian untuk memastikan.
Alleta pun mengangguk dengan yakin.
"Ya sudah, Papa pulang dulu, ya, jangan lupa hubungi Papa kalau sudah berangkat." Adrian pun memeluk dan mendaratkan bibirnya di kening Alleta.
"Mari Pak Kades, saya titip Alleta, ya." Adrian mengangguk dan tersenyum pada Aaron.
Tak lama setelah kepergian Adrian, tiga buah mobil datang dan berhenti di dekat mereka.
Masing-masing pengemudi mobil tersebut keluar dan berdiri di hadapan Alfarez, mereka semua mengenakan setelan formal berwarna hitam dan berdasi.
"Maaf kami terlambat, Tuan Muda." Mereka secara bersamaan membungkuk di hadapan Alfarez.
Alleta diam mengamati, ia tak mengerti dengan situasi macam apa yang sedang ia hadapi saat ini.
Tiga pria berdasi?
tiga mobil mewah mengkilap?
Membungkuk dengan bahasa formal terhadap Alfarez?
Siapa sebenarnya pria yang menikahinya ini?
Ada begitu banyak pertanyaan di benak Alleta, dan semua itu hanya bisa menjadi sebuah pertanyaan dalam dirinya sendiri, sebab ia tak berani bertanya pada siapa pun termasuk pada Alfarez.
Saya Author Marnii, suka Durian dan Mangga, serta suka menulis tentunya. Buat kalian yang sudah bersedia mampir dan memberikan dukungan, semoga sehat selalu, diperlancar rezekinya.
Kapan-kapan aku sapa lagi ya, udah terlalu panjang soalnya /Scowl/