Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Sadewa 1
Gue boleh nanya sesuatu?” Tanya Lucy hati-hati.
"Nanya apa?”
“Sebenernya, lo kenapa, Dew? Gue tahu akhir-akhir ini lo sleepwalking. Tapi gue yakin itu bukan cuma karena stres kuliah, kan?”
Hening.
Dewa menunduk. Ia ingin bicara, tapi lidahnya seperti terkunci. Tatapannya beralih ke arah jendela, seolah mencari alasan untuk tetap diam. Lucy memperhatikan setiap gerak tubuhnya—resah, ragu, dan… takut. Ia perlahan mengulurkan tangan, menggenggam jemari Dewa yang dingin.
“Lo percaya gue gak?” suaranya lembut, tapi bergetar. “Dew, liat gue.”
Dewa akhirnya menatap, meski hanya sekilas. “Gue istri lo. Meski kita baru kenal, gue bagian dari hidup lo sekarang. Lo gak perlu mendem semuanya sendiri. Apa pun itu, lo boleh cerita ke gue.”
Untuk sesaat, ruangan itu benar-benar sunyi.
Dewa menatap mata Lucy lama—mencari sesuatu di sana. Tidak ada kebohongan, tidak ada rasa ingin menghakimi. Hanya ketulusan yang menenangkan. Perlahan, ia menarik tubuh Lucy ke dalam pelukannya. Dagu pria itu bertumpu di bahu Lucy, napasnya terasa berat, panas, bergetar, dan penuh sesak yang tertahan.
“Gue takut, Luc…” Suaranya serak, nyaris hanya berupa bisikan di telinga Lucy. Pelukannya mengencang, jemarinya menekan punggung Lucy tanpa sadar.
“Kalo gue jujur…” Tubuhnya sedikit bergetar.
“…lo bakal benci gue, bahkan ninggalin gue.”
Lucy tak langsung menjawab. Ia hanya mempererat pelukannya, menepuk lembut punggung Dewa. Suara detak jantung mereka berpadu dalam keheningan, membawa perasaan yang sulit dijelaskan antara luka, takut, dan cinta yang mulai tumbuh di tempat yang sama.
Di ranjang rumah sakit yang diterangi cahaya lembut dari jendela, Dewa duduk bersandar. Selang infus masih menempel di tangannya, tapi genggamannya pada jemari Lucy begitu kuat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya bertahan.
Udara di ruangan itu tenang, namun di antara napas dan detak jantung yang terdengar di monitor, ada sesuatu yang berat menggantung — sesuatu yang selama ini disimpannya sendiri.
Dewa menunduk, menatap jari-jarinya yang saling bertaut dengan Lucy. Dan memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Lucy.
...****************...
Sejak kecil, Dewa tahu dirinya berbeda.
Bukan karena dia tak pintar, bukan pula karena dia nakal. Tapi karena tak ada satu pun yang benar-benar melihatnya.
Dalam keluarganya, perhatian orang tua seperti cahaya matahari dan cahaya itu hanya jatuh pada satu orang yaitu kakaknya.
Anak pertama yang sempurna. Cerdas, berprestasi, sopan, jadi kebanggaan semua orang. Sementara Sadewa… hanya bayangan di belakangnya. Pelengkap di foto keluarga. Nama yang selalu disebut hanya untuk dibandingkan.
“Lihat kakakmu, Dewa.”
“Kapan kamu bisa seperti dia?”
Awalnya Dewa berusaha mengejar dengan rajin belajar, ikut lomba, mencoba menyenangkan hati mereka. Tapi tak pernah cukup. Sekalipun ia berhasil, respon yang keluar tetap sama.
“Bagus, tapi kakakmu dulu nilainya lebih tinggi.”
Hingga pada satu titik, Dewa berhenti mencoba menjadi baik. Ia memilih jadi pemberontak. Karena kalau tak bisa mendapat perhatian lewat kebaikan, mungkin lewat kenakalan, orang tuanya akhirnya akan melihatnya.
Balapan liar, nongkrong sampai pagi, mabuk Semua dilakukan bukan karena ia suka, tapi karena setiap kali ia buat masalah, ayah dan ibunya akhirnya menyebut namanya. Meski dengan amarah. Setidaknya, untuk sesaat, mereka mengingat bahwa ia ada.
Namun perhatian yang lahir dari kemarahan ternyata jauh lebih menyakitkan daripada diabaikan. Dan Dewa baru sadar terlalu terlambat. Tahun demi tahun berlalu, dan Dewa tumbuh dengan luka yang tak pernah disembuhkan. Ia bukan lagi remaja yang berharap dipuji. Ia sudah belajar menertawakan kecewa.
Senyum tipisnya kini lebih sering jadi topeng daripada tanda bahagia. Di rumah besar keluarganya, kehadirannya nyaris tak terasa. Makan malam selalu dimulai tanpa menunggunya. Setiap kali ia bicara, suaranya seperti menabrak dinding yang dingin dan tak bergema
...****************...
Flashback Jakarta, 2023
Saat itu ponsel Dewa berdering. Dari temannya, Galih.
“Bro, nongkrong yuk! Gue tahu tempat baru, lo harus ikut!"
Tanpa pikir panjang, Dewa menekan pedal gas. Malam itu ia hanya ingin melupakan semuanya. Tentang rumah, tentang kakaknya, begitu juga tentang dirinya sendiri.
Di meja bar, botol demi botol kosong berganti. Kepala mulai berat, tapi dadanya terasa sedikit lebih ringan. Setelah beberapa jam menghabiskan waktu di bar, mereka memutuskan untuk pulang. Mereka keluar dari Bar di Senopati dengan sempoyongan khas orang mabuk sambil tertawa dan bercanda.
Begitu roda mobil berputar di jalan basah yang sepi. Nasib sudah menyiapkan kejutan paling kejam untuk malam itu. Malam Jakarta yang lembap dipenuhi sorot lampu dan suara klakson bersahutan.
Dewa duduk di kursi penumpang, menatap kosong ke luar jendela mobil. Aroma alkohol masih kuat di napasnya, kepalanya berat tapi pikirannya belum sepenuhnya kabur.
Galih, temannya sejak SMA, memegang setir dengan tangan gemetar dan pandangan yang sedikit kabur-kaburan. Ia mencoba meyakinkan Sadewa.
"Amanlah Dew... Cuma beberapa gelas kok, gak bikin gue mabuk!” ujar Galih berbohong diiringi tawa kecilnya.
“Mata lo teler banget, Gal. Udahlah kita panggil sopir pengganti aja.” gumam Dewa pelan, matanya separuh terpejam.
“Gue masih bisa nyetir, tenang aja…”
Namun keyakinan itu lenyap dalam satu detik.
Tiba-tiba—
CIIITT!
BRAAKK!
Suara rem yang berdecit serta benturan keras memecah malam. Tubuh Dewa menghantam dashboard, kepalanya terbentur dengan keras, pandangannya berputar. Mobil berhenti mendadak, suara logam berderit, dan sosok seseorang terpental ke sisi jalan, tergeletak tak bergerak.
“Anjing sial...,” desis Galih, napasnya tersengal, wajahnya pucat. Ia keluar dari mobil, gemetar. Lalu menghampiri korban seorang perempuan muda yang kini berlumuran darah. “Sialan! Ini gimana kalo meninggal??!”
Galih mengacak-acar rambutnya frustasi dan bingung.
Sementara itu, Dewa separuh sadar. Dunia terasa bergoyang, matanya berat, darah Mengalir dari pelipis. Ia sempat berusaha bersuara, tapi gelap menelannya.
Galih kembali ke mobil, panik. Ia mengambil ponselnya, mencabut rekaman dashcam, dan menyeka setir dengan ujung jaket, guna menghapus sidik jarinya.
“Maafin gue dew, gue gak mau masuk penjara..” gumamnya, lalu pergi meninggalkan tempat kejadian.
Sudah tiga hari sejak malam itu.
Berita kecelakaan yang menewaskan seorang perempuan muda memenuhi headline berbagai portal.
“Seorang pria inisial 'S' diduga menjadi pelaku tabrak lari.”
Kalimat itu seperti cambuk di kepala Dewa setiap kali ia membuka mata. Ia duduk di ruang tamu besar yang dingin, masih dengan perban di pelipis dan tangan yang nyeri karena luka benturan. Ia tak habis fikir pada Galih, menjadikannya kambing hitam seperti ini.
Ayahnya berdiri di hadapan, mengenakan setelan kerja seperti biasa—rapi, kaku, tanpa sedikit pun empati di matanya.
“Papa udah urus semuanya,” katanya pelan tapi tegas. Nada suaranya dingin, seolah sedang membahas bisnis, bukan tragedi.
Dewa mengernyit, suaranya pecah, “Urus apa? Papa bahkan belum denger penjelasan dewa!”
Ayahnya menghela napas panjang. “Kamu gak usah banyak bicara. Mobil itu atas nama keluarga kita, media udah mulai cari tahu. Papa harus cepat bertindak sebelum semuanya makin parah!”
Dewa melangkah maju, matanya merah, hampir tak percaya.
“Papa pikir aku yang nyetir?! Bukan aku, pah! Aku cuma penumpang! Yang nyetir itu Galih—dia panik terus kabur!”
Suara Dewa meninggi, tapi ayahnya tetap tak tergoyah.
“Kamu bisa buktikan omongan kamu itu?” balasnya tajam.
“Gimana Papa mau percaya, cuma sidik jari kamu yang ditemukan. Gak ada orang lain lagi, CCTV pun gak jelas, cuma kamu dan korban yang ada di lokasi.”
Dewa terdiam, napasnya tersengal, dada naik turun cepat.
“Demi Tuhan Pa... bukan dewa yang nyetir..."
Ayahnya menatap Dewa tajam. Suaranya berat, mengandung tekanan yang membuat udara di ruang tamu mendadak sesak.
“Udah cukup! Kamu diem aja, jangan bikin keadaan makin ribet.”
Dewa mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Rahangnya menegang, matanya berair tapi ia tahan mati-matian agar tidak jatuh.
“Pah, apa papah gak percaya dewa? Sedikitpun?" suaranya bergetar, nyaris putus.
Ayahnya menghempaskan napas panjang, lalu berdiri dari sofa dengan gerakan cepat.
“Percaya? Kamu sadar gak, Dewa?!” katanya meninggi, telunjuknya mengarah ke wajah Dewa.
“Kamu udah bikin malu nama keluarga! Selalu begitu! Dari kecil kerjaan kamu cuma cari masalah!”
Dewa menunduk, giginya terkatup rapat.
Bahkan sekarang, di tengah rasa bersalah yang menyesakkan. Ayahnya masih memikirkan reputasi.
“Jadi semuanya tentang nama keluarga?!"
Ayahnya mendengus keras.
“Kalau kamu gak mabuk, semua ini gak bakal terjadi. Anak seperti kamu cuma bikin Papa menyesal punya darah yang sama!"
Dewa hanya bisa menatap punggung ayahnya yang berjalan pergi, meninggalkan ruangan.
Hatinya hancur.
Hari itu, Dewa sadar — bahkan kebenaran pun tak selalu bisa menyelamatkan seseorang. Ayahnya, yang harusnya percaya padanya... memilih untuk menutup mata.
Jadi, untuk apa ia masih bertahan disini. Jika tak ada satupun orang yang mempercayai nya. Sadewa melangkah pergi tanpa menoleh, hanya meninggalkan bayangan punggung dan pintu besar yang menutup pelan. Menandai akhir dari kehidupannya sebagai anak bungsu keluarganya.
...----------------...
...Bagaimana dengan kisah masa lalu Sadewa?...
...Ternyata selama ini, dia menyimpan semua itu sendirian ya 😔...
...Setelah semua yang diceritakan Dewa, apa Lucy akan bertahan, atau justru meninggalkan Dewa nih?...
...Be Strong Sadewa! 🔥...
...Halo Halo......
...Apa kabar semua? Semoga semuanya dalam keadaan sehat-sehat yaa 🥰...
...Ikuti terus kelanjutan cerita Dewa-Lucy😘...
...Jangan lupa untuk tinggalkan jejak 👣👣 yaa berupa vote , like, dan komentarnya 😍...
...Jika kalian suka cerita ini, boleh kasih rate juga yaa😘🙏...
...Terimakasih! 💕...
apapun kondisi anaknya,hati seorang ibu tetaplah tulus pada anaknya....