NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / CEO / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Duda / Balas Dendam
Popularitas:11.6k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32. Melamarmu

Mobil yang dikendarai Damian kembali melaju membelah jalan. Setelah puas menikmati pemandangan danau, kini ia menuju tempat indah yang sudah ia siapkan untuk hari penting ini.

Ia membuka konsol tengah, mengeluarkan kotak beludru berwarna putih, lalu membukanya. Di dalamnya, berkilau cincin berlian yang menjadi simbol dari keputusan besar yang akan ia ambil hari ini.

Damian menatap kilau indah cincin itu beberapa detik sebelum menoleh ke arah Elena yang tertidur pulas di kursi sampingnya. Sinar sore memantul dari kaca depan di wajah wanita itu yang membuatnya terlihat begitu damai.

Damian tersenyum tipis, menutup kotak cincin itu, dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Hari ini, ia akan melamar Elena. Wanita yang perlahan mengisi hatinya, yang selalu ia khawatirkan, dan yang selalu ingin ia lindungi, meski dibenci oleh anaknya sendiri.

Ia hanya berharap, keputusannya ini bisa membuka mata Sean, bahwa jabatan dan kekuasaan bukan alasan untuk bersikap semaunya.

“Semoga keputusanku tepat,” batin Damian sambil menatap jalan di depannya yang diselimuti cahaya senja.

Setelah sampai di tempat tujuan, Damian mematikan mesin mobil dan menarik napas panjang. Langit malam mulai menggantikan sisa cahaya jingga, sementara udara mulai terasa lebih sejuk. Ia menoleh ke samping, melihat Elena yang masih tertidur pulas dengan kepala sedikit miring.

Damian tersenyum kecil, lalu menepuk pipinya pelan.

“Elena, bangunlah... kita sudah sampai.”

Elena mengerjap pelan, matanya masih sayu saat menatap Damian, “Hmm... di mana ini?” tanyanya sambil meregangkan tubuh.

Damian hanya tersenyum, “Kau akan tahu nanti.”

Dengan kesadaran yang masih setengah, Elena pun mengangguk. Damian lalu keluar dari mobil, memutari bagian depan mobil, dan membukakan pintu untuknya. Udara malam langsung menyapa mereka, sejuk dan sedikit dingin.

Elena turun dengan memegang tangan Damian agar tidak kehilangan keseimbangan.

“Om, gelap sekali,” gumamnya pelan.

Damian terkekeh kecil, “Tunggu sampai kau melihatnya.”

Ia kemudian mengulurkan tangannya sekali lagi. Elena menatapnya sejenak sebelum menyambutnya tanpa ragu. Mereka berjalan beriringan melewati jalan setapak yang dihiasi taman kecil dengan lampu-lampu taman berwarna kekuningan.

Langkah mereka lambat, tanpa banyak bicara, hanya suara gesekan daun dan langkah kaki di bebatuan. Damian sesekali menoleh untuk memastikan Elena nyaman, sementara Elena mulai terjaga sepenuhnya, matanya perlahan berbinar oleh rasa penasaran akan ke mana Damian membawanya malam ini.

“Wah…”

Rasa kantuk Elena langsung hilang seketika, tergantikan oleh rasa takjub saat melihat pemandangan di depannya. Jalan setapak berbatu itu diterangi oleh deretan lampu gantung yang menggantung di antara dahan pohon, sementara bunga-bunga berwarna soft tumbuh di sepanjang sisi jalan. Suasana malam itu terasa hangat dengan aroma harum dari bunga yang bermekaran.

“Om yang menyiapkan semua ini?” tanya Elena sambil menatap Damian.

Damian mengangguk kecil, “Kau menyukainya?”

“Tentu saja,” jawab Elena cepat, matanya berbinar, “Sudah berapa kali Om menanyakan hal itu? Semua yang Om lakukan untukku, aku sangat menyukainya.”

Elena kemudian melepaskan tangannya dari Damian, lalu berlari kecil ke depan. Ia berhenti di dekat deretan bunga, menunduk dan menyentuh kelopaknya, sambil menyelipkan anak rambut yang terlepas ke belakang telinga.

Damian hanya berdiri di tempat, memperhatikannya dalam diam. Gerak aktif wanita itu di bawah cahaya lampu membuat waktu terasa berhenti sesaat.

Elena menegakkan tubuhnya kembali, menatap ke atas pada deretan lampu gantung yang berayun perlahan tertiup angin. Wajahnya dipenuhi ekspresi bahagia, matanya memantulkan cahaya hangat dari lampu-lampu di sekitarnya.

Damian masih menatapnya dengan senyum tenang. Dalam hati, ia tahu, momen ini akan ia ingat selamanya.

Elena menatap Damian dengan mata berbinar, “Om, apakah di depan sana ada kejutan lain?” tanyanya dengan nada penasaran, setengah berlari mengikuti jalur taman yang diterangi lampu-lampu kecil di sepanjang jalan setapak.

“Coba lihat,” jawab Damian pelan, membiarkan Elena mendahuluinya. Suaranya tenang seperti biasa, seperti seseorang yang tahu bahwa beberapa langkah lagi akan membuat orang di depannya kehilangan kata.

Elena terus melangkah dengan langkah ringan, semangatnya seperti anak kecil yang menemukan sesuatu yang baru. Setiap langkah membuat aroma bunga dan rumput malam semakin terasa. Cahaya kekuningan dari lampu taman menari-nari di antara dedaunan, hingga akhirnya ia berhenti mendadak.

Di ujung taman, berdiri sebuah tenda kain berwarna krem lembut, diterangi cahaya bohlam kecil yang melingkar di sepanjang tepiannya. Di dalamnya ada ranjang empuk berlapis selimut putih, bantal-bantal berbulu, dan beberapa lilin menyala yang membuat suasananya terasa hangat sekaligus intim. Tidak lupa aroma lilin vanila yang samar tertiup angin malam.

Elena membeku sejenak, lalu tersenyum lebar, “Ini…,” ucapnya pelan, menatap pemandangan di depannya dengan mata berbinar, “Ini indah sekali.”

Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, seolah takut merusak keindahan tempat itu. Tangannya menyentuh kain tenda, lalu permukaan ranjang yang halus. Ia duduk perlahan, tenggelam dalam kenyamanan yang lembut, lalu menoleh ke arah Damian yang kini berjalan mendekat dengan langkah tenang.

Damian berhenti sejenak di depan tenda, memandangi Elena yang tampak begitu hidup di bawah cahaya hangat lampu-lampu kecil itu. Lalu ikut duduk di samping wanita itu.

Beberapa saat mereka hanya diam, memandangi langit yang dihiasi ribuan bintang yang berkelip indah.

“Jika aku mau bintang, apa Om juga akan mengambilkannya untukku?” tanya Elena untuk memecah kesunyian.

Damian menoleh, “Tentu.”

Elena menatapnya dengan senyum kecil tidak percaya, “Bagaimana caranya?”

“Mm… mungkin boneka bintang,” jawab Damian dengan nada bercanda.

Elena tertawa kecil, tawa ringan yang segera menular pada Damian. Pria itu ikut terkekeh, tapi kemudian suaranya berubah lembut, sedikit lebih serius.

“Tapi aku bisa memberimu lebih dari sekadar bintang.”

Elena menoleh penasaran, “Apa itu?”

Damian menatap matanya dalam-dalam, “Pernikahan.”

Kata itu membuat waktu seperti berhenti. Jantung Elena berdegup cepat, wajahnya menegang sesaat. Kalimat itu... kalimat yang selama ini ia tunggu, tapi mengapa kini justru membuatnya gugup?

Damian bergeser, memposisikan dirinya agar berhadapan dengan wanita itu.

“Aku akan menikahimu, Elena,” ucapnya penuh kepastian, “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat. Tapi aku tidak ingin menunda lagi. Aku ingin kau menjadi pendampingku, setiap hari, setiap waktu, dan selamanya. Aku sudah memikirkannya matang-matang, dan keputusanku tetap sama, bahwa aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Aku memenuhi keinginanmu untuk menjadi istriku.”

Ia menatap mata Elena tanpa ragu, “Katamu usia bukanlah penghalang. Jadi, apa kau bersedia menikah denganku?”

Elena terdiam lama. Pandangannya turun pada tangan Damian yang menggenggamnya hangat, sebelum akhirnya ia menatap kembali pria itu.

“Aku mau, Om.”

Senyum lega muncul di wajah Damian. Ia segera berdiri, mengeluarkan kotak cincin dari saku celananya. Dengan satu lutut menyentuh tanah, Damian pun membukanya.

Elena menahan napas, menatap kilauan indah dari berlian yang menghiasi cincin.

“Om…”

“Menikahlah denganku, Elena,” ucap Damian lembut.

Elena tersenyum dengan mata berkaca-kaca, lalu mengulurkan tangannya. Damian melepaskan cincin itu dari kotaknya, menyentuh jemari wanita itu dengan hati-hati, dan melingkarkan cincin itu di jari manisnya.

Elena menatap cincin di tangannya lama. Bibirnya bergetar karena sulit menahan senyum bahagia atas lamaran yang Damian siapkan untuknya.

Ia kemudian memeluk Damian erat. Pria itu membalas pelukan itu dan menepuk lembut punggung Elena.

“Aku berjanji akan memberimu kebahagiaan,” ucap Damian tulus.

Elena mengangguk dalam pelukannya, “Aku juga, Om,” ucapnya pelan, dengan nada haru.

Namun di balik senyum dan matanya yang berkaca-kaca, ada sesuatu yang berbeda. Dan saat Damian tidak melihat, pandangan Elena berubah tajam.

Senyumnya menipis.

“Aku berjanji akan membuat keluargamu kehilangan kebahagiaan,” batinnya.

......................

Lampu redup di pelataran markas sedang menyorot samar wajah Sean yang kusut dan mata yang tampak merah, campuran karena marah atau lelah. Ia meneguk minumannya lagi tanpa pikir panjang, membiarkan sebagian isinya menetes di sepanjang leher dan membasahi kerah bajunya.

“Sean,” panggil Bastian, lalu duduk di depan Sean, dan menatap heran ke arah sahabatnya yang tampak tidak peduli pada dunia.

“Aku bicara padamu,” ucap Bastian lagi, agar Sean mau menatapnya, “Sejak semalam kau hanya memedulikan minuman. Apa kau tidak ingin pulang?”

Sean menurunkan botolnya perlahan, tapi tidak menjawab. Ia menatap kosong ke arah meja yang penuh botol-botol kosong, lalu menyeringai kecil tanpa senyum di matanya.

“Untuk apa pulang?” suaranya serak, berat.

Bastian menghela napas panjang, “Kau tidak bisa terus begini. Apa pun yang terjadi, mabuk tidak akan menyelesaikannya.”

Sean mendengus pelan, “Mungkin tidak menyelesaikan apa pun. Tapi setidaknya membuatku lupa untuk sementara,” ucapnya tanpa menatap Bastian, lalu kembali meneguk sisa minumannya.

“Apa ada masalah? Katakan saja, hanya kita berdua di sini. Apa ini soal ayahmu?”

Botol di tangan Sean berhenti di udara. Tatapannya beralih cepat, menatap Bastian dengan sorot tajam yang membuat udara di antara mereka terasa menegang.

“Jangan sebut namanya,” ucap Sean rendah.

Bastian mengangguk pelan, mulai memahami arah dari amarah yang selama ini tidak dijelaskan Sean. Rupanya, sumbernya adalah sang ayah.

“Kenapa? Ayahmu akan menikah lagi?”

Pertanyaan itu langsung membuat Sean menoleh tajam. Untuk pertama kalinya sejak tadi, tatapan matanya terarah penuh ke Bastian. Namun, sesaat kemudian ia malah menunduk dan tersenyum miring, senyum yang tidak menunjukkan kebahagiaan sedikit pun.

Bastian menatap perubahan itu dengan seksama, “Jadi benar,” gumamnya pelan.

Sean memutar botol di tangannya, jari-jarinya mencengkeram leher botol begitu kuat hingga terdengar bunyi gesekan kaca, “Aku sudah merencanakan sesuatu pada wanita itu. Tapi gagal. Segalanya malah berbalik padaku.”

Bastian melipat tangannya di dada. Ia mengangguk pelan, “Aku bisa mengerti perasaanmu. Dua puluh tahun kau hanya hidup bersama ayahmu, dan tiba-tiba ada orang baru yang ingin menggantikan posisi ibumu. Siapa pun akan merasa tidak nyaman dengan hal itu.” Ia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya menurun tapi tajam, “Tapi Sean, rencanamu belum sepenuhnya gagal.”

Sean mengangkat pandangannya, menatap Bastian dengan tatapan ingin tahu.

“Maksudmu…?”

Bastian tersenyum tipis, “Pernikahan bisa berakhir dengan perceraian. Kau hanya perlu menunggu waktu yang tepat dan memanfaatkannya.”

Senyum dingin perlahan muncul di wajah Sean. Ia meneguk kembali minumannya, lalu menatap Bastian penuh persetujuan, “Kau memang sahabatku.”

Bastian mengangguk mantap, “Aku bisa membantumu.”

“Setuju,” jawab Sean sambil mengangkat botol minumannya.

Bastian mengambil satu botol lain yang masih tersegel, membukanya, lalu mengangkatnya sejajar. Suara dentingan botol terdengar nyaring di antara kesunyian malam, sebelum keduanya meneguk minuman itu bersama.

1
kalea rizuky
kok g lanjut
merry
selmt gk tu Elena,,,
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!