"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
*
“Ada kabar, Don?” tanya Rendy dengan wajah kusut.
“Jarwo bilang, dia kesulitan mencari Ajeng di apartemen Raflesia. Nggak ada pemilik atau penyewa yang bernama Ajeng, Bos. Kita juga nggak tahu siapa nama teman Ajeng.”
“Sialan! Monik juga nggak mau buka mulut lagi. Anak itu selalu bilang nggak tahu nggak tahu kalau ditanya.” marah lelaki itu.
“Monik sangat setia sama Ajeng, Bos. Bahkan, hanya Monik yang menemani Ajeng saat Bos lupa sama dia.”
“Lo nyalahin gue, Don?” Lelaki itu langsung menghunus tajam tangan kanannya itu.
“Saya nggak berani ikut campur apalagi menyalahkan, Bos. Tapi, kalau pendapat saya, Bos memang salah.”
“Arght, sialan lo, Don! Bukannya nenangin gue, malah bikin gue makin pusing.”
“Sorry, Bos. Tapi, apa yang Ajeng lakukan mungkin saja karena dia udah terlalu muak.”
“Memangnya, apa yang gue lakuin? Kesalahan gue cuma selingkuh dan kurang perhatian, kan?”
Doni terserah samar. “Saya bingung harus berkomentar apa. Masalahnya, Bos Rendy nggak menyadari kesalahan sendiri, dan nggak bisa menempatkan diri di posisi Ajeng. Padahal, kami yang orang lain saja bisa merasa kesakitan Ajeng.”
“Sudahlah, Don. Jangan ceramah terus. Semua udah terjadi.”
Doni memasang wajah datar. “Apapun yang terjadi nanti, kalau bos udah punya yang indah, jangan coba cari yang lebih indah lagi, karena bisa jadi Bos akan kehilangan dua-duanya, atau salah satu yang berharga."
“Iya, Don. Iya… gue tahu, gue salah. Stop khotbah di depan gue! Sekarang, pikirin e cara nemuin Ajeng!”
“Apa Bos mau menunggu dia di lobby apartemen sama Jarwo? Atau mau menjelajahi mall Raflesia?”
Rendy berpikir sebentar, menimbang saran asal dari Doni.
“Kita berangkat ke sana, Don! Gue nggak sabar kalau suruh nunggu laporan dari Jarwo doang.”
*
*
“Cantik sekali kamu, Baby.”
Biantara yang baru saja masuk kamar, begitu takjub dengan penampilan Ajeng.
Dress berwarna peach selutut dengan tali di bagian perutnya itu sangat cocok dikenakan Ajeng.
Wanita yang biasa berpenampilan sederhana namun terkesan lembut itu, kini seolah keluar dari cangkang yang mengurungnya. Ajeng benar-benar keluar dari zona nyaman, dengan memakai pakaian itu.
“Apa nggak terlalu berlebihan, Mas? Aku lebih senang pakai blouse sama celana panjang.”
“Kalau begitu, nanti aku suruh orang buat cariin yang model itu, tapi yang kekinian.”
“Pemborosan, Mas, kalau harus beli baju lagi.” Ajeng memutar bola matanya malas.
“Katamu kamu lebih suka blouse dan celana panjang.”
“Ya nggak usah beli juga meskipun aku mau. Ini sudah berlebihan. Lagian, dari semua pakaian ini modelnya kekinian semua. Baju Sabrina aja kalah kayaknya.”
“Makanya, kalau kamu bisa lebih baik dari dia, itu artinya kamu menang. Aku yakin, pasti dia nggak terima kamu lebih cantik dari dia. Apalagi, setelah aku denger ceritamu, kalau dia suka pengen apa yang kamu punya.”
“Aku malas bersaing. Apalagi sama dia. Buat apa? Aku nggak peduli. Yang penting, hakku kembali sebelum diabisin sama dia.”
“Baiklah, kalau begitu, berdandan lah untukku, meskipun kamu sudah cantik walaupun nggak pakai apa-apa sama sekali.”
“Ck. Mulai…” Ajeng cemberut.
“Aku serius, Baby. Setidaknya, kalau kamu nggak ikhlas tampil cantik buat aku, kamu bisa tampil cantik untuk dirimu sendiri.”
Ajeng tak menanggapi.
“Kamu bisa kasih reward tubuhmu yang sudah berjuang selama ini dengan cara memanjakannya.”
“Sayang uangnya, Mas."
“Tidak perlu mengeluarkan uang, sayang. Simpan uangmu. Kamu bisa gunakan kartuku sesukamu dan aku yang akan membayarnya.”
“Sudah cukup, Mas! Baju-baju ini aja udah lebih dari cukup. Masa dress doang nggak ada yang kurang dari 700 ribu. Itu aja yang paling murah loh. Nih lihat tag harganya! Hampir semua jutaan rupiah. Ck, apa nggak sayang, Mas? Mana sebanyak ini lagi."
“Untukmu aku nggak akan pernah merasa rugi ataupun menyesal, sayang. Yang penting, timbal baliknya sepadan. Ingat! Kamu harus jadi istriku, Ajeng.”
Jujur saja, Ajeng merinding mendengar ketegasan Biantara. Tapi, untuk menutupi resahnya, dia justru tertawa.
“Wow, sungguh ancaman yang sangat diinginkan banyak wanita.” Kata wanita itu.
“Makanya, kamu harus bangga. Kamu benar-benar wanita spesialku, Ajeng.”
“Makasih banyak atas sanjungannya.” Ajeng terkikik lagi.
Setelah berdebat dengan gombalan Biantara, dia mengajak lelaki itu berangkat saja, daripada semakin aneh-aneh lelaki itu.
Rencananya, dia akan bertemu dengan Monik dulu di suatu tempat untuk mengambil barang berharganya. Mereka sudah berkomunikasi dengan nomor baru yang Biantara berikan.
Mendapati Wisnu juga masih setia mendampingi Biantara, bahkan dengan urusan Ajeng, wanita itu mendadak bertanya-tanya.
“Mas,” panggil Ajeng setelah sebelumnya suasana mobil yang dikendarai oleh Wisnu itu terasa hening.
“Kenapa? Kamu butuh sesuatu?”
Ajeng tersenyum. Biantara begitu perhatian kepadanya. Jauh sekali jika dibandingkan dengan Rendy yang bahkan hampir tak pernah menanyakan Ajeng sudah makan atau belum.
“Em, kalian kok disini terus? Memangnya kalian nggak kerja?”
“Biantara itu bosnya. Masa bos juga harus kerja!” Wisnu yang menjawab.
“Hehehe. Saya tahu, Pak.” Ajeng memang masih sungkan jika dengan Wisnu. “Tapi kan, kalau kalian tinggal disini terus, nggak ada untungnya juga.”
“Ini semua demi kamu, Ajeng. Memangnya, kamu nggak tahu? Kamu adalah wanita pertama yang disanjung Bian selain Mamanya.”
“Oh ya?” Ajeng seolah tak percaya.
“Makanya, kamu harus tahu diri. Kalau sampai pengorbananku nemenin Bian disini sia-sia, saya bisa blacklist kamu dari dunia hiburan.”
"Apa sih, Nu. Masa ngancem cewek?" Biantara mengingatkan temannya.
Sayangnya, Wisnu tak peduli, karena sebenarnya lelaki itu masih kurang setuju dengan Ajeng yang statusnya istri orang.
“Pak Wisnu seperti brother complex sama Mas Bian.” Ajeng tertawa sungkan karena dia tahu si setia itu kurang menyukainya.
Perjalanan terus berlanjut. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah restoran, tempat janji temu dengan Monik.
“Em, kamu disini aja, Mas. Aku nggak lama kok.” Pamit Ajeng.
“Kamu yakin nggak mau dianter, Sayang?”
Ajeng mengangguk dengan senyum manis. “Biar cepet juga.”
“Baiklah… kalau begitu, aku menunggumu disini.”
Ajeng hanya tersenyum lagi. Kemudian, dia masuk ke cafe, dimana Monik katanya sudah menunggu di dalam sana.
“Monik!” Panggil Ajeng hingga membuat gadis yang menyibukkan diri dengan ponselnya itu mengangkat wajahnya.
“Sini, Mbak!” Monik pun, antusias menyambut Ajeng yang mendekat.
Bahkan, Monik sampai berdiri karena saking senangnya bertemu dengan Ajeng.
“Mbak Ajeng nggak apa-apa kan? Aku khawatir banget sama Mbak.” Monik langsung memeluk Ajeng dengan erat.
Ajeng memberikan tepukan lembut di punggung Monik, tanda jika dia menerima ketulusan itu.
“Mas Rendy uring-uringan terus di rumah, Mbak. Semua orang diajak gelut sama dia.” adu gadis itu setelah pelukan mereka terlepas.
“Oh ya?”
“Hem.” Ajeng mengangguk serius. “Orang sama Si Sobri aja juga berantem kok kemarin.”
“Kok bisa? Bukannya dia sayang banget sama Brina?”
“Kayaknya, Mas Rendy baru benar-benar ngerasa kehilangan Mbak Ajeng deh.” Simpui gadis itu.
“Bodo amat lah, Mon. Mau dia nyesel apa enggak. Aku nggak peduli. Pokoknya, keinginanku udah bulat. Aku akan bercerai sama Mas Rendy.”
“Aku dukung apapun keputusan Mbak Ajeng. Tapi, nanti jangan lupa ambil aku kalau semua udah selesai.”
Ajeng mengangguk. Memberikan senyum kecil kepada Monik.
Tak tahu saja mereka jika pertemuan mereka sedang diawasi oleh orang yang sedang mereka bicarakan.
“Ternyata, bener kata lo, Don. Lebih baik membuntuti Monik dibandingkan menunggu Ajeng di Tower Raflesia.” Senyuman itu nampak begitu menyeramkan bagi siapa saja yang melihatnya.
“Apa yang akan Bos lakukan?”
“Tentu saja menyeretnya pulang. Tapi, tidak disini karena akan menimbulkan perhatian banyak orang. Aku akan menunggu sampai mereka selesai berbicara.”
Doni mengangguk saja.
“Lihatlah, Don. Dia kabur dari rumah sejak kemarin saja, sudah merubah penampilan seperti itu. Apa maksudnya? Apa dia nggak mau kalah dari Brina? Dia ingin menarik perhatianku, Don?”
Doni tersenyum samar. “Entahlah, Bos. Saya nggak yakin kalau penampilan itu untuk anda. Soalnya, Ajeng nggak tahu kita ada disini.”
“Lalu, apa pacar barunya yang melakukan itu? Setahuku, Ajeng bukan orang yang suka berpenampilan berlebihan.”
“Itu nggak berlebihan, Bos. Ajeng hanya merubah cara berpakaian menjadi lebih menarik. Bahkan, lebih menarik dari Brina. Ekhem, jangan tersinggung, Bos.” Doni tak enak hati.
“Ya, kamu benar, Don. Kalau seperti itu, bahkan dia lebih cantik dari Brina. Dan kamu tahu, Don? Aku nggak suka dia tampil cantik seperti itu.” Rendy mulai menggeram.
“Tapi, semua orang berhak cantik, Bos.”
“Hanya aku yang boleh melihat Ajeng cantik karena aku suaminya.” Tekan Rendy.
Saking mendadak emosinya, Rendy sampai berdiri.
“Mau kemana, Bos?”
“Kemana lagi, hah?! Tentu saja bawa dia pulang.”
“Jangan gegabah, Bos. Kalian kan public figure.”
“Tapi aku nggak tahan ingin memarahinya, Don."