seorang perempuan yang mempunyai kesalahan untuk jatuh cinta terhadap seseorang, dari sekian banyaknya laki-laki di dunia ini mengapa ia pilih laki-laki itu untuk menjadi kekasih hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon naura hasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Setelah melewati begitu panjang ujian hidup yang Hasna alami. Rasa pahit dan semu rasa kehidupan sudah biasa Hasna alami. Ia berharap—untuk masa-masa sekarang semoga saja tidak ada kejadian yang membuatnya kembali down dan tidak kembali mendatangi ruang psikolog.
''Sekarang—semuanya sudah tertangkap, itu artinya semua urusan telah selesai.''
Hasna merasa sangat amat bersyukur dengan kehidupannya di zaman sekarang—ia tidak lagi dikekang oleh Dafa dan Ayra terkait kasus persantet kemarin. Ia juga sampai sekarang belum mendapatkan seorang lelaki terbaik pilihannya untuk mendampingi hidupnya, lebih baik ia menikmati kesendiriannya terlebih dahulu setelah kejadian yang membuatnya sangat-sangat trauma kemarin.
Hasna juga masih sering menyimpan rasa rindu yang mendalam kepada sepupunya yang sudah berada di surga itu.
''Mas—terima kasih ya sudah mau menyelamatkan aku di kehidupan yang sangat kejam ini, mas pasti sudah bahagia ya melihat aku dari atas sana, aku berhasil melawan itu mas.''
Seraya memegang bingkai foto yang di dalamnya berisi foto Fardhan yang sedang memakai baju hitam dengan dilengkapi celana panjang yang berwarna senada dengan bajunya.
Dimata Hasna—wajah Fardhan terlihat begitu tampan dengan pakaian berwarna hitamnya. Wajahnya terlihat bersinar seperti ada suatu cahaya dari wajahnya yang membantu menerangi aura wajahnya. Dengan wajah yang khas Jawa.
"Besok aku mau pergi ke tempat di mana kita pertama ketemu, tunggu aku di sana ya mas," katakku seraya mengukir lipatan di antara bibir dan hidungku dengan mencium foto Fardhan dan dalam hatinya mengatakan aku rindu padanya.
Sejak Fardhan meninggal itu ia di tempatkan di kota asalnya yaitu blitar Jawa Timur. Jadi, Hasna selama ini belum bisa mengunjungi makamnya secara langsung karena masih banyak sekali kesibukan yang harus diselesaikan detik itu juga.
"Tunggu aku ya," ucapku lirih. Aku memeluk erat bingkai foto sepupu lelaki itu dengan perasaan rindu yang sangat mendalam, susah untuk melupakan momen-momen manis yang telah dilewati.
Dari arah dapur Rani tiba-tiba memanggil sang putrinya. "Nak sini dulu hampiri ibu, ibu mau bicara mendalam sama kamu!"
"Iya, bu."
Hasna berjalan menghampiri ibunya yang sedang berada di dapur itu. Langkah kakinya bergerak pelan, matanya fokus kehadapan depan tegak dan lurus.
Sesampainya di ruang masak atau dapur Hasna tidak langsung menanyakan hal apa yang ingin diobrolkan mendalam oleh ibunya itu. Tapi, ia memutuskan untuk menyapa sang ibu dan membantu ibunya dalam memasak suatu makanan asin yang tentu lezat.
"Oh iya bu, tadi katanya mau nanya—nanya apa?" Tanyaku.
"Sebentar ya nak, ibu lagi masak dulu—kamu tunggu dulu."
Hasna pun mencari kursi yang empuk dan nyaman untuk ia duduki dengan tenang. Ia menghirup wangi masakan yang sepertinya sangat lezat dan tak tahan untuk segera mencicipinya. Ia terus memperhatikan pergerakan spatula yang sedang berputar mengaduk semua bumbu masakan agar tersambung dengan baik dan enak dilihat.
Rani yang sedang mengaduk masakannya itu hampir lupa sepertinya dengan apa yang ingin ia bicarakan.
"Oh iya ibu kan mau bicara, kita langsung saja ya berbicara berdua seperti ini—papa kamu sudah tahu mengenai hal ini—tinggal kamu yang belum ibu dan papa kasih tahu."
"Mengenai hal apa bu? Hal apa lagi aku hadapkan?" Hasna sudah merasa muak sepertinya dengan semua perdramaan cinta yang tak kunjung selesai. Endingnya entah berada di mana, hidupnya seperti diajak untuk berputar di situ saja. Ia menginginkan hidup bebas tanpa harus memikirkan jodohnya yang pasti siapa. Ia harus fokus menenangkan diri juga, kesembuhan untuk mentalnya sendiri.
"Untuk hal ini tolong kamu jangan salah paham dulu nak, kita sebenernya bukan mau maksa kamu untuk menikah kembali setelah kamu mendapatkan cobaan seberat itu. Tapi, kita hanya ingin mengajak kamu ke suatu tempat yang mungkin bisa untuk menyembuhkan mental kamu dan kembali melanjutkan hidup kamu. Karena mau bagaimanapun, ketika hidup kamu sedang berduka tapi hidup kamu harus terus berjalan. Tidak bisa jika hidup kamu di situ saja, oke? mau ya," Ibuku mengajakku untuk datang ke suatu tempat yang bisa melepaskan semua kekacauan aku selama ini.
"Yasudah, ayo," aku menganggukkan kepalaku menandakan setuju atau menyetujui ajakan ibuku itu.