NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:819
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23: Pria menyebalkan

Hari sudah menjelang siang. Semburat awan putih tipis dan terik matahari yang mulai meninggi membentang luas di cakrawala, membentuk pemandangan seperti lukisan abstrak yang baru saja selesai dibuat. Nayara berdiri terpaku, matanya menatap jauh ke arah langit biru yang begitu damai. Namun, di balik ketenangan itu, dadanya sesak, dan beberapa kali ia menghela napas panjang penuh beban. Semua yang terjadi belakangan ini terasa jauh dari bayangannya—perasaan yang selama ini ia hindari kini malah menjebaknya dalam kerumitan yang tak diharapkan. Namun suara lembut Dira memecah lamunannya.

“Sudah selesai, kalian hati-hati di jalan, ya,” ucap Dira sambil menutup pintu mobil, meninggalkan Zevian dan Nayara yang masih berdiri di depan bangunan butik tersebut. Nayara menatap kepergian mobil itu dengan tatapan kosong, lalu berkata.

“Tuan juga pulanglah. Aku harus ke kampus.” Ujar nya yang membuat Zevian, yang sejak tadi diam, tiba-tiba menyahut dengan santai.

“Saya ikut.” Jawab nya yang membuat Nayara menoleh, matanya menatap lekat pria itu penuh ketidakpercayaan.

“Tidak, untuk apa?” tanyanya dengan nada tak habis pikir, tapi Zevian hanya memasukkan kedua tangan ke saku celana, tetap memandang Nayara tanpa mengubah ekspresi dinginnya sedikit pun.

“Tentu saja untuk mengawasi kamu supaya tidak dekat-dekat dengan pria lain,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun nada bercanda.

“Dasar menyebalkan,” gumam Nayara kesal.

“Lebih menyebalkan rasanya kalau membiarkanmu pergi sendirian dalam keadaan seperti ini,” balas Zevian, suaranya tetap tenang namun penuh makna. Nayara menghela napas pelan, berusaha menahan emosi yang mulai mengusik pikirannya.

“Keadaan seperti apa? Tidak ada yang salah denganku,” katanya, nada suara bergetar sedikit. Zevian mengangkat bahu tanpa ekspresi.

“Mungkin tidak. Tapi saya tetap saja tidak tenang.”ujar nya.

“Aku bukan anak kecil yang harus anda awasi terus-menerus,” suara Nayara mulai meninggi, meski dia berusaha tetap tenang.

“Saya tahu,” sahut Zevian singkat, lalu menambahkan, “Tapi tetap saja saya akan ikut.” lanjut nya tanpa memberi kesempatan Nayara untuk menolak, Zevian berjalan melewati tubuhnya menuju mobil. Nayara hanya bisa berdiri terpaku, rahangnya mengeras karena jengkel. Namun, pada akhirnya, ia menghela napas berat dan mengikuti langkah pria itu tanpa sepatah kata.

Di dalam mobil, keheningan terasa berat di bawah sinar matahari siang yang menembus kaca, memantul di dashboard dan kursi kulit hitam. Hanya suara desahan pendingin udara dan tarikan napas yang sesekali terdengar, mengisi ruang yang terasa sempit. Nayara duduk membelakangi Zevian, tatapannya kosong menelusuri lekuk jendela, di mana cahaya matahari memantul di gedung-gedung tinggi dan kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan kota. Ia enggan menoleh ke arah pria yang kini duduk di balik kemudi, sosok yang selalu berhasil membuatnya gemas sekaligus kesal. Sinar siang yang hangat tak mampu mengusir rasa jengkel dan kekesalan yang menumpuk di dadanya.

“Kenapa anda selalu memaksakan kehendak sendiri?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan. Zevian melirik sekilas ke arah Nayara, lalu kembali fokus pada jalan yang membentang di depan.

“Karena saya tahu apa yang saya inginkan.” balas nya santai.

Sesampainya di depan kampus, mobil berhenti dengan perlahan. Suara mesin yang semula terdengar halus kini mati sepenuhnya, menyisakan kesunyian yang hanya dipecahkan oleh deru angin dan langkah-langkah mahasiswa yang lalu-lalang di pelataran.

Zevian membuka pintu dan keluar terlebih dahulu. Dengan satu tangan ia menyelipkan kunci mobil ke saku jasnya, sementara tangan lainnya merapikan lengan kemeja yang tergulung rapi. Di sisi lain, Nayara membuka pintunya dengan ragu. Ia sempat menoleh pada Zevian sebelum akhirnya turun.

"Jangan ikut. Sampai di sini saja, Tuan," ucap Nayara pelan namun tegas, menahan langkahnya dan memandang Zevian yang berdiri di sisi mobil.

Namun, pria itu hanya menatapnya datar, lalu mulai melangkah dengan santainya. Ia tidak menggubris permintaan Nayara sedikit pun, seolah kata-kata itu hanya sekadar desir angin yang tidak layak didengarkan. Nayara menghela napas berat. Lagi-lagi, ia kalah bicara dengan pria keras kepala itu.

Langkah mereka pun beriringan, walau sangat kontras. Nayara berjalan anggun namun sedikit kaku, menahan risih yang sudah menjalar hingga ubun-ubun. Zevian, di sisi lain, tampak tak tergoyahkan, berjalan santai dengan tangan di saku dan tatapan lurus ke depan, tak peduli pada ratusan pasang mata yang mulai memperhatikan mereka.

Dalam hitungan detik, atmosfer di depan gedung utama berubah. Semua mata tertuju pada mereka. Beberapa mahasiswa terperangah, sebagian lagi berbisik pelan sambil menunjuk ke arah Zevian. Bahkan beberapa dosen yang kebetulan lewat terlihat menahan napas, seolah tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Nayara menundukkan kepala, menahan malu yang mulai membakar wajahnya.

"Tolong berhenti mengikutiku seperti ini. Aku risih," bisiknya sekali lagi, hampir tak terdengar. Namun Zevian tetap bergeming. Ekspresinya sama sekali tidak berubah, seperti patung marmer yang dingin dan tak bernyawa.

Bukan hanya karena sikapnya yang seenaknya, Nayara semakin jengah karena Zevian selalu mengintilinya, ke mana pun ia pergi. Bahkan ketika Nayara hanya ingin menghadiri perkuliahan seperti biasa, pria itu tetap bersikeras untuk ikut, tanpa memberi sedikit pun ruang untuk penolakan. Semua cara sudah ia lakukan—berdebat, marah, bahkan diam dalam waktu yang cukup lama. Namun tak satu pun berhasil membuat pria itu mundur. Dan hari ini, akibat kehadirannya, seluruh kampus geger.

“Dia... Zevian Steel, bukan?” bisik salah satu mahasiswi di lorong.

“Yang dari keluarga Steel itu? Astaga, dia tampan sekali...”

“Apa Nayara kekasih nya? Kenapa bisa sedekat itu?”

Bisik-bisik itu menyeruak seperti gelombang yang tak terbendung. Setiap langkah yang mereka ambil seperti mengundang badai tatapan dan asumsi dari semua penjuru. Beberapa orang bahkan menundukkan kepala sebagai bentuk hormat atau mungkin kekaguman saat mereka lewat. Namun Zevian tetap berjalan tenang, seolah semua itu tidak pernah terjadi. Ketidaktergangguannya semakin membuat Nayara jengkel.

Bagi Nayara, berada di dekat pria itu sudah bukan hal yang aneh. Bahkan, jika bisa memilih, ia lebih baik tidak mengenalnya sama sekali. Tapi bagi semua orang yang mengagumi sosok tampan yang dikenal dingin dan nyaris tak pernah menampakkan dirinya secara publik itu, kehadiran Zevian adalah sebuah keistimewaan. Seorang pria yang memiliki darah Italia, pewaris utama kerajaan bisnis keluarga Steel, yang bahkan tidak menunjukkan wajahnya kepada rekan bisnis sekalipun kecuali kepada orang-orang yang dianggap penting.

Kini, wajah itu muncul begitu saja di lingkungan kampus, berjalan di samping seorang mahasiswi biasa bernama Nayara.

“Seperti anugerah...” begitu ucapan mereka yang berhasil melihat langsung wajah Zevian dari jarak dekat. Bisik-bisik di seluruh kampus kini berubah menjadi gemuruh—bagaikan paduan suara yang tak pernah dilatih, tapi serempak menggema dalam irama kehebohan.

Namun Nayara tidak lagi peduli. Ia sudah terlalu jenuh untuk memikirkan semua komentar itu. Dengan tenang, ia melangkah menuju jurusan tempatnya biasa belajar, membawa setumpuk berkas yang harus ia serahkan kepada dosen pembimbing. Hari ini ada revisi makalah yang harus dikumpulkan, dan beberapa administrasi tugas akhir yang perlu ia urus sebelum tenggat waktu.

Sepanjang hari, Zevian tetap mengikutinya.

Nayara duduk di bangku tunggu fakultas dengan tenang saat Nayara memasuki ruang dosen, menyerahkan revisi laporan kasus mingguan kepada pembimbingnya. Tak ada percakapan antara mereka—hanya diam, namun kehadiran Zevian selalu terasa, seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar menghilang dari pandangan.

Saat Nayara mengikuti seminar kasus di ruang diskusi utama, Zevian juga ikut masuk tanpa ragu. Ia duduk di deretan kursi paling belakang, bersandar santai dengan tangan terlipat di dada, menatap ke arah Nayara yang tengah berdiri di depan layar proyektor, menjelaskan hasil analisisnya mengenai pasien dengan diagnosis lupus eritematosus sistemik.

Beberapa mahasiswi yang duduk di dekat Zevian tampak tidak bisa fokus. Pandangan mereka mencuri-curi waktu untuk melihat wajah pria itu yang begitu tenang, padahal jelas—kehadirannya bukan bagian dari agenda akademik.

“Siapa pria itu?” bisik salah satu mahasiswi kepada temannya.

"Dia tuan muda Steel," ujar yang lain pelan.

“Sepertinya bukan dari sini…” tambah yang lain nya.

"Jelas bukan... dia lulusan Oxford... putra pertama Keluarga Steel," ujar yang lain menimpali.

“Tapi dia keren sekali. Gila, auranya beda…” tambah satu yang lain.

“Ssst! Fokus, dia lihat ke arah kita!” tegur teman nya yang lain langsung pura pura pokus pada laptop nya.

Zevian hanya mengangkat alis mendengar bisikan itu, tetapi tetap tak bereaksi lebih jauh. Matanya kembali tertuju pada Nayara. Saat seminar usai dan semua peserta keluar ruangan, Nayara menghampiri Zevian yang masih duduk di tempatnya.

“Tuan… bisa tolong, jangan ikut masuk ke dalam kelas seperti ini?” bisik Nayara, menundukkan suara agar tidak menarik perhatian. Namun Zevian hanya meliriknya santai.

“Saya hanya duduk, tidak membuat kegaduhan.”balas nya tenang.

“Tapi semua orang jadi tidak fokus karena anda.” ujar Nayara lagi.

“Bukan salah saya kalau mereka tidak punya kontrol diri,” jawabnya pendek, lalu berdiri. Tinggi badannya membuat Nayara harus sedikit menengadah untuk menatap wajahnya. Nayara mendesah lelah, tapi tidak melanjutkan perdebatan. Ia tahu, bicara lebih jauh hanya akan membuang energi.

Ketika jam menunjukkan pukul dua siang, Nayara mengikuti sesi bedside teaching di ruang rawat inap bersama dosennya dan beberapa rekan sejawat. Mereka berdiri mengelilingi tempat tidur pasien, mencatat kondisi klinis dan mendiskusikan kemungkinan terapi lanjutan. Di luar ruangan, Zevian tetap menunggu, berdiri bersandar pada dinding lorong rumah sakit pendidikan dengan tangan menyilang, memperhatikan pintu yang tertutup rapat.

Beberapa perawat lewat dan meliriknya diam-diam. Beberapa bahkan berbisik, tertawa pelan, lalu cepat-cepat berlalu sambil menahan senyum. Zevian tampak tidak terganggu. Sesekali ia mengecek ponsel atau sekadar melihat jam tangannya, namun matanya tak pernah benar-benar meninggalkan arah pintu tempat Nayara berada.

Setelah sesi selesai, Nayara keluar dengan ekspresi letih. Keringat di pelipisnya menandakan betapa intensnya diskusi klinis tadi.

"Ouh... untuk apa masih di sini... aku bilang pulang saja,” gumam Nayara, separuh bicara pada diri sendiri.

"Ayo beli minuman," Ujar nya.

Tanpa menunggu balasan, Zevian berjalan lebih dulu ke arah kantin kampus. Beberapa menit kemudian, saat Nayara duduk di salah satu meja di sudut kantin, Zevian datang membawa dua gelas minuman. Ia meletakkannya di meja tanpa berkata apa pun, lalu duduk di samping Nayara.

“Anda dengar? Sudah cukup... pulang lah,” Ujar nayara berusaha sehalus mungkin.

“Saya pulang jika kamu pulang,” balas Zevian datar.

Mata Nayara menatapnya dalam, mencoba membaca maksud di balik ketenangan itu. Tapi seperti biasa, ia hanya menemui dinding tak bernama—dingin dan rapat.

Selama mereka duduk bersama, banyak mahasiswi lain yang berlalu-lalang sambil melirik ke arah mereka. Beberapa berpura-pura lewat hanya untuk melihat lebih dekat. Namun tidak satu pun dari mereka yang berani menyapa ataupun bertanya siapa Zevian. Aura milik pria itu terlalu tajam untuk ditembus.

Sementara Zevian, pria itu bertingkah seolah dirinya juga bagian dari mahasiswa di sana—berpakaian rapi, membawa tablet, bahkan membaca sesuatu di ponselnya yang tampak seperti dokumen bisnis. Tapi jelas, semua mata wanita berusaha mencuri perhatiannya.

Namun perhatian Zevian hanya tertuju pada satu orang: Nayara.

Setelah seharian yang penuh kepenatan dan tatapan penasaran dari seluruh penjuru kampus, akhirnya Nayara dan Zevian berjalan menuju mobil yang terparkir di area parkir dosen. Langit sore mulai merona jingga, awan-awan menggantung rendah, seolah ikut mengamati keduanya yang berjalan beriringan dalam diam. Langkah Nayara terasa berat, bukan karena tubuhnya lelah, tetapi karena pikirannya jenuh menghadapi sikap Zevian yang seperti perangko—menempel tanpa jeda, tidak memberi ruang untuk sekadar bernapas lega.

Hari ini bahkan ia tak sempat berbincang santai dengan Vina ataupun Razka. Setiap kali ia hendak berpaling, Zevian sudah lebih dulu berdiri di sana, menyapukan pandangan datarnya yang membuat siapa pun enggan menghampiri.

Sesampainya di depan mobil, Nayara menghentikan langkah. Sorot matanya menatap Zevian yang kini dengan tenang membuka pintu untuknya, seolah semuanya baik-baik saja, padahal di dalam dirinya berkecamuk gelombang frustrasi yang tak bisa ia ungkapkan.

“Tuan tidak lelah? Sebaiknya pulang. Aku bisa melakukan apa pun sendiri,” ucap Nayara lirih, namun tetap tegas. Suaranya mengandung kelelahan yang tak lagi bisa disembunyikan, meskipun ia masih berusaha tampak tenang.

Namun Zevian tidak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya berdiri di sisi pintu yang kini terbuka, menatap Nayara dengan ekspresi dinginnya yang khas, lalu mengangguk pelan—sebuah isyarat agar Nayara masuk ke dalam mobil. Nayara menghela napas kasar. Matanya memejam sejenak, menahan gejolak emosi yang memanas di dalam dada. Lalu dengan gerakan kesal, ia menghentakkan kakinya ke tanah—gerakan kecil yang menunjukkan betapa jengkelnya ia terhadap pria itu.

“Menjengkelkan,” gumamnya nyaris tak terdengar, namun cukup jelas untuk didengar angin sore yang mulai bertiup pelan. Meski begitu, ia tetap melangkah masuk ke dalam mobil, membiarkan pintu tertutup di belakangnya dengan suara pelan yang sarat akan kekesalan yang tertahan.

Zevian masuk beberapa detik kemudian, duduk di balik kemudi tanpa ekspresi. Ia menyalakan mesin dan mulai mengarahkan mobil keluar dari area kampus, tanpa satu kata pun terucap. Hening, hanya suara mesin dan desiran angin senja yang menemani perjalanan mereka.

Nayara duduk di kursi penumpang dengan tangan terlipat di dada dan wajah menghadap jendela. Namun detik berikutnya, ia menoleh cepat, matanya menyala penuh emosi.

“Kenapa anda terus mengikutiku seharian ini,? Apa tuan tidak punya pekerjaan lain selain membuatku merasa diawasi?” suaranya terdengar tegas dan dingin, nada suara yang nyaris seperti cambuk bagi telinga orang biasa. Zevian tetap fokus pada jalanan di depannya. Matanya tidak bergeser sedikit pun.

"Saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawabnya singkat.

"Baik-baik saja? Anda menguntitku sepanjang hari, duduk di luar ruang dosen, masuk ke seminar yang bahkan anda tidak paham isinya, dan diam-diam memperhatikan setiap gerak-gerikku. Itu bukan perhatian, itu namanya penguntitan, Tuan Steel."balas Nayara nyaris tertawa sinis sedangkan Zevian hanya mengangkat sebelah alisnya tanpa menoleh.

“Saya tidak merasa mengganggu. Saya hanya berada di tempat yang sama denganmu.” Ujar nya.

“Tempat yang sama? Astaga, tuan bahkan duduk di ruang seminar dengan wajah datar seolah tuan dosen tamu, padahal jelas tuan tidak punya hak untuk berada di sana!” Ujar nayara yang membuat Zevian akhirnya menoleh sebentar, matanya tenang namun tajam.

“Tidak ada yang mengusir saya.”balas nya.

“Ya, karena mereka takut! Bukan berarti itu benar, tuan!” Nayara hampir berteriak.

“Ya sudah, kalau mereka takut memangnya itu salah saya?” jawab Zevian santai, matanya tetap fokus pada jalanan di depan, seolah sedang membicarakan hal sepele.

“Astaga… ya ampun,” lirih Nayara dengan nada tidak habis pikir, wajahnya menunjukkan campuran antara keheranan dan kesal. “Lagipula, anda ikut ke sana bukan berarti anda mengerti pun dengan penjelasan tadi,” tambahnya, suaranya mulai meninggi.

“Saya mengerti,” balas Zevian santai, tanpa sedikit pun menurunkan intensitas tatapannya ke jalan.

“Apa?” tanya Nayara dengan nada frustrasi yang hampir menyeruak ke suara teriak. “Anda mengerti? Bagaimana mungkin mengerti, jika anda duduk di sana seperti patung, tanpa sedikit pun paham apa yang sedang dibicarakan?” lanjut nya yang membuat Zevian tersenyum tipis, hampir seperti mengejek.

“Mungkin saya mengerti lebih banyak daripada yang kamu kira.”balas nya yang membuat Nayara menatapnya tajam, merasa seolah semua kesabarannya mulai terkikis.

“Lebih banyak? Jangan bercanda! Anda bahkan tidak bisa mengikuti satu kalimat pun dari seminar itu.”balas nya.

“Maka dari itu, saya di sini untuk belajar—dengan cara saya sendiri,” jawab Zevian tenang, seolah-olah semua itu sudah jelas bagi siapa saja yang memahaminya.

“Belajar? Dengan cara menguntitku kemana-mana seperti bayangan yang tidak diinginkan?” Nayara hampir teriak, suaranya pecah oleh campuran kemarahan dan keputusasaan. Zevian menoleh pelan ke arahnya, ekspresinya tak berubah sedikit pun.

“Kalau saya mengganggu, mengapa kamu tidak menegaskannya dengan kata-kata yang lebih tegas?” ujar nya yang membuat Nayara menarik napas panjang, mencoba mengendalikan amarah yang hampir meledak.

“Karena aku tahu, tidak akan ada yang mengubah sikap anda. Anda keras kepala, dan ini bukan hanya soal aku, tapi tentang privasi dan rasa hormat!” ujar Nayara yang membuat Zevian hanya mengangguk pelan, seolah mendengarkan tapi tidak benar-benar memikirkan.

“Kalau begitu, saya akan tetap di sini. Sampai kamu membiarkan saya.” balas nya yang membuat Nayara akhirnya mengangkat tangan menyerah, menurut nya sia sia berdebat dengan Zevian.

"Terserah," ujar Nayara menyerah, suaranya pelan namun sarat dengan kelelahan. Ia menyandarkan punggungnya pada jok mobil, memejamkan mata sejenak untuk meredam emosi yang masih tersisa di dadanya.

Setelah perdebatan panjang yang melelahkan itu, kini keduanya tengah berada di sebuah restoran mewah di pusat kota. Restoran itu tampak tenang dengan interior elegan bergaya klasik modern—meja-meja kayu berlapis marmer putih, lampu gantung kristal yang menggantung rendah, serta alunan musik piano instrumental yang mengisi ruang dengan kesan eksklusif.

Zevian, seperti biasa, duduk tegak dan tenang, memesan beberapa menu tanpa perlu membuka daftar makanan. Sedangkan Nayara, masih dengan wajah masam, hanya memilih menu ringan—sepiring salad dan segelas lemon tea dingin. Ia menyebutnya "makan-makan saja," karena terlalu sore untuk dikatakan makan siang dan terlalu awal untuk disebut makan malam.

Setelah mereka menyelesaikan santapannya dalam diam yang canggung, Zevian akhirnya membuka suara.

“Apa mau langsung pulang saja? Atau ingin makan yang lain dulu?” tanyanya, suara baritonnya terdengar tenang, seolah insiden sepanjang hari tadi tidak pernah terjadi. Tatapannya tertuju pada wajah Nayara, mencari celah dari emosi yang ia tahu masih belum reda.

“Iya,” ucap Nayara datar tanpa menoleh sedikit pun.

Bagaimana mungkin Nayara tidak merasa jengkel? Seharian penuh ia menjadi pusat perhatian karena ulah Zevian. Satu kampus gempar membicarakan kedekatan mereka. Bahkan gosip murahan pun mulai beredar—beberapa menyebutnya wanita penggoda yang berhasil membuat pewaris utama keluarga Steel menaruh perhatian.

Nayara hanya bisa menghela napas. Baginya, penilaian seperti itu memang sudah lazim di lingkungan sosial seperti ini. Namun tetap saja, hatinya tersulut. Ia bukan tipe wanita yang akan tergila-gila hanya karena wajah tampan atau kekayaan seseorang. Nayara bukan seperti wanita-wanita yang terlihat histeris setiap kali Zevian muncul. Dirinya bukan bagian dari kerumunan itu. Ia bahkan satu-satunya yang menolak mentah-mentah ajakan Zevian untuk menikah—sesuatu yang mungkin dianggap mustahil bagi sebagian besar perempuan.

Dan kini, setelah hari yang begitu melelahkan, duduk satu meja dengannya pun terasa seperti ujian kesabaran yang tidak kunjung usai.

“Hanya ‘iya’ saja? Kamu mengiyakan apa? Mau langsung pulang atau mau makan lagi?” tanya Zevian, nada suaranya terdengar kecewa meski berusaha disembunyikan dengan mimik datar.

Dalam hati, Zevian mulai merasa jenuh. Ia merasa bahwa Nayara benar-benar menganggap ucapan tentang pernikahan kontrak 2.400 jam itu sebatas formalitas, tanpa membuka sedikit pun celah bagi dirinya untuk masuk ke dalam hati wanita itu. Ia menghela napas pelan, menyandarkan punggung pada sandaran kursi dengan tatapan menerawang.

“Ya. Lalu Anda ingin aku bicara seperti apa?” balas Nayara datar, nada kesalnya masih terasa kuat. Nayara bahkan tak sudi melirik pria di hadapannya. Bibirnya mengerucut kecil, menunjukkan bahwa ia sudah cukup sabar untuk hari ini.

Zevian tersenyum—senyum penuh rencana. Seolah-olah mendapat ilham yang sangat brilian, ia kemudian bersuara dengan percaya diri, membusungkan dada sedikit.

“Harusnya kamu bicara...” ucapnya sambil meletakkan dagu di antara kedua tangannya, matanya berbinar seperti anak kecil yang sedang merencanakan kenakalan.

“Yes, baby. Let’s go home. I’m tired. (Iya, sayang. Ayo pulang sekarang. Aku capek.)” Zevian menirukan suara manja yang terlalu dibuat-buat, lengkap dengan ekspresi sok imut yang tidak cocok dengan wajah tegas dan citranya sebagai pria dingin.

Nayara memalingkan wajah dengan cepat—bukan karena malu, bukan pula karena terpesona. Ia justru menahan dorongan ingin muntah. Ekspresi jijik tergambar jelas di wajahnya.

“I’d rather stay quiet than talk to you like that, (Aku lebih baik diam daripada harus bicara padamu dengan cara seperti itu.)” ucap Nayara tanpa ekspresi, tetapi nada suaranya sangat tajam. Ia benar-benar tidak bisa menerima akting berlebihan Zevian yang menurutnya sangat bertentangan dengan sifat aslinya.

“Katanya kamu akan menuruti apa pun yang saya inginkan?” Zevian merengek kecil, kini memasang ekspresi kecewa yang dibuat-buat, alisnya sengaja dinaikkan seperti anak kecil yang tak diberi permen.

“Dia ternyata tidak bisa mencerna bahasa manusia dengan baik,” cetus Nayara menohok, kali ini sambil meneguk lemon tea-nya dengan tenang seolah tidak ada yang salah dengan kata-katanya.

“Yakk! Sopan kah bicara seperti itu pada calon suamimu?” Zevian mendesis kesal. Ia merasa usahanya untuk menggoda Nayara hari ini benar-benar sia-sia. Padahal ia sudah rela mengorbankan harga dirinya—melempar semua sisi dinginnya hanya untuk mencoba terlihat manis.

“Aku lelah. Aku ingin pulang. Tolonglah!” ucap Nayara masih dengan nada datar, tetapi kini disertai dengan pandangan tajam. Ia tidak sedang ingin bercanda, dan jelas tak ingin mendengarkan rayuan kekanak-kanakan dari pria yang selama ini dikenal arogan dan posesif. Zevian terdiam beberapa detik. Ia menatap Nayara lekat-lekat sebelum akhirnya mengangguk kecil.

“All right, Princess. Let’s go home, and I’ll take you home,” ucapnya. Kali ini nadanya lebih tenang, lebih dewasa. “Kita memang harus pulang secepatnya… agar bisa segera menyelesaikan semuanya.” lanjut Zevian akhirnya.

Meski Nayara tampak tak ingin mendengarkan sepatah kata pun dari gombalannya, Zevian tetap merasa bahwa tidak ada salahnya mencoba membuka pintu hati untuk wanita sebaik itu. Setidaknya… ia sedang belajar, walau jalannya terasa berat dan tidak menjanjikan apa-apa.

Zevian melambaikan tangan memanggil seorang waitress yang sedari tadi berdiri tak jauh dari meja mereka. Gerakannya santai, namun tegas dan mengundang perhatian. Tak lama kemudian, pelayan perempuan itu menghampiri mereka sambil membawa bill dan alat pembayaran elektronik, lalu menunduk sopan di hadapan Zevian.

"Ya, Tuan," ucapnya ramah dengan senyum profesional.

"Bill-nya," jawab Zevian dengan nada datar, wajahnya tetap tenang, tak sedikit pun menampakkan emosi seperti biasa. Entah kenapa, sikap manisnya hanya muncul pada orang-orang tertentu—ibunya, ayahnya, adik perempuannya... dan kini, perlahan tapi pasti, pada calon istrinya yang keras kepala itu.

Rasa sayangnya pada Nayara mulai tumbuh tanpa kendali, meski gadis itu belum juga membuka hati. Tapi Zevian yakin, bahkan terlalu yakin, bahwa pada akhirnya Nayara akan jatuh juga. Dan kalau sampai kontrak pernikahan mereka usai sebelum ia berhasil menaklukkan hati Nayara... maka, ia akan menemukan cara lain. Bahkan jika itu berarti memaksa gadis itu untuk tetap tinggal bersamanya—apapun yang terjadi.

"Tuan, ingin membayar dengan kartu atau tunai?" tanya pelayan itu sopan, tangannya sudah bersiap memproses pembayaran.

“Kartu,” jawab Zevian santai sambil menatap angka pada tagihan yang tertera. Tanpa pikir panjang, ia menarik dompet dari saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu hitam eksklusif yang tak semua orang bisa miliki—lalu menyerahkannya pada pelayan itu.

“Baik, Tuan. Mohon tunggu sebentar,” ucap pelayan itu sembari menempelkan kartu tersebut ke alat pembayaran. Beberapa detik kemudian, transaksi selesai dan ia menyerahkan kembali kartu berikut struknya.

“Ini kartunya, Tuan. Terima kasih banyak atas kunjungannya, semoga Anda bersedia mampir kembali. Selamat sore,” katanya sopan sambil membungkuk sedikit. Zevian hanya mengambil kartu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Struk yang disodorkan pelayan itu dibiarkannya tergeletak di atas meja, seperti tak layak dibawa.

Tatapannya kini beralih pada Nayara.

"Ayo pulang," ucapnya pelan sambil berdiri, lalu menggenggam tangan Nayara dengan tenang namun kuat.

Nayara sontak berusaha menarik tangannya—matanya melotot kesal, wajahnya menegang—namun sia-sia. Genggaman Zevian terlalu erat. Ia menggeram pelan, mengalah hanya karena tahu usahanya akan percuma.

Dengan langkah malas, ia mengikuti pria itu keluar dari restoran. Malam sudah turun sepenuhnya, lampu-lampu kota menyala temaram seperti bintang buatan. Suara mesin mobil sport Zevian mengaum pelan saat ia menyalakannya, lalu melajukan kendaraan itu menembus jalanan ibukota yang mulai lengang.

Di dalam mobil, Nayara hanya diam. Matanya menatap keluar jendela, mencoba tak terganggu oleh tangan Zevian yang masih sesekali menggenggam tangan kirinya.

Sementara itu, Zevian menyetir dengan satu tangan di kemudi dan satu tangan lagi seolah enggan melepas perempuan di sampingnya. Dalam hatinya, ia tersenyum penuh ambisi. Malam ini belum selesai—dan ia belum selesai menaklukkan Nayara.

Setelah keheningan yang terasa panjang dan berat itu, akhirnya Zevian membuka suara.

“Malam ini kita akan ke rumahmu. Saya ingin minta restu orang tuamu,” ujar Zevian sambil melirik sekilas ke arah Nayara.

“Aku tidak yakin Papa akan setuju. Kalau dia tidak setuju, aku tidak akan ikut campur,” jawab Nayara dengan nada acuh, tak menatap ke arah Zevian.

“Kamu pasti akan ikut campur kalau dia menolak. Saya yakin itu, dan saya juga akan pastikan kamu sendiri yang akan membujuk ayahmu untuk restu pernikahan kita,” kata Zevian dengan percaya diri, senyum tipis tersungging di bibirnya.

Nayara mengernyitkan dahi, curiga dengan ucapan pria itu. Setelah beberapa hari selalu bersama Zevian, instingnya mulai siaga dan waspada, selalu siap menghadapi kemungkinan Zevian melakukan hal nekat seperti biasanya.

“Aku tidak akan melakukannya,” tegas Nayara, nada suaranya penuh keyakinan.

“Waktu yang akan melakukannya untuk kita,” jawab Zevian dengan suara misterius.

Nayara hendak membalas, tapi ponselnya tiba-tiba berdering, memotong pembicaraan mereka. Ia melirik Zevian sekilas sebelum mengangkat teleponnya. Dengan sengaja, ia mematikan musik yang tadi mengalun pelan di mobil itu, memberi ruang bagi suara di telepon.

“Iya, hallo, Ka,” suara Nayara terdengar tenang meski matanya tetap fokus pada jalanan yang membentang di depan mobil. Ia berusaha menahan tekanan dari genggaman Zevian yang masih erat meremas tangannya.

“Kamu di mana? Katanya ingin bertemu? Aku dan Vina sudah ada di tempat yang kami kirimkan Sherlock-nya tadi,” tanya Razka dengan nada sedikit bingung.

“Ya ampun, aku lupa... Maafkan aku. Seharian ini aku sibuk sekali. Ya Tuhan, aku benar-benar minta maaf,” jawab Nayara dengan suara penuh penyesalan, merasa bersalah karena bisa-bisanya lupa tentang janji itu.

“Lalu sekarang bagaimana? Kita jadi bertemu atau tidak?” suara Razka terdengar semakin penasaran.

“Iya... Akhh,” Nayara mendelik tajam ke arah Zevian. Perlahan ia menarik tangannya yang terjepit di genggaman pria itu, meringis kecil karena sakit. Namun Zevian hanya mengalihkan pandangannya ke jalanan, tanpa menanggapi tatapan tajam Nayara, seolah menunjukkan bahwa dia tidak peduli.

“Nay, kenapa?” tanya Razka dengan nada cemas di ujung sana.

“Ti... tidak ada, tadi kakiku terjepit,” jawab Nayara cepat, sebuah kebohongan kecil yang keluar dari mulutnya. Zevian di sampingnya tersenyum tipis, hampir tak terlihat, menandakan dia mengerti bahwa dia berhasil menghalanginya.

“Akhh, begitu... Jadi kita harus bagaimana? Kita sudah menunggu sejak tadi tapi kamu tidak kunjung datang,” kata Razka sedikit kesal.

“Iya, a... Akhh, shit!” Nayara mengumpat pelan saat Zevian kembali meremas tangannya. Rasa sakit memaksa dia menarik tangan dari genggaman itu, tapi tanpa ampun Zevian menariknya kembali, tanpa kata, hanya dengan gerakan tangan yang tegas dan penuh posesif.

“Nay...” suara Razka terdengar ragu.

“Aku minta maaf. Sebenarnya aku ada urusan lain bersama Papa yang tidak bisa aku lewatkan. Hari ini aku benar-benar banyak pekerjaan, jadi belum sempat menemui kalian. Tadinya aku ingin menceritakan sesuatu, tapi karena ini, aku rasa aku harus menundanya. Aku minta maaf, tapi apakah kita bisa janjikan ini lain waktu?” ujar Nayara, berusaha menjaga nada formal tapi tetap terdengar lembut.

“Kamu semakin mencurigakan semenjak pulang dari Bogor,” celetuk Vina dengan nada menggoda di seberang sana.

“Jangan mulai, tolong, drama-mu itu,” balas Nayara sambil tertawa kecil, sedikit mencairkan suasana.

“Kami mengerti. Kita bisa atur lain waktu. Sekarang fokus saja dulu pada Om Thony, kami tidak masalah,” kata Razka dengan penuh pengertian.

“Kalian memang yang terbaik, terima kasih,” tutup Nayara sambil mengakhiri panggilan. Setelah suara di telepon benar-benar hilang, ia kembali melirik ke arah Zevian yang masih fokus menatap ke depan. Pria itu sama sekali tidak menanggapi apapun selama ia berbicara, namun dari caranya mengemudi dengan rahang yang mengeras dan mata tajam yang tidak bergeser dari jalan, Nayara tahu: Zevian tidak suka.

"Kenapa sih, sakit tahu!" gerutu Nayara, menepis tangan Zevian yang tadi mencengkeram tangannya kuat-kuat.

"Lagipula sudah diperingatkan, masih saja tidak mengerti," balas Zevian tanpa menoleh. Suaranya tetap datar, namun mengandung ketegasan yang membuat Nayara mendengus frustrasi.

Nayara menatap Zevian kesal, tetapi memilih tidak melanjutkan argumen. Dengan paksa, ia menarik tangannya keluar dari genggaman pria itu, kemudian memfokuskan perhatiannya pada ponsel. Jemarinya bergerak cepat di atas layar, mengetik sesuatu dengan ekspresi dingin. Zevian sekilas melirik gerakan tangan Nayara dari ekor matanya, lalu kembali menatap ke depan.

“Katakan pada Papa, keluarga kita akan sampai ke sana tepat pukul delapan,” ucapnya, tenang namun jelas. Seolah ia tahu pasti bahwa yang dibalas Nayara saat ini adalah Anthony—ayah gadis itu.

Namun Nayara tidak menanggapi. Ia tetap asyik mengetik pesan, seakan tak peduli dengan perintah Zevian. Dalam hatinya, ia mengumpat keras, namun bibirnya tetap terkunci rapat. Ia tahu, Zevian bukan tipe pria yang bisa dikalahkan dengan kata-kata, apalagi kemarahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!