Pernikahan Nilam dan Angga berjalan dengan lancar. Namun tidak dengan malam pertama mereka. Nilam berhalangan untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri karena kedatangan tamu bulanan. Angga pun pamit dan meninggalkan Nilam di kamar hotel seorang diri.
Keluar dari kamar Nilam, Angga mengetuk pintu kamar lain di lantai yang sama. Seorang wanita dengan pakaian tidur yang tipis menyambut Angga.
"Kamu sengaja memberikan aku obat," ucap Angga.
Wanita itu tertawa. Angga tidak lagi bicara. Dia menarik tubuh wanita itu lalu menjatuhkannya ke atas tempat tidur. Hal yang seharusnya tidak terjadi pun terjadi. Angga berbagi peluh dengan wanita yang sengaja menggodanya.
Bagaimana kelanjutan rumah tangga Nilam dan Angga?
Siapa wanita yang sengaja menggoda Angga di malam pertamanya dengan Nilam?
Yuk simak ceritanya di, SELINGKUH DI MALAM PERTAMA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Bukti Baru
"Paman," ucap Nilam sambil berdiri menghampiri paman Ilham.
"Paman ada keperluan apa?" Tanya Nilam setelah mencium punggung tangan adik ayahnya itu.
"Paman menemukan bukti baru tentang kematian bulek kamu, Nduk," jawab paman Ilham.
"Alhamdulillah Paman, semoga bukti itu bisa menyeret pelakunya untuk segera mendapatkan hukuman." Bukan Nilam yang membalas penjelas paman Ilham, melainkan Bintara.
Kakak Nilam itu ikut berdiri dan mencium punggung tangan paman Ilham. Sudah lima tahun istri pertamanya itu pergi untuk selama-lamanya, tapi belum jelas hingga saat ini penyebab kematiannya. Bukan tidak ikhlas, tapi ada hal yang sangat janggal dengan kematiannya.
Selama ini paman Ilham terus mencari bukti. Detektif dan pengacara sebelumnya tidak banyak membantu, karena itu Bintara dan kakek Mahendra menyarankan paman Ilham untuk mengganti tim pengacaranya. Baru sebentar saja mengganti tim pengacara, mereka sudah bisa mendapatkan bukti baru.
"Kalian di sini mau membahas perceraian?" Tanya paman Ilham setelah menerima jabatan tangan Bintara dan Wildan.
"Iya Paman, sama melengkapi berkas. Alhamdulillah Angga sudah tanda tangan," jawab Nilam.
"Bagus kalau dia sudah mau tanda tangan, biar urusan kamu cepat selesai Nduk." Paman Ilham mengusap sayang kepala Nilam.
Paman Ilham sangat menyayangi Nilam dan Nurma. Dia tidak punya keturunan dari kedua pernikahannya. Nilam dan Nurma bagi paman Ilham bukan keponakan, melainkan sudah seperti anaknya sendiri.
Apalagi setelah ayah Nilam dan Nurma meninggal dunia. Perhatian dan kasih sayang paman Ilham semakin banyak tercurahkan untuk Nilam dan Nurma, agar kedua keponakannya itu tidak kehilangan peran seorang ayah.
"Paman pulang dulu," ucap paman Ilham lagi.
"Paman, tadi bibi Hesti ke rumah untuk bertemu mama. Sepertinya sekarang sudah pulang ke rumah."
Nilam memberitahu paman Ilham tentang bibi Hesti. Jika pagi-pagi sekali pamannya sudah berada di sini, itu berarti dia belum bertemu dengan istrinya itu. Selain itu, Nilam tidak memberitahu paman Ilham jika yang menasehati bibi Hesti untuk pulang ke rumah adalah mama Ratih.
"Pasti mama kamu yang suruh dia pulang dan minta maaf pada Paman." ucapan balasan paman Ilham mengejutkan Nilam. Meskipun Nilam tidak menjelaskan, pamannya bisa menebaknya.
Nilam hanya bisa tersenyum membalas tebakan paman Ilham. Hanya saja Nilam tidak sadar, jika senyumnya itu membuat seseorang semakin mengaguminya. Nilam tidak pernah memperhatikan semua itu, dia bersikap apa adanya saja. Karena untuk saat ini, Nilam benar-benar belum memikirkan masalah hatinya. Dia hanya ingin pernikahannya dengan Angga cepat berakhir, setelah itu fokus dengan karirnya.
"Seandainya hanya masalah dia menghasut kamu untuk menikah dengan Angga, Paman mungkin bisa memaafkannya. Masalahnya sekarang bukan hanya itu kesalahan yang dia perbuat," ucap paman Ilham lagi.
"Apa ada hal lainnya lagi Paman?" Tanya Bintara.
"Nanti juga kamu tahu." Jawab paman Ilham. "Selesaikan saja masalah kalian secepatnya," ucap paman Ilham lagi sambil menepuk punggung Bintara.
Setelah kepergian paman Ilham, Nilam dan Bintara saling pandang. Lalu keduanya sama-sama mengangguk. Seperti apa yang keduanya pikirkan sama, dan hanya lewat mata mereka saling menjelaskan.
Wildan yang memperhatikan keduanya, kembali mengagumi interaksi kedua saudara itu untuk kedua kalinya. Tidak perlu kata-kata yang keluar dari mulut mereka, keduanya bisa sepemikiran.
"Ayo masuk!" Ajakan pak pengacara Nilam dan Bintara itu, membuat mereka kembali fokus dengan tujuan kedatangan mereka pagi ini.
Sebelum Bintara dan Nilam masuk ke ruang kerja pengacara mereka, Wildan pamit untuk kembali ke perusahaannya. Urusan ayah Adela itu di kantor pengacara kakak iparnya ini sudah selesai. Begitupun dengan tujuannya untuk bertemu Nilam, sudah Wildan dapatkan.
Resiko mengagumi istri orang, Wildan harus tahu batasannya. Jadilah dia mencuri-curi waktu dan kesempatan untuk bertemu Nilam setiap harinya. Meskipun harus melihatnya dari kejauhan.
Tidak butuh waktu lama, Nilam dan Bintara sudah selesai konsultasi tentang perceraian mereka dengan pasangan masing-masing. Nilam tidak ingin perceraian bertele-tele, karena tidak perlu ada sidang mediasi lagi, menurutnya. Sayangnya Nilam tetap harus mengikuti prosedur dan tahapan yang ada di pengadilan agama.
"Sudah, tenang saja semua pasti bisa selesai dengan baik." Bintara membujuk Nilam.
Bintara pun sama seperti Nilam, ingin masalah perceraiannya cepat selesai. Tapi mereka bukan orang yang suka melanggar aturan, asal ada uang semua beres. Kakek Mahendra mengajarkan mereka untuk taat aturan. Sebagai salah satu kunci kesuksesan. Bukan mendapatkan semuanya dengan cara instan.
"Semua itu butuh proses. Apapun itu masalahnya. Dengan proses itulah yang menjadikan kita semakin paham akar permasalahannya. Bukan tiba-tiba berhasil tanpa tahu apa saja yang sudah kita lewatkan. Keberhasilan instan itu tidak bisa bertahan lama." Itulah pesan kakek Mahendra yang meminta cucu-cucunya untuk sabar menjalani setiap proses kehidupan mereka.
Seperti masalah yang dihadapi Nilam dan Bintara saat ini. Siapa yang ingin pernikahan mereka gagal, tentu saja tidak ada. Tapi dari masalah ini, menjadikan Nilam dan Bintara semakin Dewasa dalam berpikir.
Selain itu, masalah rumah tangga Nilam dan Angga ini menjadi jalan paman Ilham bisa membuka kotak Pandora atas kasus kematian istri pertamanya, wanita yang sangat dia cintai.
Nilam memberanikan diri bertanya pada pengacaranya mengenai kasus kematian istri pertama paman Ilham. Lebih tepatnya dia ingin memastikan apa yang dia dan Bintara pikirkan benar.
"Maaf Nilam. Meskipun kamu itu keponakan pak Ilham, Saya tidak bisa memberitahu kamu, untuk saat ini. Kecuali ada permintaan dari pak Ilham sendiri."
Sekali lagi Nilam kecewa. Bintara yang sangat memahami Nilam, dia pun mengajak adiknya itu pamit. Mereka harus ke kantor utama Anderson Group. Siang ini ada acara makan bersama menyambut Bintara sebagai ceo baru.
Sementara paman Ilham tidak pulang ke rumah untuk menemui istrinya, meskipun Nilam sudah memberitahu dia tentang bibi Hesti yang sudah keluar dari persembunyiannya. Karena paman Ilham sangat yakin, bibi Hesti tidak berani pulang ke rumah.
Seperti yang ada dalam pikiran paman Ilham, bibi Hesti justru mencari keberadaan ibu Hanum. Dia pun mendatangi rumah sakit tempat Angga di rawat. Sungguh sebuah kejutan bagi ibu Hanum atas kedatangan bibi Hesti, ibu Angga itu sampai ketakutan.
Ibu Hanum sudah mengkhianati kerjasamanya dengan bibi Hesti. Tapi bukan hanya itu saja yang membuat dia takut. Melainkan dia sudah membocorkan sebuah rahasia besar pada paman Ilham.
Setelah hari menangkap basah Angga dan Novia, keesokan harinya paman Ilham menemui bibi Hesti. Pria paruh baya itu bertanya pada bibi Hesti. "Hal apa yang membuat Ibu Hanum mau bekerjasama dengan istri saya?" tanya paman Ilham.
Karena sudah terlanjur berkhianat, ibu Hanum memberitahu semua yang dia ketahui. Penjelasan ibu Hanum tersebut papan Ilham kembangkan, sehingga dia berhasil menemukan bukti baru tentang kematian istri pertamanya.
"Jeng Hanum, pintar sekali kamu bermain-main." Kalimat pertama yang bibi Hesti ucapkan, membuat ibu Angga itu semakin takut.
"Angga, ini akibatnya kamu mengikuti permintaan ibu kamu untuk meninggalkan Nilam," ucap bibi Hesti lagi pada Angga.
Mendengar ucapan terakhir bibi Hesti, Angga mengira ibunya takut pada istri paman Ilham tersebut karena sudah memintanya menikah lagi dengan Maira. Sehingga Angga pun meminta maaf pada bibi Hesti dan meminta jangan menyalahkan ibunya.
"Saya sudah lebih dulu selingkuh dengan Novia, sebelum ibu meminta Saya menikah lagi, Tante." Angga mencoba menjelaskan, agar bibi Hesti tidak marah dan menyalahkan ibunya.
"Sudah Angga, Ibu tidak apa-apa." Ibu Hanum meminta Angga untuk tidak bicara lagi, karena putranya itu tidak tahu mengapa bibi Hesti itu marah padanya.
"Angga bantu menjelaskan Bu. Angga yang salah, bukan Ibu."
Bibi Hesti tertawa melihat ibu dan anak itu berdebat. Namun itu hanya sesaat. Karena setelah itu, ayah Angga dan ummi Laila tiba untuk menjemput Angga. Mereka akan membawa Angga ke pondok kakeknya, agar bisa kembali seperti Angga yang dulu.
Karena jika tetap bersama ibu Hanum, sulit bagi Angga untuk bisa benar-benar bertobat. Sekalipun sudah diberikan teguran seperti saat ini. Pengaruh buruk ibunya akan membuat Angga kembali ke jurang dosa yang sama.
"Kita bertemu lagi Bu Hesti," tegur ummi Laila menyindir bibi Hesti.
Istri paman Ilham itu dinasehati untuk pulang dan minta maaf pada suaminya, tapi justru penasaran dengan apa yang terjadi pada Angga. Seperti yang dia sampaikan sebelum meninggalkan kediaman mama Ratih. "Kalau kalian tidak mau memberitahu tentang sakitnya Angga, tidak apa-apa. Saya bisa cari tahu sendiri."
Sedangkan ibu Hanum semakin ketakutan mengetahui bibi Hesti sudah bertemu ummi Laila dan ayah Angga. Rencananya untuk mempertahankan Nilam sebagai istri Angga bisa terancam gagal.
"Iya, kebetulan sekali." Bibi Hesti menanggapi ucapan Ummi Laila. "Kebetulan lewat, jadi Saya mampir," ucapannya lagi.
Setelah itu dia langsung pamit. Ibu Hanum akhirnya bisa menghembuskan nafas lega. Setelah ini, dia akan menemui paman Ilham untuk meminta perlindungan.