Lovy Crisela Luwiys—gadis ceplas-ceplos yang dijuluki Cegil—dipaksa menikah dengan Adrian Kaelith Evander, pewaris dingin sekaligus Casanova kelas kakap.
Bagi Lovy, ini bencana. Wasiat Neneknya jelas: menikah atau kehilangan segalanya. Bagi Kael, hanya kewajiban keluarga. Namun di balik tatapan dinginnya, tersimpan rahasia masa lalu yang bisa menghancurkan siapa saja.
Niat Lovy membuat Kael ilfil justru berbalik arah. Sedikit demi sedikit, ia malah jatuh pada pesona pria yang katanya punya dua puluh lima mantan. Casanova sejati—atau sekadar topeng?
Di tengah intrik keluarga Evander, Lovy harus memilih: bertahan dengan keanehannya, atau tenggelam di dunia Kael yang berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myra Eldane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malas Sebelum Pesta
Malam itu, Kael memalingkan wajahnya. Wajahnya memanas karena godaan Lovy barusan. "Apa katanya tadi? Si manis?" batinnya. Bahkan telinganya ikut memerah, meski Lovy tidak menyadarinya.
Kael menahan diri, mengepalkan tangannya di sisi tubuh—tapi ternyata sulit. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergolak, mendesak keluar. Tanpa sadar, ia maju setengah langkah.
Lovy tersentak kecil saat punggungnya menyentuh pagar balkon dingin. Detak jantungnya melompat.
Astaga… dia mendekat!
"Kael?" suaranya hampir tidak terdengar, seperti bisikan yang melayang di udara malam.
Kael tidak menjawab. Tatapannya menembus mata Lovy, dalam, pekat—lalu turun ke bibirnya.
Lovy membeku. Bibirnya terbuka sedikit, napas tercekat. Suasana di balkon pelan-pelan berubah; udara terasa berat, dunia seperti lenyap. Hanya ada mereka berdua.
Kael melangkah setengah langkah lagi. Jarak wajah mereka tinggal beberapa senti. Lovy bisa mencium aroma maskulin Kael—campuran parfum kayu dan sesuatu yang khas, sesuatu yang membuat kepalanya ringan.
Astaga… ini beneran mau kejadian? jantung Lovy menjerit.
Kael menurunkan kepala, jemarinya menyentuh dagu Lovy. Lembut sekali. Ia mengangkat dagu Lovy, memaksanya menatap langsung. Sentuhan itu membuat bulu kuduk Lovy meremang.
Hanya tinggal satu langkah lagi. Satu detik lagi. Bibir mereka hampir—
—dan tiba-tiba, suara lantang memecah udara malam.
"LOVYYYY!!! KAMU MASIH BANGUN?!"
Lovy dan Kael tersentak. Napas mereka patah di udara. Kael berhenti, menatap Lovy, lalu menoleh ke arah suara dengan wajah sedatar batu.
Lovy spontan mendorong dada Kael, mundur dengan pipi merah padam. "SYEGI?!" jeritnya, setengah panik setengah malu.
Pintu balkon terbuka. Syegi muncul dengan piyama unicorn warna pastel, membawa bantal guling unicorn yang seolah ikut jadi saksi kekacauan malam itu. Wajahnya penuh rasa ingin tahu.
"Oh—astaga. Maaf kalau aku… ehm… mengganggu sesuatu?" tanyanya, matanya bergerak nakal dari Kael ke Lovy, alisnya naik-turun seperti sensor radar.
"NGGAK ADA YANG KAMU GANGGU!" suara Lovy naik satu oktaf, terlalu cepat, terlalu defensif.
Kael diam. Tatapannya menusuk Syegi seperti laser. CEO yang diinterupsi di tengah momen penting. Ia menghela napas pendek, lalu melangkah mundur.
"Aku akan kembali ke kamarku," katanya datar. Tapi sebelum pergi, ia menoleh ke Lovy satu detik lebih lama dari yang seharusnya. Tatapan itu seperti janji yang belum selesai.
Dan ia pergi.
Lovy langsung menutupi wajah dengan kedua tangan. "YA TUHAN, SYEGIII!!!"
Syegi nyengir selebar-lebarnya. "Jadi… aku barusan memergoki calon pengantin hampir—"
"SSSSTTTTT!!!" Lovy buru-buru menutup mulut Syegi dengan bantal sofa.
"Kalau kamu ngomong kata itu, aku—aku lempar kamu keluar balkon!"
Syegi tertawa terbahak, wajahnya memerah karena ditahan bantal. "Lovy, please! Besok kamu nikah, wajar kalau ada momen romantis kayak gitu. Tapi… tadi tuh kayak adegan drama Korea, sumpah!"
Lovy mengerang dan menjatuhkan diri ke sofa balkon, menutupi wajah dengan bantal. "Aku nggak tahu harus malu atau apa…"
Syegi menjatuhkan diri di sampingnya. "Aku tahu jawabannya: malu banget, tapi seneng juga, kan?"
Lovy mengintip dari balik bantal. "…Mungkin."
****
🌸 GIRLS' NIGHT DI MANSION
Tak lama setelah Kael pergi, Syegi menepuk tangannya seperti ketua panitia.
"Baiklah! Karena aku sudah resmi menghancurkan adegan romantis kalian, aku harus menebusnya. Kita adain girls' night!"
"Girls' night?" Lovy melotot, setengah masih malu.
"YA! Ini malam terakhir kamu jadi single. Kita harus bikin kenangan!"
Akhirnya mereka pindah ke kamar Lovy. Piyama unicorn Syegi langsung jadi bahan olok-olok.
"Kenapa sih kamu selalu bawa bantal guling unicorn ke mana-mana?" Lovy menunjuk guling itu sambil ngemil keripik kepiting dari koper Syegi.
Syegi memeluk bantalnya dramatis. "Ini simbol keperawanan murni, Lovy."
Lovy hampir tersedak keripik. "APAAN?!"
Syegi ngakak, lalu mulai membuka koper. Dan—seperti biasa—isi koper Syegi seperti toko mini: masker sheet, nail polish, cokelat, lilin aromaterapi, sampai kacamata tidur berbulu.
"Kita spa malam ini!" seru Syegi. "Besok kamu harus glow up maksimal. Bahkan Kael bakal susah napas liat kamu."
Lovy menghela napas, tapi ikut duduk di karpet saat Syegi mulai mengeluarkan masker.
Tak lama kemudian, mereka berdua sudah duduk di lantai, wajah mereka tertutup masker sheet. Masker di wajah Lovy kebesaran, sampai bagian dagunya menggantung konyol.
Syegi ngakak. "Astaga Lovy, kamu kayak hantu kecapekan!"
Lovy melempar keripik kepiting ke arah Syegi. "Diam, Syegi! Besok aku pengantin, jangan bikin aku insecure!"
Mereka melanjutkan ritual spa sambil ngemil amplang dan menonton potongan video lucu di ponsel Syegi.
Lalu Syegi mulai menginterogasi. "Gimana rasanya tinggal di mansion ini? Kayak hidup di film?"
Lovy mendengus. "Setengahnya iya, setengahnya… creepy."
"Creepy gimana?"
Lovy berbisik konspiratif. "Aku sering merasa ada yang ngawasin aku."
Syegi langsung mendekat, matanya membesar. "Apa maksudmu?"
"Misalnya," Lovy menunjuk ke arah pintu, "aku nemu bodyguard berdiri kayak patung jam dua pagi. Aku keluar cari air, tiba-tiba dia muncul dari bayangan kayak ninja."
Syegi ngakak. "Mungkin dia jaga kamu!"
Lovy menggeleng cepat. "Bukan cuma itu. Kadang aku merasa kayak ada kamera tersembunyi. Kamu tahu kan Kael itu… obsesif. Jangan-jangan kalung ini…" Ia menunjuk kalung GPS pemberian Kael. "…nggak cuma tracker. Jangan-jangan ada mic juga?!"
Syegi langsung ngakak terbahak, sampai masker sheet-nya melorot. "Lovy! Ini lucu banget. Jadi kamu calon istri CEO paranoid?"
"Kok paranoid?"
"Kalau bukan paranoid apa coba? Dia bahkan khawatir sampai ngasih GPS, padahal belum jelas ada ancaman kan?"
"Ah iya juga. Julukan yang u—unik," jawab Lovy ragu. Ia tidak mungkin mengatakan kebenaran kalau memang ada ancaman yang terjadi padanya di mansion ini. Bisa-bisa sahabatnya itu akan menyeretnya pulang.
Lovy menatap serius Syagi. Kemudian berkata untuk mengalihkan suasana. "Bukan calon sih. Besok aku resmi jadi istri CEO paranoid itu." Senyumnya canggung.
Syegi melempar bantal ke pangkuan Lovy, "sombong amat!"
Mereka berdua tertawa bersama. Lovy memang bercanda, tapi ada sedikit kebenaran di baliknya. Ada hal-hal di mansion ini yang terlalu misterius untuk ia ceritakan—seperti pelayan yang terasa seperti mata-mata, atau fotonya yang entah bagaimana beredar seperti diambil paparazi.
Tapi malam itu, ia memilih menertawakannya bersama Syegi.
****
Malam makin larut. Mereka mengganti masker dengan nail polish, lalu beralih ke cokelat.
Obrolan mengalir ke mana-mana:
Lovy curhat soal Kael yang selalu muncul "entah dari mana" — tiba-tiba ada di depan kamarnyanya saat ia bangun tidur di kamar, atau tiba-tiba muncul di balkon, bahkan menceritakan bagaimana mengesalkannya Samuel.
Syegi juga cerita tentang drama Lovy dulu, waktu Lovy menentang perjodohan karena terlalu bucin sama William—pacarnya selama delapan tahun.
Cerita-cerita itu dibalut komedi, membuat mereka berdua sampai terpingkal-pingkal.
Tapi di sela tawa, Syegi tiba-tiba menatap Lovy serius. "Lov, kamu bahagia?"
Lovy terdiam sebentar. Ia menatap jari-jarinya, lalu menghela napas. "Aku takut. Tapi aku juga bahagia. Rasanya aneh. Kayak aku siap, tapi deg-degan."
Syegi menggenggam tangan Lovy. "Itu wajar. Besok kamu mulai hidup baru. Tapi aku lihat caranya Kael liat kamu tadi…" ia tersenyum, "dia nggak akan pernah ngelepas kamu."
Lovy tersipu, menunduk. "Aku berharap begitu."
Syegi menggelar sleeping bag di lantai.
"Aku tidur di sini aja," katanya santai.
Lovy melotot. "Serius? Ini mansion, ada sepuluh kamar kosong. Kamu bisa pilih satu."
Syegi memeluk guling unicornnya erat. "Aku nggak mau ninggalin kamu. Besok kamu nikah. Malam ini aku harus jadi alarm hidup kamu."
Lovy menghela napas, lalu tersenyum. "Syegi… terima kasih."
Syegi pura-pura dramatis, meraih dadanya. "Besok kamu akan jadi istri orang. Aku harus ikhlasin kamu."
Lovy menimpuknya dengan bantal. "BERHENTI SO DRAMATIC!"
Mereka berdua ngakak lagi, tawa mereka menggema di kamar besar itu.
"Naik sini! Kita tidur di ranjang berdua, jangan di lantai!" perintah Lovy menepuk sisi ranjang yang kosong.
Syegi mengangguk dan membaringkan tubuhnya di sana. Tak lama, lampu diredupkan. Lovy dan Syegi berbaring di ranjang.
"Gi? Syegi!" bisik Lovy.
"Hm?"
"Besok… aku bakal baik-baik aja, kan?"
Syegi tersenyum dalam gelap. "Kamu nggak cuma bakal baik-baik aja. Kamu bakal bahagia."
Lovy menatap langit-langit. Jantungnya berdebar, tapi entah kenapa terasa hangat. Besok, hidupnya akan berubah. Tapi malam itu, ia merasa tenang—karena Kael menunggunya, dan karena sahabatnya ada di sampingnya.
Untuk pertama kalinya, Lovy yakin: ia siap menghadapi hari besarnya.
.
.
.