Shana bersedia menjadi pengganti bibi-nya untuk bertemu pria yang akan di jodohkan dengan beliau. Namun siapa yang menyangka kalau pria itu adalah guru matematika yang killer.
Bagaimana cara Shana bersembunyi dari kejaran guru itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34 Pertandingan voli
.......
.......
"Ayo, Mia dan Bebi masuk. Biar Shana menunggu Pak Regas." Pak Nanang melambaikan tangan meminta dua gadis ini ikut dengannya.
"Oke Pak." Mia setuju. Karena menurutnya tidak asyik kalau harus jalan bareng dengan Bapak guru yang serius seperti Pak Regas. Dia lebih bebas bebas dengan Pak Nanang yang ceria dan bersemangat. "Ayo Beb."
Bebi melihat ke arah Shana dengan cemas.
"Aku tinggal enggak apa-apa kan?" tanya Bebi.
"Sudah. Biarin Shana." Mia mendorong bahu Bebi untuk pergi meninggalkan Shana.
Raut wajah Shana terlihat kesal. Kesal sama Pak Nanang, juga orang yang sekarang tengah berjalan menuju ke arahnya.
"Jangan lupa minta kompensasinya ya Shan?" ujar Pak Nanang sebelum meninggalkan Shana sendiri.
Bibir Shana menipis.
"Kenapa tidak masuk?" Pak Regas muncul dengan raut wajah tenang tanpa bersalah. Shana makin kesal karena itu.
"Bukannya kartu pelajar saya ada pada Bapak?" Shana menjawab pertanyaan pria ini dengan pertanyaan juga.
"Ohh, ya. Jadi benar-benar tidak bisa masuk area lomba kalau tidak ada kartu pelajar ya ..." Ada nada bercanda di sana, tapi Shana tidak dalam mode senang untuk melakukannya. Dia sangat kesal pada wali kelasnya ini.
Shana mengulurkan tangan dengan tangan terbuka. "Mana Pak?"
Regas melirik telapak tangan itu. "Apa?" tanya Regas.
"Kartu pelajarku. Kenapa Bapak terus menahan kartu pelajar ku, sih?" gerutu Shana. "Kartu pelajar itu tidak ada gunanya buat Bapak."
Regas tersenyum. "Ayo jalan. Segera kita masuk. Kamu akan terlambat menemani temanmu bertanding jika tidak segera masuk." Tangan Regas menepuk pundak Shana pelan.
Apa yang di katakan Pak Regas benar juga. Dia pun menurut dan segera berjalan. Regas mengikuti di samping. Lalu ketika tiba dimeja panitia pintu masuk, Regas mengeluarkan tiket masuk miliknya karena pertandingan ini tidak gratis bagi yang menonton. Sementara Shana mengeluarkan kartu peserta.
"Kartu pelajarnya?" tanya petugas.
Shana menoleh pada Pak Regas. Pria itu sudah siap dan menyerahkannya pada petugas. Setelah di periksa, mereka boleh masuk.
Sebelum Shana berhasil menangkap kartu pelajar dari tangan petugas, Pak Regas sudah lebih dulu menerimanya. Sepertinya beliau benar-benar tidak mau menyerahkan kartu pelajar itu.
Shana mendengus.
"Kartu pelajar ini bisa jadi senjata untukku karena aku ingin tahu siapa orang yang menyuruhmu menemui ku," ujar Pak Regas di sela-sela mereka berjalan.
Shana menoleh. "Itu juga tidak ada gunanya buat Bapak."
"Memang tidak ada gunanya untukku, tapi ada seorang temanku yang ingin tahu siapa perempuan yang sebenarnya di rencanakan untuk bertemu denganku."
Shana menoleh heran. "Kenapa dia ingin tahu ...," gumam Shana.
Regas tidak salah. Apa yang dikatakannya benar. Dia merasa sudah tidak membutuhkan informasi soal itu, tapi Daniel lah yang membutuhkannya. Meskipun tidak dimengerti kenapa pria itu ingin tahu.
Suasana di dalam sudah begitu ramai.
Shana agak tergesa berjalan menuju ke ruang ganti pemain. Mereka berkumpul di sana. Regas membiarkan gadis ini berjalan lebih dulu darinya.
Setelah beberapa menit melakukan pemanasan, permainan di mulai. Regas tidak duduk di bangku penonton di tribun. Dia ikut menemani Pak Nanang yang duduk di bangku khusus pelatih.
Kadang Pak Nanang beranjak dari tempat duduknya untuk berjalan ke pinggir lapangan. Berteriak memompa semangat anak didiknya juga melemparkan perintah gaya permainan yang spontan terlontar.
Dari tempat duduk Regas, ia bisa menyaksikan gadis itu bertanding. Sekali lagi Regas merasa takjub oleh permainannya. Mata bocah yang biasanya tengil itu berubah menjadi dingin dan tegas. Sangat berbeda jauh dari sehari-harinya. Seakan dia hendak melibas semua bola di depannya.
Meski tubuhnya tidak lebih tinggi dari temannya, dia mampu menahan bola dengan baik. Gerakannya luwes dan kuat. Pantas saja Nanang menjadikan dia andalan.
Duk. Sebuah bola voli mendarat di depannya. Ia mengerjap.
"Bola," kata Pak Nanang meminta Regas mengambilkan bola untuknya.
Regas membungkuk untuk memungut bola, lalu melemparkan pada Nanang yang menunggunya. Namun nyatanya bukan hanya Nanang yang menunggu bola itu, tapi juga Shana. Gadis itu menanti bolanya di lempar untuk melanjutkan permainan.
Drtt. Ponselnya bergetar. Ada notifikasi dari alarm. Sebuah catatan, itu adalah pengingat untuk ulang tahun Cintya. Bibirnya tersenyum. Terlintas kado-kado yang ingin dia berikan pada kekasihnya. Sejenak ia larut dalam bayangan perencanaan ulang tahun untuk kekasihnya.
***
Pertandingan awal tim perempuan dimenangkan oleh tim Shana. Sementara tim laki-laki kalah dengan skor tipis. Meskipun begitu, anak-anak tetap keluar lapangan dengan wajah ceria. Yah, ini masih di awal pertandingan.
"Oke, untuk penyemangat di awal pertandingan, Bapak akan mentraktir kalian semua," ujar Pak Nanang tiba-tiba. Semua menoleh dengan terkejut. Ini sebuah kejutan yang menyenangkan tentunya.
"Horeeee!!"
"Asyiiik!"
Meski banyak yang suka, tapi ada beberapa yang tidak ikut karena ingin pulang. Lelah sih pasti ada, tapi kalau soal beginian siapa yang tidak mau.
"Kita di traktir di mana Pak?" tanya Mia
"Terserah kalian." Pak Nanang menyerahkan pilihan pada mereka.
"Wah asyik nih. Ayo teman-teman, kita rembug dulu mau kemana." Mereka pun saling berhadapan untuk mendapatkan pilihan tempat yang sesuai dengan kesukaan semua anggota.
"Kamu ikut?" tanya Nanang pada Regas.
"Kamu serius mau mentraktir mereka? Bukankah perjalanan pertandingan masih panjang?"
"Tentu saja. Ini untuk penyemangat mereka."
"Bagaimana dengan tabungan menikah mu?"
"Ei ... Itu kan urusan pribadiku. Enggak apa-apa mengeluarkan sedikit uang untuk kasih dukungan sama mereka." Pak Nanang tergelak mendengar Regas mengingatkannya tentang itu.
"Juga ... Bukannya adikmu masuk sekolah menengah tahun ini?" Karena berteman, Regas tahu soal keuangan Nanang yang baru saja jadi pegawai negeri.
"Enggak apa-apa, sesekali saja. Kamu ini mirip ibu-ibu yang sedang mengontrol anaknya ya," ujar Nanang gemas. Namun pria itu tidak marah.
Bukan pelit, Regas hanya mengingatkan. Toh mentraktir anak-anak bukanlah sebuah kewajiban. Mereka tidak ditraktir pun tidak mengapa, meski kalau sungguhan seperti ada bahagia sekali.
"Gimana? Mau ikut?" tawaran untuk Regas masih ada.
"Baiklah." Regas terpaksa ikut meski dia berniat untuk membayar sendiri nantinya.
Mia yang tadinya bicara, mulai stop. Shana yang suka gratisan juga melirik ke arah belakang mereka. Mendengarkan dengan seksama apa yang di bicarakan dua pria tersebut.
"Hey, guys. Denger barusan?" tanya Mia. Bebi dan lainnya mengangguk. Mereka jadi tidak semangat lagi untuk ditraktir.
Shana diam karena masih termangu dengan obrolan dua pria di belakang mereka. Dia yang tinggal dengan seorang bibi paham juga soal keuangan seperti itu. Orang dewasa pasti banyak kebutuhannya. Apalagi seorang pria, pasti butuh banyak biaya jika sudah merencanakan pernikahan. Meskipun dia sebenernya suka sekali dengan gratisan.
keep fighting 💪