INGRID: Crisantemo Blu💙
Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Buona Notte
Ingrid buru-buru membuat jarak dari Frenzzio. Dia berdehem, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Tidurlah di tempat tidur." Dia berbalik kembali ke ranjang. Tidur membelakangi pria itu.
Frenzzio menutup matanya, menarik napas panjang lalu membuangnya. Setelahnya membuka matanya lagi, menumpukan kedua tangannya di sandaran samping sofa, berdiri, menyusul Ingrid ke tempat tidur. Membaringkan dirinya di sebelah Ingrid yang terasa dingin.
Pria itu meletakkan tangannya di bawah kepalanya. Ia memiringkan kepalanya menghadap Ingrid, sudut bibirnya sedikit terangkat. "Aku tahu kau tidak tidur."
"Aku tidur," jawab gadis itu tanpa mengangkat kelopak matanya.
Gigi putih Frenzzio terbit, sudut matanya naik. "Jika kau tidur, kau tidak akan menjawabku."
Ingrid membuka matanya dan berkata, "hampir tidur." ia menyelimuti Frenzzio. "Kau bisa sakit."
"Kalau begitu peluk aku, aku kedinginan," pintanya jahil, yang langsung dihadiahi pukulan keras dari gadis di sampingnya.
Ingrid memutar tubuhnya ke arah langit-langit. "Lafonzo ..." Frenzzio yang awalnya melihat lurus ke atas, langsung memusatkan matanya pada Ingrid. "Apa itu nama keluargamu?"
"Dari mana kau mendengarnya?"
"Pamanmu sempat menyebutnya, jadi kusimpulkan seperti itu."
"Ya," Ia memejamkan mata. "Dan tempat itu adalah rumahku," jujurnya.
Ingrid berpaling, mimik wajahnya berlukiskan keterkejutan. "Maaf ... pasti sangat sulit bagimu." Rasa bersalah memupuk di hatinya.
Frenzzio tidak menjawab, matanya tetap terpejam.
Ingrid mengikis jarak di antara mereka. Tangannya jatuh melingkar di tubuh Frenzzio, kepalanya bersandar di dada bidangnya. Hangat, adalah yang pertama Ingrid rasakan.
Pria yang memejamkan mata itu, lantas membuka matanya terkesiap.
"Jangan katakan apapun yang akan membuatku berubah pikiran," ancamnya, sambil menutup mata.
Frenzzio tersenyum, ia merengkuh Ingrid, dan ikut mengatupkan matanya. Dia menghirup dalam aroma rambut Ingrid yang masih sedikit lembab karena keramas. Wangi apel yang menyegarkan berpadu lavender yang memenangkan, memanjakan penciumannya.
"Kau tidak harus menyimpannya sendirian, kau bisa membagi rasa sakitmu padaku. Dengan begitu, hatimu akan lebih tenang. Maaf telah membuatmu kembali mengingat masa lalumu, aku janji akan jadi lebih kuat, agar tidak lagi merepotkanmu."
Frenzzio membelai pelan rambut Ingrid. "Kau tidak merepotkanku, Blu. Aku senang kau membutuhkanku, dengan begitu aku tahu, aku masih memiliki seseorang yang kucintai dan ... keluarga."
Ingrid mendongak. "Apa keluarga ini memperlakukanmu dengan buruk?"
Pria itu memadamkan lampu. "Bukankah kau ingin tidur tadi? selamat malam, Blu." Suara beratnya mengecewakan Ingrid.
"Aku belum mengucapkannya dengan baik, terima kasih telah datang, Frenzzio. Selamat malam."
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Ingrid melenguh, mengucek-ngucek matanya, ia melihat ke sebelahnya, di mana tak ada pria yang ia cari di sana. Dia bangun, memperhatikan sekitarnya, tidak ada tanda-tanda keberadaan Frenzzio. Mungkin dia berada di luar, pikirnya.
Ia menutup mulutnya saat menguap, dia meringis karena rasa perih lukanya. Mungkin sebaiknya dia pergi dari sini sebelum ada yang menangkap basahnya keluar dari kamar Frenzzio dan menjatuhkan bom pertanyaan.
Ingrid turun dari ranjang, berjalan dengan kesadaran yang masih belum kembali sepenuhnya. Karenanya, kakinya menabrak pintu yang ia buka sendiri, dia meringis memegangi jari kakinya yang sakit.
Frenzzio keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, heran melihatnya. "Kau baik-baik saja, Blu?" Bibirnya di tarik ke dalam, menahan tawa.
"Iya, aw! Sebaiknya aku pergi." Dengan jalan terpincang-pincang Ingrid keluar dari sana. Frenzzio juga turut ikut keluar dari kamar.
Namun, saat itulah kesialan terjadi, tepat saat mereka keluar dari kamar, keduanya berpapasan dengan Marcello, yang langsung diberi tatapan mematikan.
"Sedang apa kalian? Kenapa kau berjalan seperti itu Ingrid?"
Ingrid membeku sesaat. Saat ia akan menjawab, pria di belakangnya lebih dulu menyela.
"Jawabannya sesuai yang ada di otak kecilmu."
Ekspresi Marcello semakin tak enak dilihat. "Kalian tidur bersama!" Dalam arti yang lain.
"Apa?! Tidak! kau jangan salah paham, tidak seperti itu," katanya, mencoba meluruskan kesalahpahaman ini.
"Jujur saja, Amore. Kita melakukan segalanya." Frenzzio bersandar pada dinding dengan tangan terlipat angkuh.
Ingrid mendaratkan pukulan pada lengan atas Frenzzio. "Diam! Tidak, dia hanya asal bicara. Aku baru saja keluar setelah memberikan sebuah buku." Ia berbicara begitu lancar, seakan yang dikatakannya adalah kebenaran. Meskipun ia ragu alasannya terdengar meyakinkan. "Aku pergi dulu, kita bicara lagi nanti. Aku buru-buru ke kamar mandi." Ingrid melewati saudaranya, berjalan cepat meninggalkannya di belakang.
Tanpa menunggu lagi, Marcello juga melangkah pergi. Tetapi, hadangan lengan Frenzzio menghentikannya. Pria itu menyeringai. "Malam yang indah."
Marcello menepis lengan saudara angkatnya. "Dia saudari kita, jangan berbuat macam-macam dengannya," peringkatnya.
Frenzzio mengendikkan bahu tak acuh.
Marcello berjalan melewatinya, dengan menimbun rasa geram dan kesal. Ia sangat ingin meninju wajah kembaran palsunya itu, hingga jatuh di kakinya.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
Ingrid memakai sedikit riasan untuk menyamarkan sedikit lebam di pipinya, agar tidak ada yang curiga saat dia duduk di meja makan nanti.
Lagi-lagi Ingrid menguap, dia kekurangan tidur. Rasanya ingin terus menenggelamkan dirinya di kasur yang empuk. Tapi, ia tidak bisa karena selalu teringat ayahnya yang selalu memarahinya jika tidur saat matahari telah meninggi.
Ingrid menuruni tangga, turun ke lantai satu untuk menghampiri meja makan. Ingrid dibuat agak terkejut melihat Giorgio yang bergabung pada sarapan pagi ini. Biasanya dia jarang sekali berada satu meja dengan yang lainnya, bahkan melihatnya setiap hari pun sangat jarang.
Hari ini seluruh anggota keluarga hadir untuk sarapan bersama. Frenzzio pun telah ada di sana sambil seperti biasa menyeruput cappucinonya.
Ingrid mengambil tempat di antara kedua saudaranya. Dia sangat lapar, ingin segera menyantap makanan yang disediakan.
"Akhirnya, kita bisa semua dapat berkumpul di satu meja. Maaf, baru bisa berkumpul dengan benar, Putriku. Constanzo memang rumit."
Bibir Ingrid tersenyum, tapi tidak dengan matanya. Dia tidak peduli pada yang lain, dia hanya ingin makan sekarang, perutnya sudah berteriak sedari tadi.
"Kehadirannya hanya membuat sesak," celetuk Vilia dengan suara lantang.
"Ibu." Marcello memperingatkan. Ia menggenggam erat alat makannya.
"Lanjutkan, dan kupastikan kau tidak akan lagi menyentuh meja makan," tekan si kepala keluarga. Vilia terdiam.
Giorgio mempersilahkan semuanya untuk makan. Ingrid segera menyantap makanannya dengan lahap, tak lagi memperdulikan hal-hal di sekitarnya. Sampai Giorgio akhirnya kembali membuka mulut, fokus Ingrid terpecah.
"Karena peristiwa kemarin, aku putuskan mulai sekarang kalian bertiga akan bersekolah dari rumah," bebernya.
Mimik wajah Frenzzio tetap datar, dia tidak terganggu sama sekali dengan itu. Sama halnya dengan Marcello, yang meskipun awalnya sedikit terkejut, tapi akhirnya mengangguk masa bodoh. Kontras dengan Ingrid, yang jelas menunjukkan ketidak setujuan, tapi tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menolak, karena jika dipikir lagi, hal itu akan menguntungkannya dengan mempunyai lebih banyak waktu penyelidikannya.
"Peristiwa apa?" tanya Vesa penasaran.
"Seseorang meletakkan obat terlarang di tas Ingrid." Frenzzio akhirnya bersuara.
"Siapa pelakunya?!" Marcello tak terima saudarinya di perlakuan seperti itu, apalagi di saat dia tidak ada.
"Aku tidak tahu siapa pelakunya." Ingrid jujur. Dia pun masih sangat penasaran dan menyimpan kemarahan untuk orang itu. Apa itu ulah Lanzo agar dia bisa dibawa pergi?
"Kita akan tahu nanti, aku sudah memerintahkan seseorang untuk menyelidikinya. Dan satu lagi ... "
lopyu thorr