Menjadi istri kedua hanya untuk melahirkan seorang penerus tidak pernah ada dalam daftar hidup Sheana, tapi karena utang budi orang tuanya, ia terpaksa menerima kontrak pernikahan itu.
Hidup di balik layar, dengan kebebasan yang terbatas. Hingga sosok baru hadir dalam ruang sunyinya. Menciptakan skandal demi menuai kepuasan diri.
Bagaimana kehidupan Sheana berjalan setelah ini? Akankah ia bahagia dengan kubangan terlarang yang ia ciptakan? Atau justru semakin merana, karena seperti apa kata pepatah, sebaik apapun menyimpan bangkai, maka akan tercium juga.
"Tidak ada keraguan yang membuatku ingin terus jatuh padamu, sebab jiwa dan ragaku terpenjara di tempat ini. Jika bukan kamu, lantas siapa yang bisa mengisi sunyi dan senyapnya duniaku? Di sisimu, bersama hangat dan harumnya aroma tubuh, kita jatuh bersama dalam jurang yang tak tahu seberapa jauh kedalamannya." —Sheana Ludwiq
Jangan lupa follow akun ngothor yak ...
Ig @nitamelia05
FB @Nita Amelia
Tiktok @Ratu Anu👑
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ntaamelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Suasana Syahdu
"Ada cara lain supaya kamu bisa cepat hamil, kamu mau mencobanya?" Dari atas ranjang Ruben tiba-tiba melayangkan pertanyaan itu sambil menatap Sheana dengan intens.
Deg!
Sheana terperangah dan gelagapan dibuatnya. Dia bukan gadis polos yang tak mengerti kalimat Ruben barusan. Artinya sang suami mengajaknya bercinta kan?
Namun, bagaimana bisa seperti itu sementara dalam surat perjanjian saja dikatakan bahwa dia hanya hamil melalui prosedur inseminasi, bukan hubungan badann.
Ludah Sheana terasa tercekat di tengah tenggorokan. Bimbang ingin menjawab seperti apa, sementara ancaman Felicia berdengung terus-menerus.
Hingga akhirnya Ruben bangkit dan mendekatinya. Di luar hujan deras masih mengguyur bumi, memercikkan suasana syahdu yang memang pas untuk pengantin baru.
"Jika kamu tidak menjawab, maka aku artikan setuju!" ucap Ruben langsung menyergap salah satu lengan Sheana. Gadis itu memekik, dan mengangkat pandangannya hingga mereka saling bertatapan.
"Tapi, Tuan, di perjanjian sudah tertulis jelas bahwa tidak ada hubungan badann di antara kita," balas Sheana akhirnya buka suara. Namun, tatapan Ruben terasa semakin menusuk dan tak suka dengan jawabannya.
"Tapi kamu juga harus ingat, bahwa pihak satu bisa merubah isi perjanjian itu kapan saja!" tegas Ruben, seakan tak menerima penolakan dari Sheana. Gadis itu perlahan mundur saat suaminya memangkas jarak.
Glek!
Sheana menelan salivanya dengan berat, sedangkan kakinya sudah tak bisa mengambil langkah, karena terhimpit Ruben dan meja rias yang ada di kamarnya. Gadis itu melirik ke kanan dan ke kiri, mencoba menghindari tatapan suaminya. Akan tetapi dengan cepat Ruben meraih dagu Sheana hingga gadis itu mendongak.
"Felicia tidak pernah main-main dengan ucapannya, Sheana. Kalau kamu tidak hamil pada percobaan ketiga ini, maka kamu akan tahu sendiri akibatnya. Aku—hanya mengikuti apa kata istriku. Jika Felicia berkata A, maka aku akan lakukan A, jika Felicia berkata B, aku akan melakukan B. Pilihlah sesukamu ... kita coba cara lain malam ini, atau kamu tetap ikuti apa kata dokter Alana," papar Ruben sambil menyeringai tipis. Aura dari wajahnya terpancar sebuah ketidaksabaran untuk mengobrak-abrik pertahanan Sheana.
Tangan Sheana berpegangan pada sisi meja, sementara mulutnya bergetar sambil berusaha untuk mengajukan satu pertanyaan terakhir.
"Tapi bagaimana kalau Nyonya Felicia tahu?" tanya Sheana, sedari tadi pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya.
"Kalau kamu memberitahu, maka dia akan tahu. Kalau kamu tutup mulut, dia juga tidak akan mungkin bertanya sejauh itu," balas Ruben berusaha meyakinkan.
Sheana tak sempat berpikir lagi, karena detik selanjutnya Ruben sudah mengambil alih kendali. Bibir itu meraup dan melumaat dengan rakus, seakan baru saja menemukan makanan yang lezat.
'Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi aku mohon Tuhan, selamatkan keluargaku.'
Sheana memejamkan matanya rapat-rapat, merasakan sentuhan dan rasa asing yang tiba-tiba menyergap, aneh dan nikmat sekaligus. Ingin rasanya menghentikan semua kegilaan ini, tapi dia tak ada kuasa.
Lagi pula dia tidak bisa menghindar. Karena secara tertulis pun, Ruben memang suaminya saat ini. Pria itu berhak atas apapun yang ada pada dirinya, meski ada waktu yang telah ditentukan.
"Tuan!" Sheana memekik saat lehernya terasa seperti digigit. Ruben mendongak dan hanya mengeluarkan seringai kecil. Pria itu kembali melancarkan aksinya, membawa Sheana ke lautan gairahh yang membuncah.
Mata Ruben sudah berkabut, artinya sesuatu yang ada dalam dirinya siap untuk mel3dak.
"Jangan masuk ke kamar utama sebelum aku memberi perintah!"
Ruben terengah memberikan perintah melalui telepon yang ada di kamar Sheana. Tanpa peduli siapa sosok yang mengangkat panggilannya, dia langsung berkata demikian.
Di seberang sana, Paramita tampak terperangah dengan instruksi itu, namun dia langsung memberitahu kepada Batari. Supaya tidak terjadi miskomunikasi, dan berujung masalah.
Sementara dari luar Luan masuk ke dalam rumah untuk mengecek keberadaan Ruben, tapi dia tidak menemukan pria itu di manapun. Padahal terakhir kali pria itu masih ada di ruang tamu.
"Bi, di mana Bibi Batari?" tanya Luan berbasa-basi menanyakan keberadaan bibinya pada Paramita yang kebetulan melewatinya.
Paramita terlonjak, tapi dia segera menetralkan mimik wajahnya.
"Bi Batari ada di ruangannya, kenapa? Mau aku panggilkan?" jawab Paramita sekaligus memberikan penawaran.
Luan langsung menggelengkan kepala. "Tidak perlu, Bi. Nanti biar aku yang ke sana. Oh iya—memangnya Tuan Ruben tidak makan malam?"
"Tuan ada di kamar utama, Lu. Jam makan malam sepertinya mundur," jawab Paramita, dia seakan tahu apa yang telah terjadi di dalam sana. Begitu juga dengan Luan. Dia mendengus kecil, mengutuk Ruben yang dinilainya sangat munafik.
Sama halnya di keluarga Tares. Semua orang sudah berkumpul, tapi hanya satu kursi yang kosong. Yakni kursi milik Ruben. Felicia tidak cemas, karena suaminya memang sudah bilang kalau dia terjebak hujan dan terpaksa pulang terlambat.
"Ke mana Ruben? Kenapa dia tidak bergabung dengan kita?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Sandra dan ditunjukkan kepada Felicia.
"Dia pulang terlambat karena terjebak hujan," jawab Felicia tanpa membalas tatapan Sandra. Kemudian mengambil makanannya, supaya dia bisa lebih cepat masuk ke kamar.
"Tapi tadi mobil Kak Ruben keluar bareng aku lho," timpal Charlie, mereka satu perusahaan, jadi sudah tentu terkadang mereka berpapasan. "Dan kayaknya aku liat mobil Kakak itu masuk ke gang perumahan gitu. Ada kerjaan lain?" Lanjutnya yang membuat Felicia langsung overthinking. Dia menduga bahwa Ruben pulang ke rumah yang ditempati oleh Sheana.
'Cih, tidak mungkin kan dia menyempatkan waktu untuk pulang ke sana demi wanita kampungan itu?'
"Oh, kami memang baru beli rumah di sana. Ruben sengaja meneduh sekalian mengeceknya! Dia sudah bilang padaku kok, Char," jawab Felicia yang tak ingin orang-orang berpikir terlalu jauh. Padahal pikiran dia sendiri sudah melalang buana.
Rasa cemas dan takut menggunung di dadanya. Tak bisa membayangkan Ruben yang mencumbu wanita lain, apalagi sosok yang dia sebut sebagai wanita rendahan.
Charlie hanya ber'Oh' ria, kemudian meminta agar sang istri mengambilkan makanannya. Sementara Sandra memperhatikan perubahan mimik wajah menantunya tanpa bersuara.
jadi ketagihan sma yg baru kan .... wah ternyata