Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7- Serangan Ditengah Hujan
Hujan masih deras, seperti tirai air yang memisahkan dunia luar dari rumah tua yang rapuh itu. Lilin kecil di meja sudah hampir habis, nyalanya bergetar seperti nyawa yang dipaksa bertahan.
Mauryn duduk di dekat jendela, matanya tak lepas dari kegelapan halaman luar. Ia masih bisa mendengar suara hati samar, berat dan penuh niat buruk.
“Tunggu aba-aba. Masuk lewat jendela.”
“Pastikan mereka tidak sempat kabur.”
“Mereka bergerak sekarang,” bisiknya.
Revan berdiri cepat. Pisau lipat sudah ada di tangannya.
“Arah mana?”
“Dua orang di kiri… satu lagi di belakang,” jawab Mauryn, menelan ludah.
“Mereka bersenjata.”
Seakan menegaskan kata-kata Mauryn, terdengar suara kaca pecah dari arah dapur.
Revan meraih tangan Mauryn.
“Kita harus pindah ke lantai atas. Sekarang.”
Mereka berlari ke tangga kayu yang berderit setiap diinjak. Baru saja menapaki anak tangga kedua, suara pintu depan dihantam keras.
BRAK!
Mauryn menjerit tertahan. Revan menoleh cepat.
“Jangan panik. Ikut aku.”
Mereka tiba di lantai dua, memasuki sebuah kamar berdebu. Jendela di sisi kanan terbuka sedikit, angin hujan masuk menggigilkan udara.
“Keluar lewat sini?” tanya Mauryn dengan suara gemetar.
“Bukan. Terlalu berisiko. Mereka bisa melihat kita dari luar.” Revan menutup jendela perlahan.
“Kita bertahan dulu.”
Langkah-langkah kasar terdengar di lantai bawah. Suara hati mereka bergema jelas di telinga Mauryn.
“Periksa setiap ruangan. Jangan biarkan mereka lolos.”
“Mereka naik.” Mauryn berbisik
Revan mendekat ke pintu kamar, tubuhnya tegang seperti kucing liar siap melompat.
Pintu lantai dua berderit. Senter menyapu koridor gelap.
“Di sini kosong,” suara salah satu pria terdengar.
Mauryn menahan napas. Suara detak jantungnya terasa begitu keras di telinga sendiri.
Ketika langkah-langkah itu semakin mendekat, Revan memberi isyarat dengan jarinya: tiga… dua… satu.
Pintu kamar didobrak. Pria bersenjata tongkat besi masuk. Tepat saat itu Revan melompat, menubruk tubuhnya dengan keras.
BRUK!
Tongkat besi terlepas, jatuh beradu dengan lantai. Mauryn menjerit, lalu spontan meraih tongkat itu. Tanpa berpikir panjang, ia menghantamkan ke lengan pria lain yang baru masuk.
PRANG!
Pria itu mengumpat, mundur selangkah. Revan segera memanfaatkan celah, meninju rahang lawannya hingga jatuh tersungkur.
Mauryn terhuyung, hampir terjatuh, tapi Revan menariknya ke sisi tembok.
“Kamu baik-baik saja?”
Mauryn mengangguk cepat, meski wajahnya pucat.
“Mereka masih ada satu lagi!”
Benar saja, suara langkah berlari terdengar dari arah koridor.
Revan meraih tongkat dari tangan Mauryn.
“Berlindung!”
Pria ketiga menerjang masuk dengan pisau. Revan menangkis, tongkat beradu dengan besi tajam. Suara logam memekakkan telinga di ruangan sempit itu.
Mauryn, gemetar, mendengar suara hati pria itu jelas
“Bunuh cepat. Jangan beri kesempatan.”
“Revan, hati-hati!”
Revan menahan serangan, lalu menendang lutut pria itu keras. Lawannya terhuyung, dan dengan gerakan cepat, Revan menghantamkan tongkat ke pelipis.
DUG!
Pria itu jatuh tak sadarkan diri.
Hening kembali, hanya hujan dan napas terengah yang terdengar.
Mauryn terjatuh duduk, tubuhnya gemetar hebat.
“Tuhan… aku hampir mati tadi.”
Revan menjatuhkan tongkat, lalu segera berlutut di depannya.
“Hei. Lihat aku. Kamu masih hidup. Kamu berhasil bertahan.”
Mauryn menatap matanya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
“Aku takut sekali, Revan. Aku… aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Aku hanya seorang gadis yang ingin hidup tenang. Tapi sekarang…” suaranya patah.
“Sekarang aku jadi sasaran mereka.”
Revan menggenggam tangannya erat.
“Aku tahu. Dan aku minta maaf sudah menyeretmu. Tapi aku janji.. aku tidak akan biarkan mereka menyakitimu.”
Mauryn memejamkan mata, mendengar isi hati Revan. Tidak ada dusta, hanya tekad dan rasa bersalah yang mendalam.
“Kenapa… kenapa kau begitu peduli padaku?” bisiknya lirih.
Revan menunduk, mendekat.
“Karena kamu satu-satunya orang yang masih membuatku merasa… hidup. Tanpa kamu, aku hanya akan jadi pria yang dikuasai dendam.”
Mauryn terpaku. Kata-kata itu, ditambah suara hatinya yang tulus, membuat dadanya bergetar.
Hujan di luar semakin reda, hanya sisa rintik yang menetes di atap seng. Ruangan itu kini terasa lebih tenang meski tubuh tiga pria tak sadarkan diri masih tergeletak di lantai.
Mauryn masih menangis pelan. Revan duduk di sampingnya, membiarkan kepalanya bersandar di bahunya.
“Revan…” Aruna berbisik, hampir tak terdengar.
“Aku lelah.”
Revan mengelus pelan rambutnya, sesuatu yang tak pernah ia lakukan pada siapa pun sebelumnya.
“Istirahatlah sebentar. Aku akan berjaga.”
Mauryn menggenggam bajunya erat, seakan takut Revan akan hilang jika ia melepaskannya.
“Jangan pergi.”
“Aku tidak akan pergi,” jawab Revan lembut.
Hening lagi. Hanya napas mereka berdua yang terdengar.
Lalu Mauryn mengangkat wajah, matanya masih basah.
“Aku benci perasaan ini… tapi aku juga takut kehilanganmu.”
Revan terkejut, tapi tatapannya melembut. Ia menghapus air mata di pipi Mauryn dengan ibu jarinya.
“Kamu tidak akan kehilanganku.”
Untuk sesaat, dunia di sekitar mereka menghilang. Tidak ada ancaman, tidak ada bayangan musuh. Hanya mereka berdua, duduk berdekatan di ruangan remang, dengan rasa takut dan hangat bercampur jadi satu.
Mauryn mendengar isi hati Revan lagi, begitu jelas.
“Aku ingin melindunginya. Lebih dari sekadar sekutu… dia sudah jadi sesuatu yang berharga.”
Jantung Mauryn berdegup kencang. Ia menunduk, pipinya memanas.
“Kamu… jangan bicara manis seperti itu. Aku bisa salah paham.”
Revan tersenyum kecil, tatapan matanya lembut untuk pertama kali sejak mereka bertemu.
“Mungkin memang tidak ada yang salah dengan salah paham itu.”
Mauryn terdiam, wajahnya memerah. Hatinya diliputi rasa takut, tapi juga sesuatu yang tidak bisa ia tolak… sebuah rasa yang membuatnya tetap ingin berada di sisinya.
Di luar, malam perlahan mereda. Hujan berhenti, menyisakan genangan yang memantulkan cahaya pucat bulan.
Di dalam rumah tua, meski bahaya masih mengintai, Mauryn dan Revan menemukan sesuatu yang lebih kuat dari ketakutan.. sebuah ikatan yang mulai tumbuh, rapuh namun nyata.
Dan tanpa mereka sadari, itu adalah awal dari kekuatan terbesar yang akan mereka miliki untuk menghadapi kegelapan.. bukan hanya keberanian, tapi juga hati yang terikat.
Bersambung..
Terimakasih yang sudah memberi gift 😘
Jangan lupa terus support othor yah sayangku 🫶🏻