NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permainan dua wajah

Ruangan itu tenang, hanya diterangi cahaya lembut yang menembus tirai tipis berwarna gading. Udara siang terasa hangat, namun keheningan di dalam membuatnya seolah lebih berat. Di tengah ruangan, sofa panjang berlapis kain beludru hijau tua menjadi singgasana tak resmi bagi seorang wanita yang memancarkan keanggunan.

Lady Evelyn duduk di sana, tubuh rampingnya condong sedikit ke samping. Satu tangan menopang kepalanya di lengan sofa, jemari panjangnya terlihat lentik meski hanya sekadar menyentuh kain. Gaun berpotongan halus membalut tubuhnya, menciptakan bayangan indah di bawah cahaya jendela. Senyum miring tersungging di bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum penuh kesadaran diri, seolah dunia di sekeliling hanyalah panggung kecil untuknya.

Di hadapannya, Rosella melangkah masuk perlahan. Gaun sederhana yang ia kenakan tampak kontras dibanding kemewahan ruangan ini, apalagi dibandingkan penampilan Evelyn yang nyaris tanpa cela. Ia berhenti dua langkah dari sofa, lalu menundukkan kepala dalam-dalam. Suaranya tenang, lembut, namun membawa kesan tunduk.

“Salam hormat, Lady Evelyn.”

Evelyn menoleh, matanya menelusuri wajah gadis muda itu dengan tatapan yang dingin dan penuh perhitungan. “Jadi kau adalah Rosella?” tanyanya, nadanya datar tapi sengaja ditarik pelan, seakan menguji reaksi lawannya.

Rosella mengangkat kepalanya perlahan. Senyum kecil menghias bibirnya, samar namun tulus di permukaan. Ia mengangguk sekali. “Benar, Lady.”

Senyum Evelyn melebar sedikit. Ia menggeser posisi duduk, lalu mengangkat tubuhnya agar tegak sejenak sebelum kembali bersandar dengan sikap malas yang disengaja. “Setelah aku mencari tahu,” ujarnya, sambil memainkan untaian rambutnya sendiri. “Ternyata kau hanyalah pelayan pribadi Tuan Duke. Pantas saja.”

Kata-kata itu jatuh ringan, tetapi menekan, seperti embun yang beku di kulit.

Rosella menahan napas singkat, lalu mengangkat alisnya sedikit, membuat ekspresi bingung yang nyaris meyakinkan. “Saya … tidak sepenuhnya mengerti maksud Lady,” jawabnya dengan suara yang tenang, meski nadanya dibuat seolah gamang.

Evelyn menyilangkan kakinya dengan elegan, ujung gaunnya bergeser menyapu permukaan karpet. Matanya tidak lepas dari Rosella, sorotnya penuh rasa curiga bercampur penilaian. “Benarkah? Kurasa Duke punya pandangan lain terhadapmu.”

Rosella menunduk lebih dalam, membiarkan helai rambut pirang bergelombangnya jatuh ke sisi wajah. Ia tersenyum tipis, getir, lalu berkata dengan lirih, “Lady bercanda. Saya sadar diri dan sangat jelas tidak pantas disandingkan dengan Tuan Duke.”

Seketika, Evelyn semakin mencondongkan tubuh ke depan. Bibirnya melengkung tipis, lalu kata itu keluar dengan suara pelan namun menusuk seperti jarum. “Dasar munafik.”

Rosella mengangkat kepalanya perlahan. Senyumnya masih ada, samar, seakan ia menerima tuduhan itu dengan pasrah. Namun di balik mata ambernya ada sesuatu yang lain—kilatan kecil dari niat yang ia sembunyikan. Ia menarik napas, lalu menjawab dengan lembut, “Munafik mungkin. Tapi justru karena itu saya tahu, Lady, siapa yang sebenarnya lebih pantas berada di sisi beliau.”

Evelyn menatapnya tanpa berkedip, alisnya sedikit terangkat. “Oh?”

Rosella menunduk sekali lagi, kali ini dalam, seolah benar-benar rendah hati. “Saya hanya seorang pelayan, seorang gadis tanpa nama besar, tanpa kehormatan keluarga. Tuan Duke mungkin memberi saya perhatian, tapi itu bukan karena saya pantas. Itu hanya kebetulan. Sebuah kebodohan kecil yang lahir dari kedekatan sehari-hari.” Ia berhenti sebentar, membiarkan kata-katanya menggantung, sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih halus, nyaris berbisik. “Sedangkan Lady Evelyn, Anda datang dari keluarga yang terhormat, cantik, berpendidikan. Semua hal yang membuat nama Duke Draevenhart lebih agung bila disandingkan dengan Anda.”

Diam. Hanya detak jam gantung di dinding yang terdengar.

Evelyn menghela napas pendek, menaruh dagunya di telapak tangan sambil terus menatap Rosella. Ada kilatan tipis antara rasa puas dan curiga di matanya.

Rosella, dengan wajah tenang, menambahkan. “Saya bahkan berharap, jika akhirnya perhatian Tuan Duke benar-benar beralih kepada Anda. Itu akan menjadi sebuah pembebasan bagi saya dan juga sebuah kehormatan bagi beliau.”

Kata pembebasan keluar dengan lembut, seakan tidak disengaja, tapi cukup jelas untuk meninggalkan jejak.

Evelyn mengetuk pelan meja kecil di samping sofa dengan jarinya, tidak menjawab seketika. Senyum miringnya kembali, tapi kali ini lebih menajam. “Kau pandai bicara, Rosella. Terlalu pandai untuk seorang pelayan.”

Rosella menunduk dalam, menyembunyikan senyum tipis yang sebenarnya terukir di bibirnya. “Saya hanya berkata apa adanya, Lady. Selebihnya … terserah bagaimana Anda ingin menafsirkannya.”

Rosella menatap Evelyn dengan tenang. Senyum samar masih tertinggal di bibirnya, bukan senyum penuh percaya diri, melainkan senyum yang menyembunyikan sesuatu di balik lapisan kesopanan seorang pelayan. Suaranya keluar pelan, hampir seperti bisikan yang dibiarkan jatuh begitu saja ke udara.

“Jika Lady berkenan, saya bisa membantu Anda untuk lebih dekat dengan Tuan Duke.”

Ucapan itu membuat suasana ruangan seolah mengeras. Cahaya matahari yang menembus tirai tipis tiba-tiba terasa terlalu terang, seperti menyoroti ketegangan yang melintas di antara mereka. Evelyn, yang sejak tadi duduk dengan sikap malas namun anggun, mendadak mengangkat punggungnya sedikit lebih tegak. Matanya, yang selalu dingin, sempat memancarkan sesuatu yang berbeda—kejutan kecil bercampur rasa ingin tahu. Namun Evelyn bukanlah wanita yang mudah memperlihatkan isi hatinya. Ia segera menutupi kilatan itu dengan senyum miring, senyum yang dibuat-buat tenang, seolah dirinya tetap menguasai situasi.

“Benarkah?” tanyanya, datar tapi panjang, seakan ingin memberi waktu pada Rosella untuk menyesali kalimat yang baru saja keluar.

Rosella tidak gentar. Ia mengangguk mantap, tanpa jeda ragu. “Benar, Lady.”

Keheningan mengikuti ucapan itu. Detik jam gantung di dinding terdengar jelas, memecah udara yang seolah padat. Evelyn memandangnya lama, meneliti wajah Rosella dari ujung rambut hingga jemari yang terlipat rapi di depan perutnya. Sorot matanya mencurigai, menimbang, sekaligus menahan rasa penasaran.

Perlahan, Evelyn menyilangkan kakinya. Ujung gaunnya bergeser, kain sutra itu berdesir halus di atas karpet tebal. Ia mengangkat tangannya, menopang dagu dengan jemari lentik yang berhiaskan cincin kecil. Gerakannya indah, tapi setiap detailnya penuh perhitungan. “Kalau begitu,” ujarnya dengan nada ringan yang palsu. “Bagaimana caranya?”

Rosella menunduk sedikit, membiarkan helai rambut pirangnya jatuh menutupi sebagian wajah. Senyumnya tetap ada, samar dan nyaris tak terbaca. “Saya tidak bisa menjelaskannya sekarang,” katanya, tenang namun dengan kejelasan yang membuat kata-katanya terdengar seperti janji. “Masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Tapi … jika Lady sungguh tertarik, temui saya besok pagi.”

Ia mengucapkannya tanpa tergesa, dengan jeda yang membuat setiap kata terasa berat. Ada semacam irama yang disengaja—irama yang tidak cocok dengan seorang pelayan biasa.

Evelyn tidak langsung menjawab. Ia hanya memandang, membiarkan kalimat itu bergema di benaknya. Tatapannya semakin tajam, namun sulit dipisahkan. Apakah itu tatapan marah, terhina, atau justru tertarik?

Rosella menundukkan kepala sekali lagi, memberi salam, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Langkah kakinya terdengar ringan, teratur, tak ada kesan terburu-buru. Ia menutup pintu perlahan, sehingga bunyi kayu yang beradu tidak menimbulkan suara keras.

Dan begitu pintu tertutup, keheningan kembali memenuhi ruangan.

Evelyn masih duduk di tempatnya, pandangannya tidak beralih dari pintu yang kini kosong. Bibirnya melengkung sedikit, senyum tipis yang sulit ditebak maksudnya. Ia mengetuk pelan sandaran sofa dengan jemari, sekali, dua kali, seolah tengah menimbang sesuatu. Ada rasa jengkel yang jelas—seorang pelayan berani bicara demikian, bahkan memberi syarat seolah dirinya memiliki kuasa. Itu penghinaan. Tapi di balik rasa marah itu, ada hal lain yang mengganggu pikirannya, rasa penasaran yang tumbuh semakin kuat.

“Lancang sekali pelayan kecil itu,” gumamnya perlahan, suaranya nyaris tak terdengar, hanya untuk dirinya sendiri.

Ia bersandar kembali, menyilangkan tangan di dada, matanya tetap tajam menatap pintu. Bayangan wajah Rosella, dengan ketenangan dan keyakinan yang tidak seharusnya dimiliki seorang gadis sepertinya, masih terpatri jelas di benaknya. Evelyn merasakan ketidaknyamanan, tapi juga dorongan aneh untuk mengetahui apa yang sebenarnya direncanakan gadis itu.

Dan di balik segala keangkuhannya, Evelyn tahu satu hal, ia tidak akan bisa mengabaikan undangan itu.

~oo0oo~

Rosella melangkah keluar dari ruangan Evelyn dengan langkah pelan, menjaga agar kain gaunnya tidak berisik saat bergesekan dengan lantai batu. Udara koridor terasa berbeda, lebih dingin, meski sinar siang masih menembus jendela tinggi. Di balik wajah tenangnya, hatinya bergolak. Jemari kecilnya meremas lipatan roknya sendiri, dan dalam hati ia berbisik—sebuah sumpah yang hanya untuk dirinya.

‘Aku akan membuatmu tidak bisa bertukik, Orion.’

Matanya menajam seiring pikiran itu, penuh dendam yang ia sembunyikan di balik topeng pelayan yang manis dan penurut.

Langkahnya membawanya menuruni lorong menuju dapur. Bau roti panggang dan sup daging yang direbus sejak pagi langsung menyambut hidungnya. Suara gelak tawa dan denting sendok beradu dengan mangkuk terdengar jelas—suasana yang kontras dengan ketegangan yang baru saja ia alami di ruangan Evelyn.

Di dalam, Feya sudah duduk di bangku panjang, memeluk lutut sambil mencondongkan tubuh ke depan. Rambut cokelat kemerahannya berantakan, wajahnya berseri dengan senyum lebar. Begitu melihat Rosella masuk, ia langsung melambaikan tangan, suaranya terdengar keras dan penuh heboh.

“Rosella! Akhirnya kau muncul juga! Jadi bagaimana rasanya bertatap muka dengan Lady Evelyn? Apa kau masih hidup seutuhnya? Atau dia sudah menusukkan tatapannya sampai kau meleleh jadi lilin?”

Feya tertawa sendiri dengan leluconnya, tangannya bahkan menepuk-nepuk meja kayu.

Lyrra, yang duduk tak jauh dari situ, langsung menoleh dengan wajah panik. Gadis berambut gelap itu menegakkan punggungnya, suaranya keluar tergesa, penuh kekhawatiran.

“Rosella, apa benar kau dipanggil langsung oleh Lady Evelyn? Ya Tuhan … dia bisa saja menghancurkanmu dengan satu kata. Apa yang dia lakukan padamu? Dia bicara apa?”

Rosella hanya tersenyum, lembut, seolah tidak terganggu oleh dua reaksi yang bertolak belakang itu. Ia menaruh tangan di atas meja, lalu duduk perlahan, berusaha membuat suasana tampak biasa saja.

“Semua baik-baik saja,” jawabnya singkat, dengan nada tenang.

Feya langsung bersuara lagi, kali ini lebih nyaring. “Ah, tidak mungkin! Kau pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Jangan-jangan dia mengancammu dengan sesuatu? Atau malah … hah!” ia menutup mulutnya dengan tangan, pura-pura terkejut. “Dia ingin kau pergi dari sini!”

Lyrra menelan ludah, wajahnya semakin tegang. “Rosella, katakan yang sebenarnya. Aku tahu Lady Evelyn tidak mungkin sekadar mengajakmu berbincang sopan. Dia bukan tipe yang ramah pada orang sepertimu. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Rosella menunduk sebentar, senyum tipis masih terlukis di wajahnya. Ia menggeleng pelan. “Tidak ada yang perlu kalian khawatirkan. Percayalah, semuanya baik-baik saja.”

Kedua temannya saling pandang. Feya menyipitkan mata, jelas tak puas dengan jawaban itu. “Kau pikir kami bisa percaya begitu saja? Aku kenal kau, Rosella. Senyummu itu terlalu … terlalu tenang. Seolah-olah kau sedang menyembunyikan sesuatu yang besar.”

Lyrra mencondongkan tubuh, suaranya lebih lembut tapi penuh tekanan. “Rosella, tolong. Kau tidak bisa menghadapi hal seperti ini sendirian. Kalau ada sesuatu yang berbahaya, kami berhak tahu.”

Rosella mengangkat wajahnya perlahan, menatap mereka berdua. Senyum itu masih sama, hangat di permukaan, tapi sulit ditebak maknanya. Matanya yang berwarna amber berkilat samar di bawah cahaya dapur.

“Aku tidak berbohong. Semuanya baik-baik saja.”

Feya bersedekap, mendengus tak percaya. “Dasar keras kepala.”

Lyrra masih menatapnya lekat-lekat, seakan ingin menembus kedalaman pikirannya. Tapi Rosella tidak bergeming, tetap menjaga topeng tenangnya.

Hening sejenak melintas. Hanya terdengar suara sup mendidih di tungku dan beberapa pelayan lain yang tertawa dari sudut dapur.

Rosella akhirnya bangkit dari bangku, merapikan gaunnya. “Aku harus kembali bekerja,” katanya lembut. Ia menoleh sekali lagi pada Feya dan Lyrra, senyumnya tipis namun sarat makna. “Kalian tidak perlu cemas. Percayalah … aku tahu apa yang sedang kulakukan.”

Lyrra hendak membuka mulut, tapi Rosella sudah berbalik dan melangkah keluar dapur.

Kedua temannya terdiam, menyisakan pertanyaan yang menggantung di udara. Feya mengguncang kepalanya, masih kesal. “Dia pasti menyembunyikan sesuatu.”

Lyrra menunduk, kedua tangannya meremas rok lusuhnya. “Ya … dan aku takut itu bukan sesuatu yang kecil.”

Pintu dapur berderit pelan tertutup di belakang Rosella. Gadis pirang itu berjalan menyusuri lorong dengan langkah mantap, wajahnya tenang, tapi di balik sorot matanya tersimpan sesuatu yang tidak mereka mengerti—rencana yang belum waktunya ia ungkapkan.

Dan entah kenapa, udara di lorong terasa lebih berat, seakan membawa janji akan sesuatu yang besar … sesuatu yang tidak akan bisa ditebak oleh siapa pun.

.

.

.

Bersambung

Hallo para readers, apa kabar? Jangan bosen-bosen ya sama ceritaku, maaf kalo ada alur, kata, atau bagian manapun yang kurang sempurna, bisa kok dibantu kritik and saran🤗 makasih untuk yang udah komentar:v

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!