Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 32 ] Ketika Hati Olivia Terusik
Sudah dua bulan lebih Olivia tinggal di desa bersama Maalik. Baru hari ini ia akhirnya bersedia ikut suaminya menghadiri pertemuan di balai desa. Ada rapat penting membahas persiapan perayaan tujuh belas Agustus. Awalnya Olivia menolak, ia lebih memilih berdiam diri di rumah, namun rasa bosan yang tak tertahankan membuatnya menyerah dan mengikuti Maalik.
Maalik tentu senang istrinya mau ikut. Dengan penuh semangat ia menyalakan motor trail kesayangannya, lalu membonceng Olivia menuju balai desa.
Sesampainya di sana, beberapa aparat desa dan warga menyambut Maalik dengan hangat. Sapaan mereka ramah, disertai lirikan penuh kekaguman kepada Olivia. Namun Olivia tetap bersikap datar. Bibirnya tak tergerak untuk membalas senyum, dan tatapannya seolah enggan menyapa balik.
Olivia merasa tak nyaman dengan pujian-pujian itu. Pandangan orang-orang yang memuja kecantikannya justru membuatnya risih. Menyadari hal itu, Maalik menggenggam tangan istrinya lembut, lalu menggandengnya masuk.
Di depan balai desa, Maalik bertemu Irwan, sekretaris desa, yang datang bersama istrinya, Lala.
“Wan,” sapa Maalik ramah.
“Eh, Pak Desa… sudah dari tadi, Pak?” balas Irwan sambil menjabat tangan.
“Baru saja,” jawab Maalik singkat, lalu perhatiannya tertuju pada Lala. Perempuan itu tengah menatap Olivia dengan binar mata penuh takjub, seolah baru melihat perhiasan berharga.
“Irwan, saya bisa minta tolong sama istri kamu?” ucap Maalik akhirnya.
Lala yang mendengar namanya disebut langsung menoleh. “Minta tolong apa, Pak?” tanyanya polos.
“Tolong temani istri saya dulu, ya, La. Saya ada rapat, takut Olivia nggak nyaman kalau ikut di dalam,” jelas Maalik, lalu menoleh ke Irwan. “Boleh kan, Wan?”
Irwan mengangguk mantap. “Boleh, Pak.”
Olivia segera menoleh ke arah Maalik dengan wajah kesal. “Emangnya gue barang, dititip-titipin segala?” dengusnya.
Maalik hanya tersenyum, mengelus lembut kepala istrinya. “Saya rapat sebentar saja. Kamu di sini sama Lala dulu, ya?”
Olivia menoleh malas, lalu bergumam, “Iya.”
Setelah itu Maalik masuk bersama Irwan, sementara Lala mengajak Olivia duduk di bawah pohon rindang.
Sejak tadi Lala tak henti memandangi Olivia. Akhirnya Olivia melirik, tatapannya sinis. “Ngapain lo lihat-lihat gue kayak gitu?”
“Kamu cantik banget, Mbak,” ucap Lala polos, tulus.
Olivia mendengus, lalu memutar bola matanya. “Ya, gue tau.”
Lala hanya tersenyum kecil, sama sekali tidak tersinggung.
“Mbak udah makan?” tanya Lala lagi.
“Udah,” jawab Olivia singkat.
“Yah, padahal saya mau ngajakin Mbak Olivia makan telur gulung.”
“Telur gulung?” alis Olivia terangkat.
“Iya, Mbak. Itu tuh, penjualnya,” Lala menunjuk ke arah gerobak kecil di depan gerbang balai desa.
Olivia menghela napas. “Lo beli aja sendiri.”
“Nggak enak kalau sendirian, Mbak,” jawab Lala lirih.
Olivia menatap Lala dari ujung kepala hingga kaki. Kulitnya putih bersih, meski tak seterawat kulitnya sendiri. Bajunya kasual tapi jelas bermerek. Zara, kalau Olivia tidak salah menilai. Heran, pikir Olivia, kok bisa ada orang desa dengan penampilan seperti itu. Dua bulan lebih tinggal di sini, ia sudah cukup hafal gaya warga—semuanya sederhana. Tapi Lala berbeda.
“Lo asli sini?” tanya Olivia akhirnya.
Lala tersenyum lalu menggeleng. “Saya dari Jakarta, Mbak.”
Olivia langsung menoleh cepat. “Sumpah, lo?”
“Iya. Saya orang Jakarta. Setelah nikah sama Mas Irwan, saya ikut tinggal di desa.”
Rasa penasaran Olivia makin besar. Ia memiringkan tubuhnya ke arah Lala. “Lo dijodohin juga sama Irwan?”
Lala terkekeh kecil lalu menggeleng. “Nggak, kami murni saling jatuh cinta.”
“Kok bisa?” Olivia semakin heran.
“Dulu saya KKN di desa ini. Dua bulan di sini, eh malah kecantol sama Pak Sekdes,” jawabnya sambil tersipu.
Olivia mengangguk-angguk dalam hati. Pantas saja penampilan Lala tak seperti kebanyakan orang desa.
“Lo nyaman tinggal di sini?” tanya Olivia blak-blakan.
“Awalnya berat, Mbak. Tapi lama-lama jadi betah juga.” Lala menoleh, matanya lembut. “Kalau Mbak gimana? Nyaman nggak tinggal di sini?”
Olivia mengembuskan napas panjang. “Nggak. Gue pengen balik ke Jakarta.”
Lala tersenyum maklum. “Dulu, sebulan pertama nikah saya juga begitu. Tiap malam nangis, merengek minta balik Jakarta. Tapi Mas Irwan sabar banget kasih pengertian. Eh, tiba-tiba sekarang udah setahun aja saya di sini.”
Olivia terdiam. Pikirannya melayang pada Maalik yang juga selalu sabar menghadapi keluh-kesahnya.
“Apa yang bikin lo betah di sini? Padahal nggak ada mall, nggak ada bioskop, nggak ada klub, nggak ada apa-apa.”
“Mas Irwan,” jawab Lala cepat, sambil tersipu lagi.
Olivia mendengus, lalu memutar matanya malas. “Yaelah, bucin banget.”
“Tapi beneran, Mbak. Mas Irwan alasan saya bertahan. Saya memang belum bisa akrab dengan ibu-ibu di sini, tapi nggak apa-apa. Yang penting hidup saya tenang sama dia.”
Olivia menaikkan sebelah alis. “Lo udah setahun di sini belum punya temen?”
Lala menggeleng. “Belum. Soalnya ibu-ibu di sini suka ngomongin orang kalau kumpul. Saya nggak bisa kayak gitu.”
Olivia justru mengangguk setuju. “Ya, gue tau itu.”
Obrolan semakin mengalir. Mereka membahas asal-usul, kuliah, sampai umur. Ketika Olivia meminta Lala berhenti memanggilnya mbak dan mengganti dengan panggilan santai lo-gue, Lala tertawa renyah dan menurut.
Bagi Olivia, ini pertama kalinya ia merasa sedikit lebih ringan tinggal di desa. Ia menemukan seseorang yang mirip dengannya. Begitu pula Lala yang akhirnya merasa punya teman sebaya.
Namun momen itu buyar ketika dari arah balai desa, Maalik keluar bersama Irwan dan perangkat desa lain. Tepat saat itu pula, seorang bocah laki-laki berusia enam tahun berlari sambil berteriak, “Bapakk!” Ia langsung memeluk kaki Maalik dengan manja.
Maalik tersenyum hangat, menunduk, lalu mengelus kepala bocah itu.
Olivia mengernyit, tak suka dengan pemandangan itu. “Itu bocah siapa?” tanyanya pada Lala.
“Itu Teguh, anak Mbak Indri,” jawab Lala.
“Indri siapa? Kok bisa anaknya nempel banget sama Maalik?”
Belum sempat Lala menjawab, seorang perempuan muncul dari arah gerbang. Wajahnya manis, seumuran Maalik atau Irwan. Ia tersenyum lembut sambil menghampiri anaknya.
“Itu Mbak Indri,” bisik Lala, menunjuk. "Dia janda, dan...." Kemudian ia menahan ucapannya, seolah ragu.
“Dan apa?” Olivia mendesak penasaran.
“Dan… kayaknya dia suka sama Pak Desa,” jawab Lala pelan.
Olivia sontak menoleh cepat, matanya tajam. “Lo tau dari mana?”
“Kelihatan, Liv. Coba lo perhatiin cara dia lihat Pak Desa.”
Olivia pun memperhatikan, dan benar saja. Indri tampak tersipu ketika Maalik berbicara. Senyumannya terlalu lembut, matanya berbinar, dan ia membiarkan anaknya berlama-lama bermanja dengan Maalik.
“Dih, najis banget,” gumam Olivia geli bercampur kesal.
Lala tertawa kecil. “Tapi tenang, Pak Maalik nggak pernah tergoda. Lo jauh lebih oke.”
Olivia mengibaskan rambutnya dengan angkuh. “Yaiyalah. Gila aja lo samain gue sama janda.”
Lala langsung tertawa keras mendengar jawabannya.
“Suaminya kemana?” tanya Olivia ketus.
“Nggak tau pasti. Kata Mas Irwan, dulu dia hamil duluan, lalu nikah. Tapi setelah anaknya umur tiga tahun, mereka pisah,” jelas Lala hati-hati.
Olivia hanya mengangguk-angguk sambil menahan kekesalannya yang mulai tumbuh.
aku nungguin terus kelanjutan ceritanya
udah GX sabar bgt..
beberapa bab cuma ngomong gitu doang