NovelToon NovelToon
Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:15.4k
Nilai: 5
Nama Author: ila akbar

‎Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
‎Menjalin hubungan dengan duda ❌
‎Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
‎Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

Pagi pun tiba…

Sejak membuka mata, bibir Mawar terus manyun. Langkahnya gontai, gerakannya sedikit lebih keras dari biasanya, seolah sengaja ingin menunjukkan kalau ia sedang kesal.

Mbok Ijah, yang sedang mengiris bawang di dapur, sempat meliriknya sekilas. Dahi wanita paruh baya itu mengernyit.

“Neng Mawar kenapa ya? Kok dari tadi kayak lagi ngambek gitu?” batin Mbok Ijah sambil mengamati Mawar menaiki tangga menuju lantai dua.

Setibanya di lantai atas, Mawar berjalan lurus menuju kamar Raya. Namun, di tengah langkahnya, ia harus melewati ruang kerja Bumi.

Bumi, yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, secara refleks menoleh saat melihat Mawar melintas. Tidak seperti biasanya, Mawar yang selalu menyapa atau bahkan melempar godaan kecil dengan nada centil. Tapi pagi ini berbeda.

Gadis itu hanya melirik sekilas, lalu dengan cepat memalingkan wajahnya, memasang ekspresi sebal, dan berjalan cepat seakan tak ingin berlama-lama di sana.

Bumi mengernyit, sedikit bingung. “Dia kenapa?”

Seolah kejadian semalam sudah benar-benar ia lupakan.

Tapi bagi Mawar? Itu masih jelas terpatri di pikirannya.

Mawar yang masih ngambek langsung menuju kamar Raya, membangunkan bocah kecil itu, memandikannya, dan menyiapkan segala keperluan sekolahnya. Semua tugas ia lakukan seperti biasa—hanya saja, ada yang kurang. Tak ada senyum, tak ada celoteh khas Mawar yang ceria.

Setelah menyelesaikan semuanya, Mawar kembali keluar dari kamar Raya dan berjalan melewati ruang kerja Bumi lagi.

Bumi yang merasa kepalanya semakin pening akibat pekerjaannya yang menumpuk, memanggilnya.

“Mawar, tolong buatkan susu hangat lagi seperti kemarin!”

Biasanya, permintaan seperti itu akan langsung Mawar penuhi dengan penuh semangat. Namun kali ini…

Baru beberapa langkah, Mawar tiba-tiba berhenti. Bukannya menjawab atau bergegas ke dapur seperti biasa, ia justru melirik sekilas ke arah Bumi yang masih sibuk dengan berkas-berkasnya.

Alih-alih merespons, Mawar malah mengerucutkan bibirnya lebih dalam, melipat tangan di dada, lalu—tanpa sepatah kata pun—langsung berbalik pergi.

Begitu saja.

Bumi menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan lelah.

Ia tahu persis kenapa Mawar bersikap seperti ini. Sudah jelas, semuanya karena kejadian tadi malam—karena tuduhannya yang terlalu gegabah.

Namun… bagaimana caranya menebus kesalahan?

Setelah setengah jam lamanya berkutat dengan pekerjaan, Bumi akhirnya bangkit dari kursinya, keluar dari ruang kerja, dan menuju kamarnya untuk bersiap ke kantor.

Namun, begitu sampai di ambang pintu kamar yang terbuka, langkahnya terhenti.

Matanya menangkap sosok Mawar yang sedang sibuk memilihkan jas, kemeja, dan sepatu untuknya. Gadis itu juga sudah menyiapkan air hangat untuk mandinya, persis seperti hari-hari sebelumnya.

Tapi… tetap dengan ekspresi cemberutnya.

Bumi diam sejenak, lalu melangkah masuk. Ia menatap Mawar dengan ragu, sedikit tidak enak hati.

Mawar yang sadar kehadirannya, langsung meletakkan jas dan kemeja itu ke atas ranjang—dengan sedikit kasar. Setelah itu, tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan keluar dari kamar, meninggalkan Bumi yang hanya bisa menghela napas panjang.

“Astaga… Aku harus bagaimana supaya dia berhenti ngambek?” gumam Bumi dalam hati. Entah mengapa, Bumi merasa resah.

Di Meja Makan…

Lusi yang baru pulang setelah semalaman menjalani pemotretan kini duduk bersama Bumi dan Raya, menikmati sarapan.

Di tangannya, ia memegang beberapa contoh dekorasi pesta ulang tahun untuk Raya.

“Kalau yang ini gimana, Mas? Cocok nggak? Atau yang ini aja ya?” tanyanya penuh semangat, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah karena telah mengingkari janjinya semalam.

“Pokoknya, aku mau ulang tahun Raya tahun ini dibuat semeriah dan semegah mungkin. Apalagi bakal banyak media dan wartawan yang meliput. Kita harus terlihat wow di hadapan mereka,” jelasnya dengan nada antusias.

Di sampingnya, Raya ikut melihat-lihat gambar dekorasi itu, lalu menunjuk salah satunya. “Tapi Raya sukanya yang ini, Ma.”

Sementara Lusi sibuk membahas pesta, perhatian Bumi justru melayang ke tempat lain.

Sejak tadi, tatapannya terus mengikuti Mawar.

Ia memperhatikan bagaimana gadis itu mengambilkan nasi untuk semua orang di meja. Tangannya cekatan, mengisi piring satu per satu dengan telaten… sampai akhirnya hanya tersisa satu piring yang kosong.

Piringnya.

Bumi menunggu. Biasanya, Mawar akan menyiapkan sarapan untuknya lebih dulu, bahkan sebelum menyiapkan untuk yang lain. Tapi kali ini, gadis itu bahkan tidak melirik ke arahnya.

Kesabarannya hampir habis. Ia hendak membuka suara, ingin menegur Mawar—“Hei, piringku masih kosong!”

Namun, sebelum kata-kata itu keluar, Mawar lebih dulu berbalik dan melangkah ke dapur, meninggalkannya begitu saja.

Ia sengaja tidak mengisi piring Bumi dengan nasi. Ini adalah bentuk hukumannya atas sikap Bumi yang telah membuatnya kesal.

Bumi kembali menghela napas berat, mengusap wajahnya.

“Apa aku harus benar-benar minta maaf duluan?” pikirnya pasrah.

Tiba-tiba, suara Lusi memecah keheningan.

“Mbok Ijah, Mawar! Tolong ke sini sebentar!”

Mawar dan Mbok Ijah yang sedang berada di dapur, langsung bergegas menghampiri meja makan.

Lusi menatap keduanya dengan tajam, suaranya tegas tanpa memberi ruang untuk penolakan.

"Besok lusa, di pesta ulang tahun Raya, aku ingin kalian berdua hadir. Akan ada banyak hal yang perlu dikerjakan, dan kalian harus membantu para pelayan melayani tamu!"

Mawar, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya membuka suara. “Tapi, Bu...”

Kata-katanya terhenti di tengah jalan. Pandangannya sekilas melirik ke arah Bumi yang masih sibuk dengan sarapannya, seolah tak peduli dengan yang sedang terjadi.

Padahal di dalam hati, Mawar mendengus kesal. “Dasar laki-laki nggak peka! Orang kalau salah, ya minta maaf dulu kek, atau gimana gitu...!”

Lusi mengernyit, menunggu kelanjutan ucapan Mawar. “Iya, Mawar? Ada apa?”

Mawar menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, lalu menatap Lusi dengan mantap.

“Kayaknya Mawar nggak bisa ikut ke acara ulang tahun Non Raya besok lusa, Bu.”

Lusi menatapnya heran. “Kenapa?”

Mawar kembali menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengucapkan kata-kata yang membuat ruangan mendadak hening.

“Soalnya, mulai hari ini, Mawar memutuskan untuk berhenti bekerja di sini.”

Seketika, Bumi yang sedang fokus dengan sarapannya menghentikan gerakannya. Matanya membelalak, refleks menatap Mawar dengan ekspresi tak percaya.

Lusi dan Mbok Ijah pun ikut terkejut.

“Lho, Neng Mawar! Beneran mau berhenti kerja?” tanya Mbok Ijah, jelas tak menyangka mendengar pernyataan itu.

Lusi menatapnya tajam. “Mawar, kamu harus bisa konsisten. Kamu baru bekerja di sini belum sampai sebulan, masa tiba-tiba mau berhenti begitu saja?”

Belum sempat Mawar menjawab, suara rengekan kecil tiba-tiba terdengar.

“Mbak Mawar nggak boleh berhentiiii! Nanti Raya sama siapaaa?”

Raya, yang sejak tadi diam, kini sudah menarik-narik tangan Mawar dengan wajah memelas.

Lusi ikut membujuk. “Tuh, Raya sudah nyaman sama kamu. Apa ini karena kemarin aku nggak kasih izin cuti?”

Mawar tetap diam.

Lusi melanjutkan, suaranya lebih lembut. “Kalau soal cuti, aku memang belum bisa memberikannya karena kamu baru bekerja. Tapi aku harap kamu pikirkan lagi sebelum mengambil keputusan, Mawar. Jangan hanya karena emosi sesaat.”

Mawar masih terdiam. Dalam hati, ia ingin tertawa melihat ekspresi Bumi yang jelas-jelas panik. Tapi ia menahan diri, memasang wajah datar seolah benar-benar mempertimbangkan ucapannya.

Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, akhirnya Mawar menghela napas panjang dan berkata, “Ya sudah, kalau begitu, akan Mawar pikirkan lagi, Bu.”

Bumi, yang sejak tadi tanpa sadar menahan napas, akhirnya mengembuskannya lega.

Sepertinya bukan hanya Raya yang sudah terbiasa dengan kehadiran Mawar di rumah ini. Tanpa disadari, Bumi sendiri juga telah terikat dalam kenyamanan yang Mawar ciptakan.

Cara Mawar mengurusnya, memperhatikan setiap detail kecil tentangnya, melayani semua kebutuhannya tanpa diminta—semua itu diam-diam telah mengisi ruang kosong dalam hidupnya. Ada sesuatu dalam sikap Mawar yang membuatnya sulit berpaling, sesuatu yang tanpa sadar sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Sebuah perhatian, yang bahkan tidak pernah ia dapatkan dari Lusi, istrinya sendiri.

Dan kini, membayangkan Mawar benar-benar pergi… entah kenapa, rasanya begitu mengganggu. Meskipun belum genap sebulan Mawar bekerja dengannya.

Sepertinya Mawar sudah berhasil membawa Bumi masuk ke dalam perangkapnya.

Di sisi lain, Mawar menyembunyikan senyum kecil di balik ekspresinya yang tetap dibuat datar.

Sejujurnya… ia memang tidak benar-benar ingin berhenti bekerja.

Ia hanya ingin tahu, bagaimana reaksi Bumi jika ia mengancam akan pergi. Dan melihat ekspresi terkejutnya tadi? Itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya puas.

Malam hari...

Di Kantor Bumi...

Hari ini, ada yang berbeda dari Bumi. Fokusnya terpecah, pikirannya melayang entah ke mana. Biasanya, ia adalah sosok yang disiplin dan tanpa cela saat bekerja, tapi kali ini… sejak pagi, ada sesuatu yang membuatnya resah.

Lagi-lagi, matanya melirik jam tangan. Pukul 21.00 malam.

“Ya Tuhan… Mawar jadi berhenti atau tidak?” gumamnya dalam hati.

Ternyata, itulah akar dari kegelisahannya sejak tadi—pikiran tentang Mawar yang tak kunjung pergi dari benaknya.

Bahkan tanpa disadari, hampir sepanjang hari ia lebih banyak termenung dibanding menyelesaikan pekerjaannya.

Perasaan gelisah semakin menjadi, membuatnya tidak tahan lagi duduk diam. Tiba-tiba, ia bangkit dari kursinya, lalu mengambil keputusan yang sangat tidak biasa.

“Sudah, kalian pulang saja. Lemburnya cukup sampai sini.”

Suasana ruangan langsung hening.

Para karyawan yang tadinya sibuk bekerja kini saling menatap, mencoba memastikan bahwa mereka tidak salah dengar.

“Pak Bumi menyuruh kita pulang? Serius?”

“Bos kita yang terkenal gila kerja, dingin, dan disiplin itu?”

Mereka bahkan tidak langsung bersorak kegirangan, karena lebih dulu diliputi rasa heran. Biasanya, Bumi tidak akan segan menegur siapa pun yang bekerja tidak maksimal. Tapi malam ini, ia sendiri yang lebih dulu menyerah pada pekerjaannya.

Bumi menatap mereka sekilas, namun tak berniat memberi penjelasan. Tanpa sepatah kata lagi, ia melangkah keluar, meninggalkan kantor dalam kebisuan yang aneh.

Begitu ia menghilang di balik pintu, beberapa karyawan akhirnya bersorak kecil. “Akhirnya kita pulang lebih awal!”

Tapi tidak bagi Bumi. Ia tidak merasa lega. Justru, hatinya semakin sesak.

Di dalam mobil, Bumi duduk di kursi belakang. Satu tangannya menggenggam lutut, sementara tangan lainnya mengepal erat di atas pahanya. Pandangannya kosong menatap ke luar jendela, tapi pikirannya kacau.

Sekali lagi, matanya melirik jam di dashboard depan mobil.

Semakin larut.

Dan semakin malam, rasa cemasnya semakin menusuk.

“Apa dia benar-benar pergi?”

Hati kecilnya menolak menerima kemungkinan itu.

"Pak Dias, lebih cepat sedikit," ucap Bumi dengan suara parau.

Pak Dias mengangguk tanpa banyak bicara, menekan pedal gas lebih dalam. Mobil melaju kencang menembus gelap malam.

Bumi menggigit bibirnya. Ia ingin segera sampai di rumah—ingin segera melihat dengan matanya sendiri… sebelum semuanya benar-benar terlambat.

Setengah jam kemudian...

Begitu tiba di rumah, Bumi segera masuk dengan langkah lebar. Matanya langsung menyapu seluruh ruangan, mencari sosok yang ingin ia lihat. Namun, yang ia temukan hanya Mbok Ijah yang baru saja selesai membuang sampah.

Hatinya semakin gelisah. “Di mana dia?”

Tepat saat itu, suara langkah terdengar dari tangga.

Mawar turun dari lantai dua setelah menidurkan Raya. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tapi masih tetap cantik seperti biasa.

Bumi menatapnya lama, lalu mengembuskan napas lega. “Ya Tuhan... akhirnya dia tidak jadi pergi.”

Tanpa mengatakan apa-apa, ia langsung menuju kamarnya. Seolah ingin menyembunyikan kegembiraan, ia tetap mempertahankan ekspresi dinginnya.

Seperti biasa, Mawar mengikuti dari belakang. Meskipun masih kesal, ia tetap menjalankan tugasnya. Begitu masuk ke kamar, ia langsung menuju kamar mandi, menyiapkan air hangat untuk mandi Bumi.

Dari tempatnya berdiri, Bumi memperhatikan setiap gerakannya dengan saksama. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Sikap lembut, perhatian, dan kebiasaannya merawat dan melayaninya tanpa diminta—itulah yang membuat Bumi merasa nyaman dan semakin sulit melepaskan Mawar dari pikirannya.

Mawar masih menunjukkan wajah cemberutnya. Saat berjalan menghampiri Bumi, ia mulai membuka dasinya dengan tangan yang sedikit gemetar karena kesal. Namun, bibirnya tetap mengerucut, mempertahankan sikap ngambeknya.

Bumi tersenyum tipis melihat ekspresi kesal Mawar yang tak juga mereda. Tanpa aba-aba, ia tiba-tiba meraih tubuh gadis itu dan mengangkatnya dengan mudah.

“P-Pak Bumi... apa-apaan ini?!” Mawar terkejut, refleks melingkarkan tangannya ke leher pria itu saat tubuhnya berada dalam gendongannya.

Bumi hanya terkekeh pelan, lalu mendudukkannya di pangkuannya. “Kenapa ngambek teruuus, hmm?” tanyanya dengan nada lembut, tatapannya penuh godaan.

Mawar terkejut. Wajahnya langsung memanas. “P-Pak Bumi...!” bisiknya, matanya menatap dalam wajah tampan pria itu.

Namun, alih-alih menjawab, Bumi hanya tersenyum samar, lalu menggerakkan dagunya, memberi isyarat agar Mawar melanjutkan tugasnya—melepas kemejanya seperti biasa.

Mawar menunduk, semakin gugup, berpura-pura sibuk dengan jari-jarinya yang gemetar. Bibirnya mengerucut lagi, masih ngambek.

Bumi yang memperhatikan tingkahnya terkekeh lagi. “Kenapaaaa?” ucapnya pelan, tangannya terangkat untuk merapikan helaian rambut Mawar yang jatuh menutupi wajah cantiknya. “Aku nggak suka lihat kamu ngambek begini.”

Mendengar itu, hati Mawar langsung mencelos. Sejak tadi pagi, ia sudah menunggu-nunggu perhatian dari pria ini, dan sekarang… akhirnya, ia mendapatkannya. Dengan nada manja, ia pun mencurahkan unek-uneknya.

“Ya habisnya Pak Bumi sih… nuduh-nuduh Mawar yang nggak-nggak…”

Mawar mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan sorot protes. “Orang udah jelas-jelas Pak Bumi yang semalam cium-cium Mawar… Pak Bumi yang peluk-peluk Mawar… Pak Bumi yang main-mainin nen Mawar... Pak Bumi yang—”

Tiba-tiba, kata-kata Mawar terhenti. Matanya membelalak lebar.

Karena dalam hitungan detik, Bumi langsung menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya.

Mawar membeku. Otaknya seakan berhenti bekerja.

Sementara itu, Bumi masih terus mengecupnya, menuntut perhatian lebih. Seolah ingin membungkam bibir bawelnya dengan cara yang lebih efektif.

###

Kalau nggak ada yang coment, Author nggak mau update 🙏

1
kalea rizuky
lanjut yg banyak penasaran endingnya jangan ampe qm. terbawa perasaan mawar inget dendam mu ke lusi
kalea rizuky
lanjut
Memyr 67
𝖽𝖺𝗁 𝖺𝗄𝗎 𝗄𝗈𝗆𝖾𝗇, 𝗍𝖾𝗋𝗎𝗌𝗄𝖺𝗇 𝗉𝖺𝗇𝖺𝗌𝗇𝗒𝖺, 𝗁𝗈𝗍 𝗅𝖾𝗏𝖾𝗅 50
Oppo A54
iya
Uni Kamri
aku suka novel genre begini yg ada sugar daddy nya
Nittha Nethol
gimana sih ceritanya
Ila Akbar 🇮🇩: Maaf, salah update bab🙏
total 1 replies
Aliya
perasaan bab yg ini udah deh ko balik lagi sih apa perasaan aku aja
Ila Akbar 🇮🇩: Maaf, salah update bab 🙏
total 1 replies
Aliya
thor lama banget sih up nya
Yuki Kim
ditunggu selanjutnya thor
siti Syamsiar
jgn ngambek thor. lg seru ini om bumi mulai bucin🤗
Aliya
lanjut dong thor jangan lama²
Dila Dilabeladila
wihhhhhhhh, lanjut atuh jangan naggung bikin penasaran endingnya
Aliya
lama amat sih thor
Nittha Nethol
lamaa
Aqilah Azzahra
semangat kak
Ila Akbar 🇮🇩: ♥️♥️♥️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!