"Perjodohan memang terlihat begitu kuno, tapi bagiku itu adalah jalan yang akan mengantarkan sebuah hubungan kepada ikatan pernikahan," ~Alya Syafira.
Perbedaaan usia tidak membuat Alya menolak untuk menerima perjodohan antara dirinya dengan salah satu anak kembar dari sepupu umminya.
Raihan adalah laki-laki tampan dan mapan, sehingga tidak memupuk kemungkinan untuk Alya menerima perjodohannya itu. Terlebih lagi, ia telah mencintai laki-laki itu semenjak tahu akan di jodohkan dengan Raihan.
Namun, siapa sangka Rayan adik dari Raihan, diam-diam juga menaruh rasa kepada Alya yang akan menjadi kakak iparnya dalam waktu dekat ini.
Bagaimana jadinya, jika Raihan kembali dari perguruan tingginya di Spanyol, dan datang untuk memenuhi janjinya menikahi Alya? Dan apa yang terjadi kepada Rayan nantinya, jika melihat wanita yang di cintainya itu menikah dengan abangnya sendiri? Yuk ikuti kisah selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Bertemu Kembali
..."Terkadang menepi adalah suatu pilihan yang tepat untuk menenangkan diri. Akan tetapi, memendam semua sakit sendirian pun, tidak bagus untuk diri yang sudah di larut dalam sakit hati."...
...~~~...
Begitu Rayan berangkat kerja, sekarang hanya tinggal Bunda Zahra dan Alya yang ada di meja makan itu. Dan Bunda Zahra kini mendekati Alya, dengan duduk di kursi dekat menantunya itu.
"Kamu kenapa, Alya? Apa yang di katakan Rayan itu tadi benar? Semalam kamu itu kenapa?" tanya Bunda Zahra yang ingin mengetahui semuanya.
Alya pun tersenyum tipis, sembari menyentuh kedua tangan Bunda Zahra. "Alya enggak papa kok, Bunda. Itu Rayan hanya becanda saja, ini buktinya Alya sekarang enggak kenapa-kenapa," jawabnya dengan menyembunyikan kejadian semalam.
"Benar begitu, Alya? Kamu tidak sedang membohongi Bunda, kan?" ujar Bunda Zahra karena takutnya Alya berbohong kepada dirinya.
"Enggak kok, Bun. Alya baik-baik saja ini," ucap Alya dengan tersenyum manis dan meyakinkan Bunda Zahra.
"Ya udah, alhamdulillah kalau begitu. Bunda takut kamu kenapa-kenapa. Sekarang, kamu diam saja di sini ya? Lihat Bunda masak saja, soalnya tangan kamu kan lagi sakit itu," ucap Bunda Zahra dengan begitu pengertian.
"Loh, enggak bisa Bun. Tanggung tahu, di sini lihatnya jauh. Alya bantu-bantu lagi di dapur ya?" sahut Alya sedikit memohon, kerena ia benar-benar ingin bisa memasak.
"Tapi kamu kan masih terluka itu jarinya," tutur Bunda Zahra sedikit keberatan.
"Plis, Bun. Boleh ya? Plis ...," ucap Alya dengan menangkupkan kedua tangannya di dada dan berharap Bunda Zahra mau menuruti permintaannya itu.
Bunda Zahra yang tidak tega melihat Alya seperti itu. Lantas, ia pun menganggukkan kepalanya, walupun agak sedikit takut menantunya itu kembali terluka.
"Bunda mengangguk itu tandanya boleh dong ya?" ucap Alya dengan kedua mata yang sudah berbinar.
"Iya sayang boleh, tapi ingat! Nanti harus hati-hati dan bantunya sedikit saja ya? Selebihnya lihat saja caranya oke?" ucap Bunda Zahra yang akhirnya setuju.
"Iya Bunda, terimakasih banyak loh. Alya udah enggak sabar belajar masak sama Bunda," ujar Alya dengan segera berdiri dari kursi depan meja makan.
Dan mulai melangkah berjalan ke dapur, dengan Bunda Zahra yang tersenyum dan ikut berdiri. Namun, kedua matanya tidak sengaja melihat cara jalan Alya yang sedikit pincang.
"Loh Alya, kaki kamu kenapa? Kok jalannya agak pincang kayak gitu?" tanya Bunda Zahra dengan menatap heran kepada Alya yang berjalan pincang.
Deg.
...*****************...
Sesampainya di salah satu butik terkenal yang ada di Jakarta, Rayan akhirnya bisa bernafas lega, setelah lepas dari pertanyaan Bunda Zahra akan kejadian terpeleset Alya semalam.
"Huh, untung saja Reno buru-buru telepon dan suruh aku ke sini. Jika saja tidak, maka aku akan di hadang oleh banyak pertanyaan dari Bunda soal Alya. Setidaknya jika aku pergi, Alya sendiri yang akan menjelaskan semuanya kepada Bunda," ucap Rayan di dalam hatinya.
Dan tiba-tiba saja, Reno datang menghampirinya dari dalam, dengan menyentuh pundaknya, sehingga membuatnya terkejut.
"Bos, akhirnya datang juga yang di tunggu. Ayo kita masuk ke dalam, klein kita udah menunggu di dalam sana," ucap Reno begitu melihat Rayan sudah datang dan berdiri di depan butik.
"Iya Ren, sorry agak terlambat tadi macet di jalan," kata Rayan merasa tidak enak kepada temannya itu, walupun dia sekarang adalah pegawai kepercayaannya.
"Yoi, enggak papa bro. Santai saja, kita masuk yuk sekarang? Sebentar lagi pemotretan di mulai," balas Reno dengan segera mengajak Rayan untuk segera masuk ke dalam butik.
Rayan hanya menganggukkan kepalanya saja, dengan mulai melangkah masuk ke dalam butik yang cukup terkenal itu.
Dan begitu masuk ke dalam, Rayan pun di minta untuk duduk di sofa tunggu para pembeli yang telah di siapkan oleh pemilik butik itu.
"Bos, tunggu di sini dulu ya? Saya ke sana dulu, mau cek persiapan pemotretannya sudah siap apa belum. Nanti pemilik butik ini akan segera datang ke sini, setelah selesai mengurus pelanggannya," ucap Reni setelah mengantarkan Rayan menuju sofa yang ada di pojok sana.
"Is okey, Ren. Aku akan menunggu di sini," ucap Rayan yang tidak keberatan dengan itu.
Dengan begitu, Reno pun tenang untuk meninggalkan Rayan di sana, dengan melihat persiapan pemotretan yang tidak akan lama lagi berlangsung.
Begitu di tinggalkan oleh Reno, Rayan pun hanya melihat-lihat pelanggan di sana yang cukup ramai, serta melihat baju butik yang sudah jadi, dan di perlihatkan dalam sebuah patung-patung.
"Bagus dan ramai juga, nuansanya pun terlihat tradisional tapi moderen. Jadi, pantas saja banyak orang yang minat untuk datang ke butik ini," ucap Rayan dengan memuji hasil baju butik di sana, serta melihat dekorasi ruangan yang terlihat dari dalam.
Namun, di saat Rayan tengah asik-asiknya melihat-lihat koleksi hasil butik-butik di sana yang memesan jasanya itu untuk promosi. Tiba-tiba saja kedua mata Rayan menangkap sesosok seseorang yang begitu di kenalnya.
"Loh, itu Bang Raihan," ucap Rayan begitu melihat Raihan masuk ke dalam butik dari pintu utama bersama seorang wanita cantik di sampingnya.
Tidak bisa di hiraukan lagi, matanya itu tidak salah lihat, memang yang di lihatnya itu adalah abangnya sendiri. Dan lebih parahnya lagi, Raihan tidak datang sendiri, dia membawa seorang wanita seksi dan cantik di sampingnya. Bahkan, Raihan sampai melingkarkan tangannya di pinggang wanita yang juga tidak asing baginya itu.
"Silvi ... ya aku tidak salah lihat ini. Raihan dan Silvi, mereka datang ke sini. Ini enggak bisa di biarin, aku harus mendatangi Bang Raihan sekarang juga!" ucap Rayan dengan sorot mata tajam, menatap abangnya yang tengah bersama wanita lain dan bukan kakak iparnya.
Dengan tangan yang sudah di kepal kuat, Rayan pun berdiri dari sofa, dan hendak melangkah menghampiri abangnya yang berani bermesraan dengan wanita lain di belakang Alya.
"Eh, Mas Rayan. Kamu mau ke mana, Mas?" tanya seorang wanita pemilik butik itu, sembari mencekal lengan Rayan yang hendak pergi dari sofa itu.
Mendengar suara itu, Rayan pun menoleh ke belakang. Dan ia memelhat sosok wanita yang sudah tidak asing lagi baginya itu. Kini terlihat berdiri di depan matanya, dengan dia yang mencekal lengan tangannya.
"Kamu?" seru Rayan yang sudah bertemu dengan pemilik butik itu.
Wanita itu tersenyum dan menjawab, "Iya aku Raina, wanita yang kemarin sore ada di puncak itu. Dan ternyata, kamu masih ingat ya sama aku?" jawabnya yang terlihat ramah.
"Ah iya, aku ingat," balas Rayan yang langsung bisa mengenali Raina.
"Bagus deh, tapi sebelum itu. Kamu mau pergi ke mana itu tadi?" tanya Raina yang dengan jelas, tadi ia melihat Rayan begitu terburu-buru untuk menghampiri seseorang.
"Oh ya, aku akan menemu ...," kata Rayan sembari menatap tempat di mana ia melihat abangnya itu.
Deg.
Seketika Rayan terdiam, ia sudah tidak melihat lagi keberadaan Raihan, dan juga sekertaris abangnya itu Silvi yang sempat di lihatnya tadi, sebelum akhirnya membalikkan badan.
"Rayan, kok diam? Kamu mau memenui siapa?" tanya Raina karena melihat Rayan mematung menatap lurus ke arah pintu masuk yang tidak ada siapapun di sana.
.
.
.