Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Pagi itu, matahari menembus jendela besar rumah keluarga Bagaskara. Burung-burung di taman depan berkicau ramai. Celin duduk di lantai ruang tengah dengan boneka kelinci di pangkuannya. Di depannya, dua boks bayi berjajar. Arka dan Aksa masih tertidur pulas, wajah mungil mereka tampak mirip sekali—hanya berbeda di rambut, Arka agak lebih tebal, sementara Aksa tipis halus.
Celin mencondongkan tubuh, berbisik pelan, “Adik… bangun, ayo main sama kakak.”
Arka menguap kecil, menggeliat, lalu kembali tenang.
“Eh, jangan tidur terus. Aku udah nyanyi lho dari tadi,” rengeknya sambil menepuk bonekanya.
Arini muncul sambil tersenyum, membawa nampan berisi segelas susu untuk Celin.
“Celin, biarin adik-adik istirahat dulu, sayang. Mereka masih bayi. Kalau kamu gangguin terus, nanti nangis.”
Celin manyun. “Tapi Ma, aku kan mau ngajarin lagu kelinci. Biar mereka hafal dari kecil.”
Arini duduk di sampingnya, mengusap rambut putrinya lembut.
“Lagu kelinci bisa besok-besok juga. Sekarang Kakak Celin minum dulu susunya.”
Bagas yang baru turun dari lantai atas ikut nimbrung. Ia mendengar percakapan mereka lalu terkekeh.
“Wah, kakak kecil kita ini serius banget ngajarin adik. Kayak guru TK.”
Celin mendongak, matanya berbinar. “Emang aku calon guru, Pa. Guru buat adik-adikku.”
Bagas terkekeh makin keras. Ia duduk di sofa sambil membuka koran. “Ya sudah, guru kecil. Tapi guru juga harus sarapan dulu biar kuat. Minum habis itu makan, oke?”
“Siap, Pak Guru Besar!” sahut Celin dengan gaya sok formal, membuat Arini ikut tertawa.
-----
Beberapa hari kemudian, malam keluarga Bagaskara terasa panjang. Tangisan bayi kembar sering bergantian, membuat rumah riuh. Tapi Celin selalu terbangun meski Oma atau pengasuh sudah menenangkan bayi.
Suatu malam, suara tangisan Arka membangunkan Celin. Ia bangkit dari kasurnya, berjalan pelan ke kamar Mama. Di sana, Arini sudah berdiri sambil menggendong Aksa, sementara Bagas sibuk menimang Arka.
“Mama, Papa, aku bantuin, ya?” Celin berdiri di pintu, matanya masih mengantuk tapi wajahnya serius.
Arini menoleh, terharu. “Celin, sayang… ini malam, kamu tidur aja.”
“Aku bisa kok, Ma. Aku ambil popoknya aja deh.” Tanpa menunggu jawaban, Celin berlari kecil ke lemari, menarik sebuah popok bersih, lalu memberikannya ke Bagas. “Nih Pa, gantiin Arka biar dia nyaman.”
Bagas mengelus kepala putrinya. “Kamu hebat, Celin. Tapi jangan terlalu capek. Kamu masih kecil.”
Celin menggeleng, matanya bulat. “Aku kakak. Kakak nggak boleh malas.”
Arini meneteskan air mata kecil mendengarnya. Ia menoleh ke Bagas. “Lihat, Mas… Celin benar-benar lahir jadi penjaga adik-adiknya.”
Bagas mengangguk, suaranya serak, “Iya, Rin. Tuhan memang kirim dia bukan cuma untuk kita, tapi juga untuk dua bintang kecil ini.”
----
Keesokan harinya, saat matahari tinggi, Oma Ratna duduk di teras sambil merajut. Celin menghampiri dengan langkah kecil, duduk di sampingnya.
“Oma, semalam aku bantuin Papa gantiin popok Arka. Aku jago, Oma.”
Oma tertawa kecil. “Wah, kakak Celin pinter sekali. Oma bangga.”
“Tapi Oma, kalau adik nangis terus, gimana caranya biar nggak bikin Mama capek?” tanya Celin polos.
Oma berhenti merajut, menatap cucunya dengan mata penuh kasih. “Caranya? Dengan sayang, Nak. Semua capek Mama hilang kalau ada yang bantu jagain, kayak kamu.”
Celin terdiam sebentar, lalu mengangguk mantap. “Kalau gitu aku janji, Oma. Aku bakal jagain Arka sama Aksa sampai mereka gede. Biar Mama nggak sedih, Papa nggak capek, Oma juga bisa istirahat.”
Oma Ratna terharu, meneteskan air mata. Ia memeluk Celin erat. “Kamu memang cahaya keluarga kita, Celin.”
----
Seminggu kemudian, keluarga Bagaskara sepakat membawa bayi kembar keluar rumah sebentar, sekadar menghirup udara taman. Bagas mendorong stroller kembar, Arini menggandeng Celin.
Celin melompat kecil, penuh semangat. “Adik-adik, lihat tuh! Itu bunga mawar. Cantik kan?”
Arini tertawa. “Mereka masih bayi, sayang. Belum bisa lihat jelas.”
“Ya udah, aku ceritain aja. Biar mereka hafal dulu.” Celin mendekat ke stroller, menunjuk bunga. “Adik, itu namanya mawar. Baunya wangi, tapi hati-hati ada duri. Jadi jangan pegang sembarangan, ya.”
Bagas menyeringai. “Waduh, adik-adik baru umur beberapa minggu udah dapat kuliah botani.”
“Pa, jangan ketawa! Nanti adik-adik mikir Papa nggak serius.”
Arini hampir terpingkal, tapi ia menahan. Ia mengusap kepala Celin. “Celin ini… benar-benar kakak terbaik.”
----
Namun, menjadi kakak juga tak selalu mudah. Suatu sore, saat Arini sibuk menggendong Arka dan Oma menimang Aksa, Celin duduk di sudut ruang tamu dengan wajah murung.
Arini menyadarinya. “Celin, kenapa sayang? Kok diam?”
Celin menggigit bibir. “Mama cuma gendong Arka sama Aksa terus. Aku nggak digendong lagi.”
Arini tertegun, lalu buru-buru menaruh Arka di boks. Ia mendekat, meraih Celin ke pangkuannya. “Sayang… maaf ya. Mama memang harus sering gendong adik-adik. Tapi hati Mama nggak pernah berubah. Kamu tetap anak Mama, kakak kesayangan Mama.”
Celin menatap mata ibunya. “Bener, Ma? Mama masih sayang aku sama kayak dulu?”
Arini memeluknya erat. “Bukan cuma sama. Lebih besar, karena sekarang kamu jadi kakak. Mama bangga sekali.”
Bagas ikut duduk di samping, menepuk bahu putrinya. “Celin jangan takut kehilangan. Kamu justru yang bikin keluarga ini lengkap.”
Celin akhirnya tersenyum, lalu berlari kecil ke arah stroller. “Oke, kalau gitu aku maafin adik-adik. Tapi nanti mereka harus main boneka kelinci sama aku!”
Oma terkekeh, “Nanti kalau sudah bisa duduk, Nak. Jangan sekarang, bisa-bisa kelincinya digigit.”
Semua tertawa. Celin juga ikut, hatinya kembali hangat.
-----
Hari-hari itu terus berjalan, penuh warna. Ada tawa, ada tangis bayi, ada rasa lelah, tapi juga bahagia. Celin tetap menjadi pusat keluarga, bukan hanya kakak, tapi cahaya kecil yang memberi energi untuk semua.
Di malam-malam panjang, saat dua bayi menangis bersamaan, suara kecil Celin sering terdengar pelan dari kamar:
“Tenang ya, Arka, Aksa… kakak di sini. Jangan nangis. Kita keluarga, kita bareng-bareng.”
Dan entah bagaimana, dua bayi mungil itu selalu cepat tenang bila mendengar suara kakak mereka.
bersambung
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭