Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Dua jam berlalu setelah momen penuh kehangatan itu, tubuh Nayla mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Mata indahnya yang sempat bercahaya mulai terpejam perlahan.
Dengan napas yang semakin teratur, ia menyerah pada kantuk yang telah lama mengintainya.
Rangga, yang masih duduk di sisi tempat tidur, menatap wajah istrinya dengan lembut.
Perasaan lega dan haru bercampur aduk di dadanya. Ia tahu perjalanan mereka belum selesai, tapi pagi ini adalah awal yang baru, awal untuk memperbaiki segala yang pernah rusak.
Dengan hati-hati, Rangga bangkit dari kursinya. Ia berjalan menuju kamar mandi, merasakan tubuhnya yang basah oleh keringat akibat emosi dan perjuangan pagi ini.
Air hangat mengalir deras, membersihkan segala lelah dan rasa bersalah yang selama ini menghantui.
Sambil merasakan air yang menyentuh kulitnya, Rangga berbisik lirih, penuh tekad dan cinta,
“Aku janji akan menjadi suami yang baik untuk kamu, Nay. Aku akan selalu ada untukmu, menjaga dan mencintaimu dengan sepenuh hati.”
Air mengalir, membasuh tubuhnya, tapi janji itu membekas dalam hati, lebih kuat dari apapun. Malam itu, di balik tirai air yang menetes, Rangga memutuskan untuk mengubah segalanya demi kebahagiaan Nayla dan masa depan mereka bersama.
Kamar kembali sunyi saat Rangga keluar dari kamar mandi.
Ia kembali ke sisi Nayla, menatap istrinya yang tertidur lelap dengan perasaan penuh harapan dan cinta yang tak tergoyahkan.
Rangga segera bersiap dan bergegas menuju rumah sakit.
Jam menunjukkan hampir sebelas siang, waktu yang telah ditentukan untuk menemui pasien berikutnya yang menunggu dengan penuh harap.
Sebelum pergi, ia menoleh ke arah Nayla yang masih terlelap di kamar, wajahnya yang lelah tapi damai membuat hati Rangga semakin kuat untuk berjuang demi mereka berdua.
“Bi Ina, tolong jaga Nayla baik-baik ya. Aku akan segera kembali,” pinta Rangga dengan suara lembut namun tegas.
Bi Ina mengangguk penuh pengertian. “Tenang saja, Den Rangga. Saya akan pastikan Nona Nayla nyaman dan aman di sini.”
Dengan satu tatapan terakhir penuh cinta, Rangga mengenakan jas putihnya dan melangkah keluar rumah, meninggalkan kehangatan rumah untuk sementara waktu.
Di balik pintu yang tertutup, harapan dan doa mengiringi langkahnya menuju rumah sakit tempat ia harus terus berjuang menyelamatkan nyawa sekaligus membangun kembali masa depan keluarganya.
Rangga memasuki mobil dengan langkah cepat, hati dan pikirannya dipenuhi oleh beban sekaligus harapan.
Di balik kemudi, ia menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi hari yang panjang di rumah sakit.
Mesin mobil meraung pelan saat ia menyalakan kunci, lalu mulai melaju meninggalkan rumah dengan perlahan.
Jalanan pagi itu masih ramai, suara kendaraan bersahutan memenuhi udara, namun bagi Rangga, semuanya terasa seperti kabut yang samar.
Pikiran tentang Nayla yang sedang ia tinggalkan di rumah, tentang pasien yang menanti di rumah sakit, dan tentang janji-janji yang harus ia tepati, bergumul di dalam kepalanya tanpa henti.
Di sepanjang perjalanan, matanya sesekali menatap ke spion, membayangkan wajah Nayla yang lelah namun tetap tegar.
Ia tahu, di rumah sana, Bi Ina akan menjaga istrinya dengan baik, tapi sebagai seorang suami, ada rasa gelisah yang sulit hilang. Ia ingin segera kembali, ingin memastikan Nayla baik-baik saja.
Mobilnya terus melaju, menembus kemacetan kota yang mulai menumpuk seiring waktu yang berjalan.
Lampu-lampu jalan dan gedung-gedung tinggi menjadi pemandangan yang berlalu cepat di kedua sisi.
Tapi di dalam hati Rangga, ada satu tujuan yang jelas dan pasti: rumah sakit, tempat di mana ia harus menebus segala penyesalan dan menjaga nyawa-nyawa yang bergantung padanya.
Setibanya di rumah sakit, Rangga langsung turun dari mobil dengan sigap.
Suasana rumah sakit yang sibuk menyambutnya dengan deru mesin, suara langkah kaki staf medis, dan interkom yang tak henti berbunyi.
Ia segera melangkah cepat ke ruangannya, menyiapkan diri menghadapi pasien-pasien yang menunggu.
Di sana, ia akan menjalani hari yang panjang, penuh tantangan, tapi juga harapan.
Harapan bahwa dengan kerja keras dan ketulusan, ia bisa memberikan yang terbaik bagi pasiennya, dan juga bagi Nayla wanita yang dicintainya, yang kini menjadi alasan terbesar dalam hidupnya.
Rangga menggenggam kuat tas kerjanya, menatap jam yang menunjukkan waktu tepat untuk mulai bertugas.
Dengan tekad membara, ia melangkah ke ruang periksa, siap menjalani hari yang berat namun penuh makna.
Mobil yang tadi membawanya ke sini kini hanya menjadi saksi bisu perjuangan seorang dokter dan suami yang berjuang di dua dunia sekaligus dunia medis dan dunia hati.
Sementara itu, di rumah, Bi Ina dengan penuh perhatian memeriksa kondisi Nayla, memastikan sang nona tetap nyaman dan aman hingga Rangga kembali nanti.
Hari baru dimulai, dan cerita mereka pun terus berlanjut, penuh liku, namun selalu diwarnai oleh cinta dan harapan.
Suasana siang yang seharusnya tenang mendadak berubah menjadi gaduh saat suara keras terdengar memecah keheningan rumah.
“Nayla! Dimana kamu! Nayla!” teriak Tante Ida dengan nada marah dan penuh emosi.
Bi Ina segera melangkah maju, mencoba menenangkan situasi.
“Bu Ida, tolong jangan berteriak seperti itu. Nona Nayla masih tidur dan butuh istirahat,” ucap Bi Ina dengan suara lembut namun tegas, berusaha meredam kemarahan yang mulai memuncak.
Namun suara ribut itu sudah cukup untuk membangunkan Nayla.
Perlahan, ia membuka matanya, masih dengan pakaian tidur yang sederhana.
Ia keluar dari kamar, langkahnya masih goyah karena baru bangun, tapi matanya menyipit waspada saat melihat Tante Ida yang berdiri di ruang tamu dengan ekspresi penuh kemarahan.
Tante Ida langsung menatap leher Nayla, kemudian wajahnya berubah menjadi marah dan kecewa saat melihat bekas ciuman merah muda di sana.
“Itu bekas ciuman siapa, Nayla? Rangga?!” seru Tante Ida dengan suara meninggi, seakan ingin meledakkan kemarahannya.
“Rangga hanya untuk mendiang Anita, putriku! Kamu bukan siapa-siapa untuk dia!”
Nayla terdiam sesaat, perasaan campur aduk memenuhi hatinya sedih, marah, dan terluka oleh perkataan tajam itu.
Namun di dalam hatinya, ada keberanian yang tiba-tiba tumbuh, keberanian untuk berdiri dan melawan ketidakadilan yang selama ini membuatnya tersisih.
Dengan suara yang mulai tegas, Nayla membalas, “Tante Ida, dengarkan baik-baik! Rangga adalah suamiku sekarang, bukan milik siapa pun selain aku! Aku bukan bayangan siapa pun, aku Nayla, istrinya. Kalau Tante tidak bisa menerima itu, jangan ganggu kami lagi!”
Tante Ida terpana, tak menyangka Nayla bisa berbicara sekeras itu.
Namun kemarahan dalam dirinya belum juga mereda.
“Kamu hanya menggantikan posisi Anita! Rangga tidak akan pernah mencintaimu seperti dia mencintainya!”
Nayla menghela napas panjang, mencoba menguasai emosinya.
“Kalau begitu, biarkan aku buktikan bahwa aku bukan pengganti, dan aku bukan bayangan. Aku punya hak untuk dicintai dan bahagia, sama seperti Anita dulu.”
Bi Ina yang menyaksikan kejadian itu segera maju dan menenangkan kedua pihak.
“Ibu Ida, kita semua di sini ingin yang terbaik. Jangan biarkan perasaan marah membuat keadaan semakin rumit. Mari kita hormati Nayla dan Rangga sebagai suami istri yang berhak memulai hidup baru.” ucap Bi Ina.
Tante Ida menatap Nayla untuk terakhir kali dengan tatapan campur antara marah dan tak percaya.
Ia kemudian melangkah pergi dengan langkah berat, meninggalkan rumah dengan kegaduhan yang mulai mereda.
Nayla menutup pintu dengan pelan, lalu menatap ke cermin di dinding.
Ia tahu jalan untuk mendapatkan kebahagiaan bukanlah jalan yang mudah, penuh tantangan dan kerikil tajam.
Namun keberanian yang baru ia temukan hari itu memberinya kekuatan untuk melangkah maju.
Dalam hati, Nayla berbisik, “Aku akan berjuang untuk cintaku, untuk rumah ini, dan untuk masa depan kami. Tak ada bayangan yang bisa menaklukkan keberanian seorang wanita yang mencintai dengan sepenuh hati.”
Bi Ina berdiri di sampingnya, tersenyum penuh harap. “Non Nayla, kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Hari itu, rumah yang penuh luka perlahan mulai dirajut kembali oleh keberanian dan cinta yang tulus. Meski badai masih mengintai, Nayla yakin bahwa dengan tekad dan dukungan, mereka bisa melewati semuanya.