Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.
Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menceritakan kebenaran serta persiapan kepulangan misi
Di dalam kemewahan sebuah rumah, keluarga itu berkumpul, melarut dalam perbincangan. Ada satu topik yang terus mengemuka: misi Haris, putra sulung yang telah lama mereka rindukan. Bunda Haris, seorang wanita matang dengan paras menawan, hanya bisa menahan gejolak rindu di dadanya. Ia enggan bergabung dalam obrolan adik-adik iparnya yang tiada henti memamerkan calon menantu mereka.
"Lihat nih calon menantuku," ujar Rini, adik ipar pertama, dengan nada bangga. "Dia profesinya model, lho. Keren, kan?"
"Eh, calon menantuku juga nggak kalah cantik, lho. Nih… dia itu pramugari. Wow banget, kan?" sahut yang lain.
Semua mata kemudian beralih ke Santi, Bunda Haris, yang sedari tadi hanya diam. "Oiya, Mbak... Mbak nggak mau apa punya menantu? Haris itu tampan, sayang banget kalau nggak ada penerusnya," celetuk Rini.
Santi hanya tersenyum tipis. "Aku tidak pernah memaksa putraku untuk menikah... biar dia menjalani kehidupannya sendiri..."
"Tapi sampai kapan, Mbak? Kalau Mbak terima usulan Papa, mungkin Haris bisa dapat calon yang bagus," desak Rini.
"Terima kasih sarannya... namun, itu tidak perlu... Mbak ke dapur dulu," ucap Santi, beranjak dari ruang tamu, menghindari pertanyaan-pertanyaan adik iparnya yang bermulut cabai itu.
Saat ia sedang asyik dengan ponselnya, sebuah tepukan di bahu mengejutkannya. Nilam, adik ipar ketiga, berdiri di sampingnya.
"Aku boleh gabung di sini, Mbak?" tanya Nilam lembut.
"Boleh... duduklah," jawab Santi, mempersilakan.
Nilam adalah satu-satunya adik ipar yang sangat pengertian, berbeda dengan yang lain. Ia sederhana dan tak pernah ikut campur urusan orang lain.
"Mbak Santi... anakmu yang sulung kapan mau pulang dari misi?" tanya Nilam.
"Eum... Belum tahu, Lam... Udah lama anak itu nggak kabarin Mbak... Kalau kata dia, sih, mungkin minggu ini dia bakal pulang," jawab Santi, sedikit lega bisa bercerita pada Nilam.
"Haris memang kaya gitu dari dulu, nggak pernah berubah ya, Mbak... Tiba-tiba udah sampai bandara aja bikin kita kaget, hahaha," timpal Nilam, mencoba mencairkan suasana.
"Hehe iya... memang kebiasaan itu anak," Santi tertawa kecil.
"Oh iya, Mbak... jangan ambil hati ya soal tadi... Biarkanlah mereka saling pamer... Buat apa kalau punya menantu dengan profesi bagus tapi tidak bisa membangun rumah tangga yang baik..." Nilam berucap dengan bijak.
Santi menghela napas beratnya. "Mbak juga berpikiran sama dengan kamu... Mbak juga pengen punya menantu, pengen punya cucu... Tapi Mbak juga nggak bisa memaksa anak-anak Mbak hanya untuk menikah..."
"Aku mengerti perasaan Mbak... Sudahlah, Mbak, nggak usah diperpanjang... Aku buatkan minuman untuk Mbak, ya," tawar Nilam.
"Makasih ya, Nilam," Santi tersenyum tulus.
***
"Ini siapa yang di dekat kamu?"
Haris dan Nahda menikmati waktu berdua, Haris menunjukkan foto keluarganya, sahabatnya, dan keluarga Nahda sendiri. Tujuannya adalah membantu Nahda mengingat kembali memori yang sempat ia lupakan. Saat mengingat, kepala Nahda sedikit terasa sakit, namun ia menahannya dan tak menunjukkan raut kesakitan.
"Ini adalah sahabat kamu dulu waktu SMA... dan ini kamu... lihat," Haris menunjuk sebuah foto.
"Mereka siapa?" Nahda bertanya, tatapannya lekat pada gambar.
"Yang rambutnya panjang digerai itu Mita, sahabatmu waktu SMA. Dan ini adalah Messi, temanmu saat di sekolah."
"Benarkah? Lalu yang laki-laki tampan ini siapa?" Nahda menunjuk foto seorang pria berjas kuliah.
"Itu adikmu... Nara," jawab Haris.
Mata Nahda membulat terkejut. "Hah?! Jadi... dia adikku?! Aku punya adik?!" serunya tak menyangka.
Haris mengangguk, tersenyum manis ke arah gadis itu. Nahda, yang masih belum mengingat semuanya, terkejut memiliki adik setampan Nara.
"Adikku sudah besar ya," lirihnya sendu.
"Iya... dia udah kuliah dan sekarang masuk semester 5."
"Wow... adikku memang hebat ya... Terus berjuang ya, sayang... Walaupun kakak kamu bodoh, yang penting adiknya pinter, hihi."
"Kamu nggak boleh ngomong gitu... Nggak baik," tegur Haris lembut.
"Hehe maaf," Nahda terkekeh.
Mereka kembali terdiam, menikmati angin sore yang menyejukkan hati. Haris telah menyelesaikan semua pekerjaannya, kini ia bisa bersantai tanpa beban. Namun, ada satu hal kecil yang masih mengganjal di hatinya: kebenaran tentang kedua orang tua kandung Nahda.
Awalnya Haris ragu menceritakan semuanya, namun ia meneguhkan pendiriannya. Nahda harus tahu kebenaran tentang keluarga aslinya.
"Sayang... aku mau ngomong sesuatu sama kamu... dan ini serius," ujar Haris.
"Memangnya kenapa?" Nahda menatapnya.
Haris terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Kamu memang punya orang tua kandung."
"Iya... aku juga tahu," jawab Nahda polos.
"Aku akan kasih tahu kebenarannya... Orang tua kamu sudah meninggal dunia karena kecelakaan beruntun... dan yang masih hidup hanyalah kamu dan adikmu."
Nahda terdiam, mencerna kata-kata Haris. Seketika, tawanya terdengar. Ia pikir Haris sedang berbohong.
"Ih, kamu kalau mau bohong jangan bawa-bawa meninggal... Kata kamu orang tua asliku masih ada," ucap Nahda, masih dengan tawa.
"Aku nggak bohong... aku serius... Lihat wajahku, apa ada kebohongan di mataku?" Haris menatapnya lekat.
Tawa Nahda terhenti. Ia terdiam membisu, raut wajahnya terkejut, tatapannya kosong ke depan.
"Sayang?" panggil Haris.
"Sayang?" Haris menepuk pipi gadis itu perlahan agar sadar. Namun, yang bergerak hanyalah air mata yang mendadak mengalir di pipinya.
"Sayang? Kamu nggak apa-apa? Jawab aku," Haris mendesak, cemas.
Napas Nahda mulai tersengal-sengal, terputus-putus. Ia terkejut mendapat kebenaran pahit dari pria yang kini berstatus calon suaminya.
"J-j-jadi... orang tuaku... sudah tidak ada?" lirihnya sangat pelan.
"Maafkan aku... aku baru mengatakannya sekarang, sayang... Maafkan aku..." Haris memohon.
Nahda tak menjawab. Ia terus meracau sendiri, menatap lurus ke depan. "Ibu... Bapak... maafin aku... aku memang anak durhaka... maafin aku karena udah bikin Bapak sama Ibu jadi begini... bahkan aku tidak pernah mengunjungi makam kalian."
Nahda menangis tersedu. Lagi-lagi ia merasa kehilangan keluarga terdekatnya. Haris di sampingnya berusaha menenangkan gadis itu.
"Ada aku, sayang... jangan nangis lagi ya," bujuk Haris.
Namun, tangisannya justru semakin kencang. Ia berdiri, menatap Haris dengan tajam.
"HAAAAAA! Kenapa kamu menyembunyikan berita ini?! Aku ingin ke kota untuk menemui keluargaku! Tapi sekarang mereka sudah tidak ada!!!" jeritnya.
Haris berusaha menenangkan gadis itu. "Tolong maafin aku, sayang... Aku sembunyikan ini karena takut kondisi kamu memburuk," ujarnya, terus memohon agar gadis itu tidak marah.
Namun, Haris justru terkejut saat pelukannya terlepas. Mata Nahda berubah, menatapnya dengan tajam.
"S-s-sayang..."
"Pergi!" Nahda mengusir.
"Tapi—"
"Aku butuh waktu... Tolong... aku marah sama kamu karena berani menyembunyikan hal penting itu dariku," lirih Nahda sedih. Air matanya terus mengalir deras. Haris merasa bersalah dan menyesal telah menceritakan kebenaran itu.
Kejujuran memang pahit. Sepandai apa pun orang menyimpan rahasia, pada akhirnya akan terbongkar juga. Lebih baik berkata jujur, walau terlambat, daripada tidak sama sekali. Kejujuran itu bagaikan kopi tanpa gula, sangat pahit, namun membuat si pengungkapnya merasa tenang karena tidak ada yang ditutupi lagi, walau dirinya pun merasakan sakit yang sama.
"Ya sudah, Bey... aku pergi... Kamu tenangin diri kamu dulu ya... Aku akan ke sini lagi buat jemput kamu," kata Haris, berat hati.
Nahda tak menjawab. Namun, sebelum Haris benar-benar pergi, Nahda merasakan sakit luar biasa di kepalanya. Bayangan keluarga harmonis sedang berkumpul bersama muncul. Ya, itu adalah memorinya saat masih SMA.
"HAAAAAA... SAKIIIIITTTT... IBU!! BAPAK!!! HAAAAAAA!" jeritnya sembari meremas kepalanya.
"Sayang!!"
Haris kembali masuk dan memeluk tubuh gadis itu yang masih menegang menahan rasa sakit. Haris, seorang dokter, segera memberikan pertolongan pertama untuk meredakan sakit kepala Nahda.
Haris sibuk mencari obat, namun terlambat.
BRAK!
Tubuh Nahda sudah tergeletak di lantai, lemah. Ia pingsan setelah rasa sakit luar biasa itu menyerang.
"Sayang!! Ya Allah!!"
Obat di tangan Haris terbuang ke lantai saking paniknya. Ia segera menggendong tubuh lemah gadis itu ke klinik yang ia bangun di sana. Nahda langsung mendapatkan perawatan karena Haris sendiri yang menanganinya.
"Sayang... aku mohon sadarlah..." batin Haris khawatir.
Ia memeriksa tubuh dan denyut nadi Nahda, masih aman. Namun, ada yang mengejutkannya: saluran pembuluh darah di kepala Nahda mengalami gangguan, menyebabkan rasa sakit yang sangat hebat. Dengan cepat, ia mengobati masalah tersebut agar tidak semakin parah. Walau tubuhnya sedikit gemetar, ia berhasil melakukan tugasnya dengan baik. Kondisi Nahda mulai membaik, tinggal menunggu ia sadar.
Selama Nahda pingsan, Haris terus memegangi tangannya, tak ingin kehilangan gadisnya lagi. Ia mengelus wajah pucat Nahda.
"Maafkan aku, Bey... ini salahku... Yang kutakutkan ternyata terjadi..."
Tanpa disangka, air mata Haris menetes. Pria itu tak bisa menahan kesedihannya.
Hampir satu jam Nahda tak sadarkan diri. Kantuk mulai menyerang Haris. Namun, ia seketika terbangun karena merasakan gerakan tangan di kepalanya. Nahda sudah tersadar, bahkan sudah bisa duduk sembari mengelus lembut rambut Haris.
"Bey... kamu udah sadar, sayang? Kenapa nggak bangunin aku?"
Nahda masih terdiam, tak menjawab.
"Sayang... kamu marah sama aku?"
Lagi-lagi ia hanya diam, memandangi calon suaminya. Haris tak menyerah. Ia terus mengajak bicara.
"Bey... aku mohon... Bicaralah..."
"Bey—"
Sebuah telunjuk mendarat di bibirnya. Haris terdiam, memandangi gadisnya lekat. Perlahan, dengan berani Nahda mengecup bibir Haris sangat singkat.
"Dasar bawel," ejeknya.
"Sayaaaaaangg..." rengek Haris, karena Nahda menggodanya dengan hanya diam.
"Apa?" ujar Nahda polos.
"Kamu nggak apa-apa, kan? Kepala kamu masih sakit, hm?"
"Udah nggak apa-apa kok... makasih ya... Untung juga punya calon suami dokter jadi bisa berobat dengan cepat, hehehe."
"Ish, kamu ya."
Haris memeluk tubuh kekasihnya sangat erat. Rasa khawatir dan takut telah sirna karena ia berhasil mengajaknya bicara. Nahda pun membalas pelukannya.
Pelukan itu terlepas, dan mereka kembali saling berpandangan. Tak lama kemudian, Haris mendekatkan wajahnya dan melumat bibir gadis itu.
Setelah cukup, mereka melepaskan cumbuan. Napas mereka memburu, seolah baru saja berlari maraton puluhan kilometer. Mereka menempelkan dahi satu sama lain.
"Maafkan aku, Bey..."
"Aku udah maafin kamu."
"Kamu nggak marah lagi sama aku?"
"Udah nggak... Tapi, kamu janji ya sama aku... nggak bakal menyembunyikan kabar besar lagi dari aku... Aku nggak suka..."
"Iya, sayang... Aku janji... Kamu istirahat ya... biar cepat sembuh... Lusa kita akan pulang ke kota... Untuk barang-barang kamu, sudah aku rapikan."
Nahda tersenyum. "Makasih ya... Maaf ngerepotin kamu."
Haris kembali mengecup dahi Nahda singkat. "Nggak kok... Udah, kamu tidur lagi ya."
***
Sepulang dari rumah Nahda, Haris kembali disibukkan dengan membereskan semua peralatan misinya. Tinggal menghitung hari ia akan meninggalkan desa ini. Semua rekannya pun sama sibuknya dengannya.
"Ndan... ini mau dimasukkan ke mana?" tanya seorang rekan.
"Gabungkan saja dengan yang di kotak 1... Pokoknya yang masih banyak ruang, manfaatkan saja," jawab Haris.
"Baik, Ndan."
Sementara Fahri sibuk mencari sesuatu. "Ris... lihat ponsel gue nggak? Tadi gue taro di sini tapi nggak ada..."
"Coba cari yang bener..."
Pandangan Fahri jatuh pada sebuah kotak, dan benar saja, ponselnya ada di sana.
"Haduhhh, untung nggak ilang nih benda satu."
"Udah? Sana rapihin lagi... Masih banyak tuh barang yang harus diangkut," perintah Haris.
"Iye iye ah," sahut Fahri.
"Komandaaan!! Persiapan sudah selesai!!" seru seorang prajurit.
"Baiklah... Kalian boleh tidur sekarang, karena besok kita akan pamit meninggalkan desa ini karena misi kita telah berakhir... Terima kasih atas kerja sama kalian, karena kalianlah misi ini berhasil sukses 100%," Haris mengumumkan.
"Whuuuuuuooooo!" sorak mereka.
"Balik woy baiiiikkk!"
"Selamat tidur semuanya!"