Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
Kafe milik kenalan Eric ini dibangun tiga lantai, terdiri dari indoor dan outdoor. Ada bagian khusus di rooftop yang hanya dibuka untuk momen-momen tertentu. Misal ada yang menyewa untuk mengadakan rooftop party, atau jika ada salah seorang karyawan yang ulang tahun dan ingin dirayakan di sana.
Sore ini, Naren dan Eric memilih duduk di bagian indoor lantai satu. Meski bukan weekend, kafe ini tetap saja ramai dan biasanya orang-orang lebih memilih nongkrong di lantai dua dan tiga, atau sekalian di outdoor lantai satu saja.
Meja mereka berada di pojok, dekat dengan meja kasir. Sementara kursi-kursi mereka menghadap langsung ke pintu masuk.
Naren memesan teh chamomile, meski agak tidak nyambung dengan Creamy Aren Latte yang Eric pesan. Tak apalah, daripada berisiko alerginya kumat.
Lima belas menit duduk di sana, teh chamomile miliknya sudah sisa setengah. Obrolan mereka mengalir hanya seputar game. Sebenarnya Eric sempat menyinggung soal Mahen dan Janu, tetapi Naren dengan cepat mengalihkan karena tidak ingin suasananya menjadi sendu.
“Monic namanya.”
“Hah?” Naren mengangkat kepala dari layar ponsel. Dia sedang serius membaca thread soal promotor musik problematik yang sedang didemo para penggemar, ketika Eric tahu-tahu bersuara.
“Cewek yang tadi pagi kasih hadiah, itu namanya Monic.”
“Oh.” Naren mengangguk, lalu kembali menatap layar ponselnya.
Dari sebelah, Erci berdecak. “Main oh aja. Tanya dulu kek, ‘yang mana?’. Itu cewek ada dua.”
Naren menatap Eric lagi, lalu dengan polos bertanya, “Yang mana?” Sesuai arahan Eric.
Meski geregetan, Eric tetap menjawab, “Yang kedua, yang cantik.”
“Yang pertama emang nggak cantik?” tanya Naren iseng. Mendadak ingin mengusili Eric.
Reaksi gelagapan Eric membuat Naren tersenyum. Apalagi saat dengan gagap anak itu mengelak, “Y—ya ... cantik. Cantik, kok. Yang pertama juga cantik.”
“Tapi bukan tipe lo kan?” tembak Naren.
Gadis kedua—yang katanya bernama Monic—itu kalau dilihat-lihat malah mengingatkan Naren pada kakak kelasnya dulu di SMA. Keponakan kepala sekolah yang sempat Eric taksir, tapi keburu digaet orang lain karena anak itu terlalu cupu. Pantas saja Eric lebih proaktif dengan Monic daripada gadis sebelumnya.
“Deketin aja,” usulnya.
“Dia kan demennya sama lo.” Eric sedikit cemberut. Sedotan yang sudah masuk mulut bukannya dipakai menyedot minuman, malah dia gigiti hingga gepeng.
“Gue kan nggak demen.”
Eric mendesah panjang, melepeh sedotan, mengembalikan gelas ke atas meja. “Hidup memang selalu begini ya. Yang kita suka, nggak suka kita. Yang suka kita, kitanya nggak suka. Terus kapan dong ketemu yang sama-sama suka?” keluhnya.
Naren hanya menggeleng pelan. Mana dia tahu? Tanyakan saja kepada Tuhan ketika sedang khidmat berdoa. Mana tahu langsung diberi jawabannya.
Saat kepalanya hendak menunduk untuk kembali menyelam di internet, Naren justru dibuat terpaku pada pintu kafe yang baru saja dibuka. Gadis berkaus hitam polos dan celana jeans warna senada yang baru saja masuk itu seketika menarik perhatiannya. Bukan karena parasnya yang rupawan atau dia tampak familier, melainkan aroma bedak bayi yang menguar seiring langkahnya diambil.
Naren mengikuti ke mana langkah gadis itu pergi, yang bermuara di pintu masuk kafe bagian dalam, area khusus karyawan. Sampai ketika gadis itu muncul lagi dengan apron biru tua di pinggang, Naren masih tidak mengalihkan perhatian. Dia bahkan dengan sadar menyaksikan gadis itu tersenyum pada pelanggan pertama yang datang setelah shift-nya dimulai. Tampak begitu cekatan menginput pesanan, menyerahkan struk, dan menyiapkan minuman.
“Ren!”
“Hm?” Naren menoleh perlahan setelah embusan angin menerpa wajahnya. “Apaan?”
“Ngeliatin apaan?” selidik Eric. Tatapannya menelisik.
“Bukan apa-apa.”
“Bohong ah.”
“Au deh, terserah.” Naren mengibaskan tangan di udara. Dia kemudian bangkit, menyambar dompet dari atas meja.
“Mau ke mana?” tanya Eric.
“Indomaret seberang.”
“Beli apaan?”
“Rokok,” jawab Naren singkat.
“Eh si anying, kalau Ayah Janu tahu gimana?” Eric panik sendiri. Sedangkan Naren sudah berjalan jauh hampir mencapai pintu.
“Nggak akan tahu kalau mulut Lo nggak ngadu!” seru Naren, sebelum tubuhnya sempurna meninggalkan area dalam kafe.
Udara masih agak panas ketika dia tak lagi berada dalam naungan atap kafe dan semburan air conditioner. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, menanti dengan sabar hingga kendaraan yang lewat sedikit lengang agar dirinya bisa menyeberang.
"Tisunya, Mas.” Seorang bapak pedagang tisu menyambut begitu ia tiba di sisi jalan seberang.
Naren tersenyum dan mengangguk. “Nanti saya beli sehabis saya dari sana, ya.” Dia menunjuk pintu Indomaret.
Si bapak mengangguk antusias. Senyumnya terkembang hingga nampak dua gigi depannya yang telah tanggal.
Langkahnya tiba di depan pintu dan tangannya sudah memegang handle besi yang dingin, namun terpaksa berhenti ketika terdengar ribut-ribut dari tempat terakhir dia berdiri. Naren menoleh cepat. Refleks berlari ketika melihat si bapak tadi sedang diomeli oleh seorang pria berbadan besar. Kerah kemeja lusuh si bapak bahkan sampai ditarik, membuat tubuh kecilnya yang renta terangkat.
“Ampun, Pak, saya nggak sengaja.” Si bapak tua memelas, namun si pria berbadan kekar tampak tak memiliki belas kasihan.
“Maaf, maaf. Kalau gue jatuh gimana? Udah miskin, ceroboh lagi!”
"Maaf, Pak.”
“Nggak ada maaf! Sini pala lu gua tempeleng dulu.” Tangan si pria sudah melayang di udara, siap menghadiahkan tamparan keras di pipi kempot si bapak tua.
Kepala Naren mendidih dibuatnya. Dengan cepat, tanpa memiliki rasa takut, Naren mencekal lengan kekar pria itu. Tak peduli meski tubuhnya lebih kecil, dia yakin bisa menghajar pria kurang ajar ini dengan ilmu bela diri yang dia pelajari sejak SD.
“Nggak usah ikut campur lu, anak ingusan!” Si pria mengempas tangan Naren dan siap melayangkan bogem mentah. Namun, Naren tidak gentar. Dia tangkis lagi kepalan tangan si pria, dan sebagai gantinya menghadiahkan pukulan keras di pipinya.
Pria kekar itu terhuyung, cengkeraman di kerah si bapak tua juga otomatis terlepas. Dia mengerang kesakitan, memegang sudut pipinya yang berdarah.
"Anak setan!” kutuknya.
Satu serangan lagi hampir dilayangkan, dan lagi-lagi Naren berhasil memberikan pukulan susulan sebelum tangan pria itu menyentuhnya. Ditinju, ditendang, ditampar. Naren memberikan serangan bertubi-tubi agar pria itu berhenti berusaha menyerangnya.
Hingga si pria akhirnya mengangkat kedua tangan menyerah, barulah Naren berhenti. Dia menjauhkan diri. Mengalihkan fokus pada si bapak tua yang menggigil ketakutan di belakangnya.
“Bapak nggak apa-apa?” tanyanya lembut. Memegang kedua bahu si bapak tua selagi matanya mengamati kalau-kalau ada yang terluka.
Si bapak menggeleng takut. “Ng—nggak apa-apa, Mas. Mas harusnya nggak usah ikut campur.”
Bibir Naren menipis. “Saya cuma nggak tahan lihat orang arogan kayak gitu,” katanya.
Sempat hening sesaat, sebelum tiba-tiba terdengar suara cempreng Eric menggelegar dari kejauhan.
Segalanya terjadi begitu cepat, sehingga Naren tidak sempat mencerna situasi ketika kepalanya menoleh dan menemukan si pria kekar berderap ke arahnya sambil mengacungkan pisau lipat.
Orang-orang berteriak histeris, namun satu-satunya yang bisa Naren dengar dengan jelas adalah suara teriakan Eric.
“NARENDRA AWAS!”
Setelahnya, waktu terasa berhenti bergerak.
Bersambung.....