NovelToon NovelToon
12th Layers

12th Layers

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Sci-Fi / Misteri
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.

Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32: Eksplorasi

Maelon membuka matanya perlahan, masih duduk diam. Peluh membasahi pelipisnya. Ini berbeda. Ia tak hanya menyerap—ia didesak oleh kehendak dalam batu itu, untuk maju. Untuk berkembang. Tapi ia tahu aturan dasar dari semua Doctrina: peningkatan tidak pernah datang hanya karena kekuatan. Harus ada pemahaman, dan harus ada ritual.

Ia memikirkan Roy. Ia bisa saja bertanya, bisa saja keluar kamar dan memohon jawaban. Tapi sesuatu dalam dirinya menolak. Mungkin ego, atau mungkin karena dunia ini telah mengajarkannya: siapa yang tak mencoba sendiri, tak akan pernah mengerti sepenuhnya.

Ia memejamkan mata lagi, perlahan, dan mulai memusatkan kekuatan Aetheron dalam dirinya. Tarikan napasnya menjadi dalam, teratur. Seperti menyelam ke dalam dirinya sendiri, ia mencari esensi dari kekuatannya. Aetheron... energi murni. Bukan kekuatan untuk menghancurkan, tapi untuk menghidupkan. Untuk memanipulasi denyut semesta itu sendiri.

Dan saat itu juga, ia merasakan... syaratnya.

Ritual untuk menembus Lapsus kedua bukan sekadar latihan. Ia harus menyentuh kematian dan menghidupkannya kembali, walau sesaat. Ia harus menyentuh tubuh mati—bukan untuk membangkitkan, tapi untuk membuatnya bereaksi dengan energi Aetheron-nya. Sebuah percikan hidup dari tubuh yang sudah kehilangan harapan.

Tapi malam ini... tak ada mayat. Tak ada tempat untuk ritual itu dilakukan. Dan tak ada orang yang akan membiarkannya menyentuh kematian tanpa konsekuensi.

Jadi Maelon membuka matanya perlahan, napasnya kini lebih stabil. Ia menerima kegagalannya untuk malam ini tanpa penyesalan. Hanya penundaan. Ia menarik selimut lusuh ke atas tubuhnya dan membaringkan punggungnya di atas jerami yang dingin.

Dalam hatinya, sebuah niat telah terbentuk. Besok, ia akan menemukan caranya. Ia harus menyentuh batas itu. Karena ia tahu… stagnasi dalam dunia ini berarti mati perlahan.

Cahaya terakhir dari batu doctrina meredup di sampingnya.

Dan malam kembali menelan semuanya dalam gelap.

Pagi menyingkap perlahan dari balik pepohonan, membasuh desa kecil itu dengan cahaya keemasan yang mengambang seperti debu halus di udara. Gubuk tua tempat Maelon dan Vivi tinggal menyambut pagi dengan keheningan yang khas—tak ada kicau burung, hanya desir lembut angin yang menggugurkan daun-daun tua di atap reyotnya. Di dalam, Maelon sudah duduk di meja kayu kecil, aroma rebusan sayur dan kentang panggang menguar dari mangkuk-mangkuk tanah liat. Vivi menyusul tak lama kemudian, wajahnya masih menyimpan bayangan malam yang terlalu sempit untuk istirahat yang benar.

Mereka makan bersama, dengan irama sendok yang saling menyusul namun tak tergesa. Obrolan mereka ringan, tentang rasa makanan, tentang mimpi yang tak jelas, dan tentang langit yang tampak lebih biru hari ini. Namun di sela-sela tawa kecil dan tatapan sesekali, ada sesuatu yang lain—Maelon merasa lebih hidup, lebih mantap, seolah tubuhnya sudah menyatu dengan energi yang mengalir dalam dirinya. Vivi, di sisi lain, tak sepenuhnya bisa menyembunyikan keraguan di matanya. Ia tetap bicara, tetap tersenyum, tapi ada getir kecil yang menggantung di sudut bibirnya. Dan Maelon menyadari itu.

Selesai makan, mereka bergegas keluar. Udara pagi masih segar, namun sudah terasa ada sesuatu yang menanti di luar sana—bukan hanya pelatihan, bukan hanya pengulangan teknik, tapi sesuatu yang lebih nyata, lebih berisiko. Langkah mereka menuruni jalanan desa, melewati penduduk yang sudah mulai beraktivitas, menebar senyum yang samar dan harapan yang terlalu lelah untuk diucapkan. Di ujung ladang tempat biasa mereka berlatih, Daniel sudah berdiri, bersandar santai pada sebuah tongkat kayu. Tatapannya seperti biasa, tajam namun tenang. Seorang prajurit yang telah melewati terlalu banyak perang untuk menunjukkan antusiasme.

Maelon dan Vivi berdiri tegak di hadapannya. Daniel menyapu mereka dengan pandangannya sejenak, lalu bicara dengan nada rendah dan berat—suara yang seperti gema di tengah ladang kosong.

“Sudah waktunya kalian menjajal dunia di luar desa ini dengan kekuatan kalian sendiri,” katanya tanpa banyak basa-basi. “Kalian telah berkembang. Stamina kalian membaik, naluri kalian terasah, dan kontrol atas Doctrina kalian sudah cukup untuk mempertahankan diri. Tapi ingat, ini bukan pelatihan. Di luar sana… tidak ada ruang untuk ceroboh.”

Ia berjalan pelan ke arah mereka, sorot matanya menyelami wajah masing-masing. “Aku tidak akan ikut. Hari ini kalian hanya mengandalkan diri kalian sendiri. Jika kalian bertemu bahaya yang terlalu besar… jangan coba-coba untuk menjadi pahlawan. Lari. Sembunyi. Kalian belum siap untuk bertarung demi kehormatan. Kalian hanya siap bertarung demi hidup.”

Kata-katanya menggantung lama di udara, seolah waktu ikut menahan napas.

Maelon mengangguk pelan. Di dadanya, jantung berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena semangat yang mengalir deras seperti arus Aetheron di nadinya. Ia merasa siap—atau mungkin lebih tepatnya, ia ingin merasa siap. Dunia di luar sana memanggilnya, dan ia tak ingin lagi menjadi bayangan yang hanya bersembunyi di balik kekuatan orang lain.

Di sampingnya, Vivi juga mengangguk, namun dengan gerakan yang jauh lebih pelan. Matanya tidak bersinar seperti milik Maelon, namun dalam tatapan itu, ada kekuatan yang berbeda—tekad yang lahir bukan dari antusiasme, tapi dari kebutuhan. Dari rasa ingin bertahan hidup… meski tubuh dan jiwanya masih penuh luka yang belum pulih. Ia tidak menolak, dan itulah keberanian sejati yang Maelon pelan-pelan mulai pahami.

Daniel menepuk bahu mereka masing-masing, lalu berbalik.

“Pergilah. Sebelum matahari terlalu tinggi.”

Mereka pun berjalan meninggalkan ladang, melewati batas desa yang mulai pudar, menuju dunia luar yang penuh dengan abu, reruntuhan, dan kemungkinan. Langkah Maelon mantap, dan Vivi menyusul di belakang, diam namun tak tertinggal.

Langit di atas mereka luas dan terang. Tapi jalan di depan masih dibungkus oleh bayangan. Dan dunia... belum pernah sejelas ini.

Langkah mereka bergema lembut di antara belukar dan tanah lembap, menyusuri jalanan hutan yang perlahan memudar dari jejak manusia. Ranting-ranting menggantung seperti jari-jari tua yang mengintai dari balik kanopi, menapis sinar matahari yang turun redup, menciptakan suasana abu-abu yang terasa seperti bayangan dalam mimpi buruk yang belum selesai. Aroma lumut basah, tanah busuk, dan udara yang terlalu diam membuat hutan terasa seperti tempat yang sedang tertahan napasnya.

Maelon menatap lurus ke depan, matanya menyapu setiap sela pohon dengan harap dan kegairahan yang sulit disembunyikan. Napasnya terdengar cepat tapi stabil, penuh harapan seolah tubuhnya menunggu sesuatu yang telah dijanjikan—bukan oleh seseorang, tapi oleh sesuatu yang jauh lebih dalam dan tua. Ia akhirnya berkata, tanpa menoleh.

“Ayo kita mencari lunatics. Aku sudah tidak sabar untuk melawan mereka.”

Nada suaranya bukan semata karena hasrat bertarung, tapi ada sesuatu di baliknya—dorongan, panggilan. Vivi yang berjalan di sebelahnya menoleh, menatap wajah pemuda itu yang tampak berbeda pagi ini. Ada cahaya aneh di mata Maelon, bukan kegilaan, bukan juga keberanian… tapi kelaparan. Sesuatu yang tumbuh dari dalam dan tidak bisa dikekang.

1
Aisyah Christine
pasti susah utk memahaminya. bagaimana maelon bisa bersatu dan berkomunikasi dgn kekuatan baru
Aisyah Christine
ini kulivator moden thor😂
Aisyah Christine
perjuangan yang belum tuntas.. smoga bisa bekerjasama dgn tubuh yang baru.
Aisyah Christine
entah ini 1 keberkahan atau kutukkn tapi yg jelas maelon semakin kuat
Aisyah Christine
apa kayak parasit? tubuhnya udh pindah ke ank remaja itu?
angin kelana
survival..
angin kelana
pertama baca coba lanjut..
GrayDarkness: terima kasih banyak, semoga suka.
total 1 replies
Aisyah Christine
terus bertahan untuk hidup
Aisyah Christine
tanda dr makhluk aneh itu
Aisyah Christine
lebih baik mencoba sesuatu dr mati sia²😂
Aisyah Christine
cerita yang menarik. lanjut thor
GrayDarkness: terima kasih, do'ain aja biar bisa dieksekusi dengan baik. kalo ada kesalahan bilang aja biar nanti langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
terima kasih sarannya akan diperbaiki secepatnya
azizan zizan
kekuatan ini datang bukannya dengan paksaan.. di ulang2 terus..
GrayDarkness: done, sedang direview terima kasih. kalo ada yang lain bilang aja, biar langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
Betul, puitis.
Aisyah Christine: gaya bahasa nya lebih pada malay. maka aku faham😂
total 1 replies
azizan zizan
ini novel peribahasa kah apa ini.. alurnya berbelit-belit..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!