Di sebuah universitas yang terletak kota, ada dua mahasiswa yang datang dari latar belakang yang sangat berbeda. Andini, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang sangat fokus pada studinya, selalu menjadi tipe orang yang cenderung menjaga jarak dari orang lain. Dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku-buku tentang perilaku manusia, dan merencanakan masa depannya yang penuh dengan ambisi.
Sementara itu, Raka adalah mahasiswa jurusan bisnis. raka terkenal dengan sifatnya yang dingin dan tidak mudah bergaul, selalu membuat orang di sekitarnya merasa segan.
Kisah mereka dimulai di sebuah acara kampus yang diadakan setiap tahun, sebuah pesta malam untuk menyambut semester baru. Andini, yang awalnya hanya ingin duduk di sudut dan menikmati minuman, tanpa sengaja bertemu dengan Raka.
Yuk guys.. baca kisah tentang perjalanan cinta Andini dan Raka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 BAYANGAN DI BALIK CERMIN.
Tahira berdiri di tengah ruang tamu megah itu, napasnya memburu, mata menyala marah seperti bara yang baru saja disiram bensin.
"Aku seharusnya yang mendapatkan itu semua!" teriaknya, menggema sampai ke lantai atas. "Bukan dia! BUKAN Andini!"
Andini berdiri di ambang pintu, wajahnya tenang namun matanya tajam.
" Ada apa, dengan kamu tahira? "
Tahira tertawa sinis, suara tawanya dingin seperti angin malam. " Ini semua gara-gara ibu. andai saja saat itu ibu membiarkan aku membunuhnya, mungkin aku tidak perlu bersaing dengan si andini!! "
" Jaga ucapan kamu. Ayah kamu sedang berada di rumah, jangan sampai ayah tau jika dulu kamu hampir membunuh Andini " Ucap Ibu memperingati tahira.
Tahira langsung terdiam, " Pokonya ini semua gara-gara ibu " Ucap tahira masuk kedalam kamarnya.
KEESOKAN HARINYA.
Langit siang itu terik, tapi hawa yang datang bersama kedatangan Ibu jauh lebih dingin.
Andini sedang duduk di taman kampus, membaca catatan sebelum kelas. Saat bayangan seseorang menutupi bukunya, ia mendongak, dan langsung berdiri kaku saat melihat siapa yang berdiri di depannya.
"Ibu?" suaranya ragu.
Ibu tersenyum, tapi ada sesuatu di balik senyum itu. Sesuatu yang membuat Andini merasa tidak nyaman.
"Ibu ingin bicara, Nak. Lima menit saja," katanya manis.
Andini mengangguk pelan. Mereka duduk di bangku kosong tak jauh dari situ.
"Apa ada yang Ibu ingin sampaikan?" tanya Andini.
Ibu menatapnya dalam-dalam. "Ibu hanya ingin kamu mengerti... jangan jadi wanita yang egois."
Andini menoleh cepat. "Maksud Ibu?"
"Kesuksesan itu indah, Andini. Tapi apa gunanya kalau harus menginjak perasaan orang lain? Kamu tahu Tahira sangat terpukul. Dia sudah berjuang begitu lama. Dan kamu, datang-datang langsung ambil semua perhatian, semua pujian… semua yang dulu milik dia."
Andini menahan napas. "Saya tidak pernah berniat mengambil apa pun dari siapa pun, Bu."
Ibu mendekat sedikit, suaranya berubah lembut tapi menusuk. "Mungkin tidak sengaja. Tapi tetap saja, kamu menikmatinya, bukan? Disorot. Dipuji. Dilihat. Dan kamu tahu Tahira tidak tahan melihat itu."
Andini menggenggam bukunya erat. "Lalu Ibu ingin saya apa?"
Ibu tersenyum, seperti seseorang yang tahu persis jawabannya. "Sedikit mundur. Biarkan Tahira bersinar. Bukan berarti kamu kalah, tapi kamu menunjukkan bahwa kamu dewasa. Penuh empati. Lagipula... kamu hanya anak tiri. Tahira itu darah daging Ibu."
Andini terdiam, jantungnya berdetak kencang. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada teriakan apa pun.
Dan untuk pertama kalinya, Andini melihat ibunya, atau wanita yang selama ini ia panggil "Ibu" apa adanya. bukan pelindung, tapi penjaga takhta yang tak ingin kursinya diambil oleh siapa pun, bahkan oleh seseorang yang diam-diam memanggilnya ibu dari hati yang tulus.
Andini menarik napas dalam, mencoba meredam emosi yang mulai membuncah di dadanya. Ia memandang wanita di hadapannya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, bukan karena lemah, tapi karena akhirnya ia sadar... selama ini ia sendirian.
“Ibu minta saya mundur?” Andini bertanya, suaranya pelan tapi penuh tekanan. “Hanya karena Tahira merasa terancam?”
Ibu masih dengan senyum tipisnya. “Bukan terancam, Nak. Dia hanya butuh ruang. Sedikit waktu untuk bangkit. Dia selalu berada di puncak, lalu kamu datang dan…”
“Dan saya bersinar?” potong Andini cepat, matanya kini menatap tajam. “Saya datang bukan untuk mengambil cahaya siapa pun. Saya cuma berjalan di jalan saya sendiri. Dan jangan lupa, Bu... saya lebih dulu di kampus ini. Saya yang lebih dulu berdiri di panggung itu. Bukan karena nama, tapi karena kerja keras.”
Ibu terdiam. Tatapannya berubah, tak lagi lembut. Ada sedikit kilat di matanya, kilat yang menandakan bahwa permainan ini tak akan mudah.
“Jadi kamu tidak mau mengalah?”
Andini tersenyum miris. “Apa Ibu pernah menyuruh Tahira untuk mengalah saat dia menyindir saya di depan keluarga? Saat dia meremehkan saya di setiap kesempatan? Tidak, kan? Karena bagi Ibu, saya cuma anak tiri yang seharusnya tahu diri.”
Andini berdiri, suaranya kini mantap.
“Saya tidak akan mundur, Bu. Saya bukan bayangan siapa pun. Dan saya akan tetap berdiri di tempat ini... bukan untuk menjatuhkan Tahira, tapi untuk membuktikan bahwa saya pantas. Dengan atau tanpa pengakuan Ibu.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan Ibu yang kini duduk diam, wajahnya tak lagi setenang tadi. Andini tahu... pertarungan ini belum selesai. Tapi kali ini, dia siap.
Ibu menatap tajam kepergian Andini, ibu tidak menyangka jika Andini akan menolak permintaan nya.
" jika waktu bisa di putar. maka, aku akan membiarkan putriku membunuhmu. dasar jalang licik " Gumam ibu.