Menjadi janda bukanlah sebuah pilihan bagiku,
Tahun pun telah berlalu dan waktu telah menjawab segala perbuatan seseorang.
Cinta itu datang kembali namun tidak sendiri, suamiku yang telah mencampakkan diriku dengan talak tiga yang ku terima secara mendadak. Kini Dia datang kembali di saat sebuah cinta yang lain telah menghampiri diriku yang sebenarnya telah menutup hati untuk siapapun..
Siapa yang harus aku pilih? Sedangkan hati ini masih ragu untuk melangkah kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima Rhujiwati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan Iwan
Hoek...Hoek....
Suara orang muntah terdengar jelas berasal di kamar mandi yang berada di samping dapur.
Yessi keluar kamar mandi dengan sempoyongan, tubuhnya lemas dan wajahnya pucat pasi tidak bertenaga.
Bu Lestari yang berapa hari terakhir memergoki merasa was-was dengan apa yang terjadi pada diri Yessi.
"Yessi kamu kenapa? Ibu perhatikan beberapa hari ini kamu seperti orang hamil saja," semprot Bu Lestari tanpa menutupi kecurigaannya.
"Aaahh.... Ibu apaan sih, orang masuk angin dibilang hamil mana ada?" Kilah Yessi percaya diri bahwa dia tidak sedang hamil.
Dari dalam kamar keluar Iwan dengan wajah kusut. Sambil membetulkan lengan baju yang ia gunakan, Iwan duduk di kursi makan diantara ibu dan Yessi.
"Loh Iwan... Pipi kamu kenapa nak! Kenapa wajahmu biru lebam begini, kamu mabuk apa jatuh sih?" Bu Lestari berjalan menuju ruang sebelah untuk mengambil kotak p3k, perlahan Bu lestari mengoleskan cream untuk kulit lebam dan bisa mengurangi rasa nyeri.
"Kamu berantem Iwan?" Cerocos Bu Lestari lagi.
"Iya Bu, saya melihat Lintang berjalan dengan dokter sialan itu, heran saja sih ya... Dari dulu selalu saja dia tidak tau malu membuntuti Lintang, cih...!" Iwan kembali merasa dirinya telah kena tikung atau kalang saing dengan dokter Dian.
"Alaahh.... Yessi juga sering memergoki dia kencan dengan laki-laki, huhh dasar wanita ga tel sudah janda nggak tau diri sok tebar pesona, mending dokter itu sama aku!" Yessi mode cengengesan sambil mencibirkan bibirnya tanda tidak suka
Bu Lestari berjalan mendekati Iwan dan mengolesi pipinya, "kamu juga Yessi kalau masuk angin segera cari obat biar nggak terlanjur parah sakitnya,"
Yessi tiba-tiba berubah rona wajahnya menjadi hambar, sambil menatap Bu Lestari lalu Iwan bergantian, tidak disadarinya Iwan sempat menangkap kegelisahan Yessi.
"Kamu Yessi, jangan macam-macam kamu ya, kamu hamil diluar nikah dan tidak jelas siapa laki-laki yang menghamili mu, mas akan mencari dan mas bunuh kalian berdua," sungut Iwan sambil menyesap kopi buatan Bu Lestari untuknya.
"Kamu satu-satunya perempuan dari putri ayah dan ibu, adikku satu-satunya jangan sampai kamu salah langkah, atau kamu aku pasung saja kalau bertingkah," ucapan Iwan membuat nyali yessi semakin menciut, bagaimanapun juga Iwan adalah kepala keluarga saat ini, biaya hidup dan kuliah walaupun hanya pas-pasan untuk dirinya, namun semua adalah pemberian Iwan yang selalu mencukupi kebutuhan dirinya.
Suasana menjadi hening, antara takut dan bertanya-tanya membaur menjadi satu pada diri Bu Lestari dan Yessi. Sedangkan Iwan tetap melakukan aktivitasnya, dan mempersiapkan dirinya untuk menjenguk Rahma yang masih dalam tahap pemulihan dirumah sakit, dan putranya dengan kondisi tanpa adanya perkembangan yang membaik, dan setelah itu Iwan harus tetap berada di lingkup perusahaan sebagai direktur utama, untuk menghandle perusahaan tentunya.
"Bu... Tolong bantu saya untuk memastikan Lintang atau Shasy kembali kerumah ini, bila bisa saya ingin rujuk dengan Lintang. Kita cari pengacara handal untuk meluluhkan keluarga Lintang, sebelum dokter itu berhasil memasuki dan meracuni pemikiran orang tuanya Lintang, Shasy tidak boleh dekat-dekat dengan dia!" Hari ini Iwan benar-benar berubah tidak seperti biasanya. Yang semula selalu diam kini menjadi garang dan menjadi sedikit bossy.
"Loh kok ibu... Kamu sendiri kan yang harus menjemput. Tapi kalau memang sudah dapat pengacara yang handal, kita layangkan saja gugatan dengan tuntutan yang tidak ringan, karena telah memisahkan antara ayah dan anak adalah perbuatan dosa besar," Bu Lestari bukannya mengiyakan saja, tapi sepertinya dia juga menyulutkan bara api pada emosi Iwan.
Hoek ... Hoek.... Yessi menutup mulutnya dan berlari ke kamar kecil terdekat, Bu Lestari saling beradu pandang dengan Iwan, kening Iwan berkerut matanya menatap tajam kearah Bu Lestari.
"Ibu! Apa yang terjadi dengan Yessi? Dia hamil? Saat ini jangan bercanda tentang apapun Bu,"
"Yessi! Jelaskan kondisimu pada mas, setelah mas pulang sore nanti!" Kaki Iwan melangkah keluar rumah, dengan membawa amarah yang sewaktu-waktu bisa saja meledak jika sedikit saja ada yang berani menyulutkan bara api kemarahan.
Wajah Lintang dan Shasy selalu menggelayut bersandar di pelupuk mata Iwan, penyesalan demi penyesalan sebenarnya Iwan cukup sadar kalau semua sudah terlambat, tapi bagi dia menghalalkan segala cara adalah satu-satunya yang harus dia tempuh.
Menuju rumah sakit juga sebuah dilema bagi Iwan, Rahma selalu menaruh curiga dan cemburu, apalagi setelah Rahma mengetahui kondisi tubuhnya yang tidak mungkin lagi, putra yang selama ini menjadi harapan satu-satunya Rahma untuk menyadarkan dirinya kepada Iwan, pun bayi yang selama ini digadang gadang oleh Bu Lestari sebagai keturunan anak laki-laki yang bisa mereka andalkan sebagai kepercayaan mitos, bahwa bayi laki-laki pembawa kekuatan dan rejeki unggul di banding bayi perempuan.
"Mas kenapa kamu datang terlambat, aku lelah menunggumu apa kamu sudah nggak sayang lagi?" selalu merengek dan selalu memberikan rasa curiga yang tinggi pada Iwan.
Kondisi Rahma semakin membaik, dan hari ini dipastikan bisa pulang namun bayi Rahma masih harus dalam perawatan intensif.
"Rahma, buang jauh-jauh rasa curigamu itu kalaupun aku sedang mencari lintang, itu wajar! Sebab aku punya anak Shasy,"
"Ayuk waktu kita tidak banyak, mama sudah menunggu dirumah, aku akan mengantarmu pulang kerumah mama, sebab aku yakin disana kamu pasti terjamin dan dalam perawatan yang bagus dalam pengawasan mama dan papa!" Suara tegas Iwan membuat Rahma berdiam dan menurut apapun kata Iwan.
Akan tetapi sesampainya di lobby rumah sakit mata Iwan tanpa sengaja menatap sekilas bayang dokter Dian.
Rasa geram itu kembali muncul, namun tidak dengan dokter Dian yang lebih santai, dan bersikap dingin menghadapi emosi Iwan yang mengarah ke sifat childish kalau menurut author sih 🤧.
🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️
Dalam perjalanan pulang Iwan benar-benar fed-up, muak dengan kenyataan yang telah ia ambil sendiri, otaknya penuh dengan penyesalan.
"Mas kenapa diam saja? Apa kamu mulai tidak sayang dan benci padaku?"
"Asal mas ketahui yah! Mas tidak bisa meninggalkan aku begitu saja, papaku akan membuat perhitungan dengan dirimu mas, dan kupastikan papa akan membuatmu terpuruk bersama keluargamu!" ucapan Rahma bagaikan sebuah sembilu, begitu rendah dirinya dihadapan Rahma.
Iwan hanya diam membisu, sejuta rencana dan program kedepannya telah ia susun rapi, walaupun berat semua harus menjadi konsekuensinya.
kedatangan Rahma sudah ditunggu oleh orang tua Rahma, dengan seorang perawat yang akan mendampingi Rahma selama dalam kondisi Rahma yang kurang stabil, orang tua Rahma juga akan mengalihkan pengobatan Rahma pada dokter psikiater yang menangani Rahma di luar sepengetahuan Iwan.
🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️
To be continued 😉
Tuh kan 🤧🤧 mau gimana lagi, ternyata lebih pahit deh mak. lanjut aja yuk biar lebih jelas siapa Rahma. tapi jangan lupa jempol makkk 🤗 komen juga harapan loh sayang.
Salam Sayang Selalu by RR 😘
awassss lohhh anumu ntar di sambel sama bini sahnya